Belum terpikir sebelumnya oleh perancang Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/99) untuk membuat aturan yang “memaksa” para pengusaha di bidang makanan, industri makanan dan minuman, restoran, bahan makanan, dan seluruh bidang usaha pemenuh lapar dan dahaga lainnya untuk diharuskan melabeli produk atau tempat usaha makanan dan minuman mereka dengan kata halal. Apakah mungkin disebabkan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim sehingga perancang UU 8/99 berpikir bahwa halal adalah suatu keharusan tanpa perlu aturan?
Dilihat dari aturannya, Pasal 8 huruf h UU 8/99 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU 8/99 menyatakan bila melanggar larangan ini, akan dikenai sanksi pidana yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Dari penjelasan tersebut, pelaku usaha (orang, atau badan yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi) akan dipidana, bila ia mencantumkan label halal namun pada nyatanya produk yang diproduksi dan dijual tersebut sesungguhnya tidak halal. Namun, akankah seluruh pelaku usaha dipidana jika tidak mencantumkan label halal? UU 8/99 tidak memaksakan kewajiban pencantuman label halal, namun pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/99) ditegaskan menjadi kewajiban untuk mencantumkan label halal bagi pelaku usaha yang menyatakan bahwa produknya halal bagi kaum Muslim (bila tidak dinyatakan maka tidak wajib,hanya bentuk tanggung jawab dari pernyataan kehalalan produk).
Sempatmenjadi perbincangan beberapa waktu silam, masyarakat Muslim di Indonesia mempertanyakan apakah merek Luwak White Coffee, sebuah minuman serbuk, merupakan produk yang halal? Luwak White Coffee cukup banyak disukai oleh masyarakat Indonesia, sayangnya beredar isu bahwa bahan dari minuman tersebut mengandung babi. Menanggapi isu ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan Siaran Pers mengenai Penjelasan BPOM Terkait Luwak White Coffee Yang Dicurigai Mengandung DNA Babi (http://www.pom.go.id/new/index.php/view/klarifikasi/4/Luwak-White-Coffee.html) dan menyatakan bahwa Luwak White Coffee telah mendapatkan Sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah.
Ternyata, bukan aturan hukum yang memaksa pelaku usaha untuk melabeli produknya dengan kata halal, namun permintaan masyarakat Indonesia (yang memang mayoritas Muslim) yang mempertanyakan ke-halal-an suatu produk itu-lah yang membuat pelaku usaha lebih peduli untuk meningkatkan kepercayaan konsumen Indonesia dengan label halal. Lagipula, meskipun UU 8/99 tidak secara tegas memberi sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak mencantumkan label halal pada produknya, namun UU 8/99 mengakomodir masyarakat selaku konsumen dimana bila konsumen merasa dirugikan, dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha, baik melalui lembaga di luar peradilan, maupun melalui peradilan umum.
Tampaknya, tidak akan menjadi soal apakah UU 8/99 ini tidak secara tegas mewajibkan seluruh pelaku usaha mencantumkan label halal pada produknya, mengingat adanya faktor kritis dari konsumen, dan faktor inisiatif dari pelaku usaha. Dalam iklim usaha yang dipenuhi rasa pengertian antara konsumen dan pelaku usaha menyikapi label halal ini, kaget rasanya ketika hubungan baik itu tidak menular pada para petinggi negeri ini. Almarhum Gus Dur yang terkenal dengan pernyataannya, “’Gitu aja kok, repot”, jelas akan berkata hal yang sama ketika melihat fenomena lain di balik label halal yang akan dipaparkan sebagai berikut.
Pelabelan Halal Pada Produk Pangan Menjadi Lahan “Basah” Pemerintah
Di tahun 1996 telah diundangkan peraturan untuk menetapkan tata cara pencantuman tulisan halal pada label makanan, dimana pihak yang terlibat dalam prosedur pencantuman label halal tersebut adalah Departemen (sekarang Kementerian) Kesehatan bersama Departemen Agama selaku Tim Penilai untuk menilai kehalalan suatu produk, dan Dewan Fatwa (tidak ditunjuk siapa Dewan Fatwa secara jelas dalam peraturan) untuk menyetujui penilaian tersebut. Kemudian, di tahun 2001, Keputusan Menteri Agama menunjuk Perum Peruri untuk melaksanakan pencetakan Label Halal yang nanti ditempelkan pada produk yang telah teruji halal.
