#1 Kapitalisme dan Pendidikan
Pada acara Sudut Pandang di MetroTV pada tanggal 22 April 2012, saya menemukan satu pernyataan dari narasumber yang inspiratif (mohon maaf saya lupa siapa pembicaranya) :
Berbeda dengan Indonesia, sewaktu saya (baca: narasumber) sekolah di Singapura, peraturan sangat ketat. Tidak boleh memakai aksesoris, dilarang memakai sepatu diatas harga sekian, dan lain sebagainya.Ini meminimalisir keinginan anak untuk meminta lebih kepada orang tua, semisal “Mah, aku ingin sepatu di toko XX” yang harganya selangit karena melihat temannya pakai sepatu itu (seperti di Indonesia).
Dengan demikian, beban orang tua atas kebutuhan bisa berkurang, karena minimnya keinginan anak yang macam - macam.
Why I was inspired a lot, because I’ve been there! Bukan saya pernah sekolah di Singapura, tapi saya pernah merasakan sekolah (di menengah atas) dengan lingkungan yang diisi berbagai macam latar belakang ekonomi berbeda. Dari mulai bawah, menengah, atas, hingga ataaaaas sekali :p
Bukan sombong, lebih kepada bersyukur, saya bisa mengatakan saya ada di tengah. Hal ini karena kenyataannya, ditemukan keadaan bahwa banyak teman sekolah saya yang bayar iuran sering kesulitan, tapi disamping itu, banyak juga teman sekolah saya yang membawa kendaraan pribadi dengan tipe dan merk di atas rata-rata ke sekolah. Pakai sepatu dengan harga di atas rata-rata, jauh di atas rata-rata ke sekolah. Dan tidak dipungkiri, saya lebih melihat ke atas. Menginginkan dapat fasilitas yang lebih padahal apa yang saya miliki jauh lebih beruntung dibanding tidak pernah diberi uang jajan karena harus ditabung untuk membeli buku.
Artinya, kapitalis di Indonesia, (yang saya rasakan) tidak peduli dengan masyarakat pada umumnya sehingga lebih mementingkan kenyamanan mereka pribadi, dengan memanjakan anaknya yang masih bersekolah sebagai contoh konkrit, dibanding memikirkan kecemburuan sosial yang mungkin timbul dan berdampak negatif. Harusnya, sektor pendidikanlah yang dapat mengatasi masalah tersebut, tapi nyatanya tidak.
Kapitalisme dan pendidikan, bukanlah sistem pengajaran yang baik untuk membangun karakter anak bangsa. Mau sampai kapan bangsa kita dididik untuk money oriented?
#2 Kapitalisme dan Korupsi
Saya: Mah naikin uang jajan adik dong, kurang nih
Mama: Udah dinaikin berkali-kali selalu aja kurang. Anak - anak kaya gini bikin Mamanya korupsi nanti.
Kisah-kisah di atas saya tulis sekitar satu tahun lalu. Sekarang Januari, awal tahun 2014 yang penuh harapan. Pemilu di depan mata! Semoga tahun ini membukakan mata-mata anak muda yang tertutup pesimisme akan bangkitnya Negri ini (termasuk saya). Bangunlah Indonesiaku :)