Ini bukan tentang angka. Bukan tentang teori ekonomi yang bikin dahi mengernyit. Ini tentang ibu-ibu di pasar. Tentang pedagang kaki lima yang dari pagi ngelap gerobaknya---tapi pembelinya sepi. Tentang pengusaha kecil yang terus berpikir: "Mau jualan apalagi hari ini?"
Daya beli sedang turun. Semua tahu itu. Semua merasakannya. Harga-harga sudah naik duluan. Sekarang? Pajak dinaikkan.
PPN 12 persen. Naik 1 persen dari sebelumnya. Kelihatannya kecil. Tapi kalau belanja satu keluarga satu juta, ada tambahan sepuluh ribu. Bagi si kaya? Kecil. Bagi yang pas-pasan? Besar.
Kita lihat ini di mana-mana. Harga tidak ada yang turun, walaupun penjual mulai rela untung tipis. Tapi tetap saja, tangan-tangan semakin jarang bergerak. Tidak lagi mudah mengambil keranjang belanja.
Pertanyaannya: kalau daya beli turun, siapa yang bakal bayar pajak lebih banyak? Kalau belanja saja dikurangi, penerimaan PPN otomatis ikut turun. Logikanya sederhana.
UMKM mungkin paling tahu rasanya. Mereka lah tulang punggung ekonomi. Di kampung, di kota, di pinggiran pasar. Tapi beban mereka bertambah. Bukan cuma biaya hidup. Pajak naik. Daya beli hilang. Apa yang tersisa?
Kadang, mereka hanya bisa mengeluh kecil. "Pak, jualan kok tambah sepi ya..." Tapi tetap bangun pagi, buka warung, dan berharap: "Mudah-mudahan ada yang beli hari ini."
Naikkan pajak itu hak pemerintah. Mereka butuh uang. Infrastruktur harus jalan. Subsidi harus dikucurkan. Anggaran harus sehat. Itu alasan resminya.
Tapi, naiknya di saat yang salah. Saat dompet rakyat kosong. Saat ekonomi belum pulih. Saat masyarakat masih hitung-hitungan uang receh untuk bertahan.
Logikanya begini: kalau kantong sudah kering, berapapun pajak dinaikkan, hasilnya akan tetap kecil. Kalau pun terpaksa, rakyat akan lebih pilih: hemat, hemat, hemat.