Sebelum tahun 1996, di tahun 1989 MUI telah membentuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) dengan tujuan untuk memberikan ketentraman bagi umat Muslim saat mengkonsumsi produk, khususnya produk pangan. Seiring berjalannya waktu, LPPOM MUI makin menstabilkan sistem uji kehalalan ini. MUI mengeluarkan sertifikat halal bagi pelaku usaha yang mendaftarkan produknya dan MUI menjamin kehalalan produk tersebut. Sertifikat halal tersebut menjadikan umat Muslim leluasa menikmati produk pangan tanpa harus menyalahi syari’at Islam.
Terbukanya Indonesia atas pelaku usaha asing di bidang produk pangan membuka banyaknya pilihan untuk mengkonsumsi barang-barang impor, dan demi keyakinan, tentu permintaan kaum Muslim akan kepastian halal tidaknya produk tersebut menjadi pe-er besar bagi MUI yang menanti datangnya pengajuan sertifikasi halal dari produk-produk baru, untuk kemudian dilakukan pengujian kehalalan produk sebelum diberikan sertifikat halal.
Bukannya dorongan untuk memajukan pengembangan label halal atas produk baru di Indonesia yang muncul, namun malah muncul polemik mengenai siapakah yang seharusnya memberikan sertifikasi halal. Pemberian sertifikasi halal bagi produk-produk baru tersebut seharusnya menjadi amanah dari konsumen Muslim, dan bukan menjadi “bisnis birokrasi”, seperti urusan biaya adminstrasi izin, biaya sertifikasi, biaya penilaian. Semua dihitung.
MUI bukan Pemerintah, bukankah Pemerintah-lah yang seharusnya mengurusi urusan atas hajat hidup orang banyak? Bila pertanyaan itu tidak muncul di kepala kita selaku konsumen, mungkin ide itu terbersit di kalangan birokrat kita, sehingga akhirnya DPR mengajukan agar membentuk lembaga baru untuk menangani masalah jaminan produk halal.
Usulan DPR tidak langsung disetujui. Kementerian Agama merasa di pihak Kementerian Agama seharusnya sertifikasi halal dilakukan. Memang saat ini bagian Sub Direktorat Produk Halal pada Kementerian Agama diberi wewenang melaksanakan jaminan produk halal. Lalu, bagaimana dengan MUI yang telah mendirikan LPPOM MUI 1989?
Mayoritas penduduk Muslim di Indonesia, hanya mengharapkan ketenangan batin saat menikmati suatu produk yang berlabelkan halal. UU 8/99 tidak memaksa seluruh pelaku usaha wajib mencantumkan label halal. Konsekuensinya sederhana, bila pelaku usaha tidak mencantumkan label halal, maka pangsa pasar Indonesia dari produk tersebut (mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim), tentu akan berkurang. Ini jelas menjadi pengaruh yang kurang memuaskan, baik dari segi bisnis, maupun kepercayaan konsumen pada pelaku usaha. Masalah label halal ini sebenarnya terkait kepentingan konsumen Muslim, dan kepentingan penjual produk dari pelaku usaha.
Lalu, mengapa Pemerintah malah saling merebutkan tugas pelabelan halal? Siapapun yang mengurusinya, berapapun biaya yang didapat atas pengurusan label halal tersebut, bila memang mampu mengakomodir kepentingan konsumen Muslim dan pelaku usaha, ya lakukan saja. Jangan saling rebut kekuasaan, jangan ada tumpang tindih kewenangan, buat penilaian yang tepat dan akurat, jadikan hasil penilaian (dari masing-masing lembaga) sama-sama sah dan menjamin kehalalan produk tersebut. Yang diperlukan itu jaminan halal bagi umat Muslim, toh bila tidak mampu menjaga amanah dan malah merepotkan orang lain, dosanya nanti ditanggung sendiri dan dibawa sampai mati. ‘Gitu aja kok repot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H