Dalam Hubungan Internasional setiap negara memiliki upaya tersendiri demi mencapai national interest-nya, terlepas dari apakah kepentingan nasional tersebut memicu ketegangan konflik atau tidak. Seperti yang terjadi dalam sengketa Laut Cina Selatan, banyak negara yang terlibat secara langsung maupun tak langsung berusaha untuk meraup keuntungan dari konflik yang hadir.
Sengketa Laut Cina Selatan telah hadir sejak lama, berawal pada tahun 1974 ketika Cina melakukan klaim terhadap pulau Spratly dan tahun 1992 melakukan klaim terhadap pulau Paracel. Menurut artikel 122 dari The Law of the Sea Convention-1982, Laut Cina Selatan masuk kedalam kateogri laut semi-enclosed yang di kelilingi oleh dua negara atau lebih dengan lautan atau samudera lain (Djalal, Indonesia Quarterly, Vol.XVIII, No. 2, 1990). Artikel tersebut menunjukan bahwa memang Laut Cina Selatan dikelilingi lebih dari dua negara sekaligus yang membuat posisi geografisnya mengalami tumpeng tindih. Terdapat beberapa negara yang melakukan klaim atas wilayah ini, diantaranya adalah Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, hingga Malaysia.
Dengan posisi yang strategis serta diinginkan banyak pihak, konflik Laut Cina Selatan menjadi sorotan bagi negara-negara lainnya, seperti contohnya Indonesia sebagai negara berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, hingga Amerika Serikat sebagai negara rival terbesar Cina. Keterlibatan Amerika Serikat dapat terlihat dari campur tangannya dalam kepemilikan pulau Spartly. Amerika Serikat seolah mengalami kekhawatiran akibat klaim cina yang dianggapnya tak sah, bahka melakukan tindakan provokatif untuk mendominasi kawasan tersebut berdasarkan kajian historis belaka. Mantan perwira Angkatan Laut Amerika Serikat, McClain memberi pandangan bahwa Amerika Serikat harus memperluas dukungan politik dan militernya hingga kawasan Asia Tenggara untuk menghadapi Cina. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menentang klaim Cina dan berusaha memihak negara-negara Asia Tenggara dalam menyelesaikan masalah sengketa tersebut.
Dalam hal ini, Amerika Serikat melakukan beberapa strategi normative untuk memenangkan hati negara-negara kawasan Asia Tenggara, yakni melalui konsep Shared Idea yang merupakan turunan konsep dari Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional. Nina Tannenwald, mengidentifikasi empat bagian utama dari ide, yakni sebagai berikut.
- Share Belief System (Ideologi)
Merupakan seperangkat doktrin sistematis atau keyakinan yang mempengaruhi pandangan bersama terhadap isu tertentu. Dalam kaitannya dengan konflik Laut Cina Selatan, Amerika Serikat melakukan penyebaran ideologi atau sistem keyakinan bersama pada negara-negara kawasan Asia Tenggara bahwa klaim historis yang dilakukan Cina merupakan hal yang tidak benar. Hal ini didukung dengan fakta bahwa kedutaan Amerika Serikat menerbitkan pernyataan dalam website resminya, menyatakan bahwa Amerika Serikat berupaya memelihara perdamaian dan stabilitas, serta menjunjung kebebasan di laut yang sesuai hukum internasional. Begitupula dengan pernyataan dalam penyelarasan posisinya yang menolak klaim maritim oleh Cina.
- Normative Belief (Keyakinan Normatif)
Keyakinan Normatif berfokus kepada objeksi normative dari sebuah isu tertentu. Amerika Serikat juga telah melakukan pendekatan normative dengan mengaitkan putusan klaim “nine dash line” dengan putusan Mahkamah Arbitrase yang didasari Hukum Konvensi Laut 1982—dimana ketika itu Mahkamah secara tegas berpihak kepada Filipina yang mengajukan kasus tersebut. Dengan dihadirkanya kembali narasi hukum tersebut, Amerika Serikat berusaha meyakinkan publik, utamanya negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk percaya bahwa Cina telah salah melanggar ketentuan hukum yang seharusnya berjalan secara normative tanpa paksaan dari satu pihak.
- Cause-Effect Belief (Keyakinan sebab-akibat)
Keyakinan sebab akibat merupakan ide yang ditawarkan dengan memperlihatkan konsekuensi yang didapat atas sebuah peristiwa tertentu. Gagasan ini tentunya merupakan hal yang penting bagi Amerika Serikat, dimana mereka berusaha meyakinkan Asia Tenggara untuk pindah haluan politik dari Cina pada Amerika Serikat. Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hilary Clinton yang berkata bahwa:
“Masa depan AS sangat berhubungan dengan Asia Pasifik dan masa depan kawasan (Asia Pasifik) juga sangat bergantung pada peran AS.” pada 14 Januari 2010.
Hilary Clinton juga melakukan persetujuan terhadap kongres Law of the Sea Convention sebagai bukti keberpihakannya dalam membantu penyelesaian konflik. Tak lupa, tahun 2012 AS juga menyatakan dukungan penuh atas 202 Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea dengan mengeluarkan resolusi 524. AS seolah menekankan bahwa Asia Tenggara akan menjadi kawasan yang lebih baik apabila percaya sepenuhnya terhadap bantuan dari AS, dibanding bekerjasama dengan Cina yang justru melemahkan kedaulatannya.
- Policy Prescriptions (rekomendasi kebijakan)
Dengan seluruh upaya yang telah dilakukan AS untuk membuat citra baik pada Asia Tenggara, AS juga membuat rekomendasi kebijakan yang diantaranya termasuk: Menolak klaim teritori cina “nine dash line”, Meningkatkan Patroli untuk menggaung kebebasan navigasi dan Latihan militer pada kawasan Laut Cina Selatan, serta memberi pernyataan kawasan bebas ekonomi pada daerah tersebut.
Keempat bagian utama dari shared idea yang dilakukan Amerika Serikat terhadap konflik Laut Cina Selatan tak lain dan tak bukan adalah demi tercapainya kepentingan nasional mereka. Asia Tenggara, termasuk Indonesia serta negara-negara yang terlibat konflik, perlu melakukan peninjauan ulang serta waspada terhadap seluruh bantuan serta doktrin yang disebarkan keduabelah pihak, baik Amerika Serikat maupun Cina sebab apabila tidak, kedaulatan negara kawasan Asia Tenggara dapat dipertaruhkan.