Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika AS dan China Bertikai Dunia Jadi Taruhannya

5 Desember 2024   09:09 Diperbarui: 5 Desember 2024   09:26 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: istockphoto.com

Perang teknologi antara Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara raksasa dunia, makin sengit. Perseteruan ini bukan hanya soal saling unjuk kekuatan, tapi sudah merambat ke sektor strategis yang tak main-main. Semikonduktor dan mineral langka jadi ajang perebutan. Di balik semua alasan keamanan nasional dan strategi politik, satu yang pasti: keduanya saling tikam, tapi yang terkena imbasnya adalah dunia.

AS mulai lebih dulu dengan langkah yang begitu tegas. Mereka memblokir ekspor teknologi semikonduktor ke perusahaan-perusahaan China. Alasannya klise, tapi tetap saja menohok: mencegah teknologi ini digunakan untuk kepentingan militer China. Seolah itu belum cukup, AS juga membangun sekutu di kawasan Asia untuk mengisolasi China lebih jauh. Jepang, Korea Selatan, hingga Uni Eropa ikut dalam langkah ini, menciptakan tembok besar yang mengurung negeri Tirai Bambu.

Namun, China bukan negara yang tinggal diam. Dalam langkah yang penuh perhitungan, mereka memukul balik dengan senjata yang tak kalah tajam. Ekspor rare earth elements atau mineral langka, yang jadi bahan dasar hampir semua teknologi modern, mereka batasi. Strategi ini sederhana tapi mematikan, seperti mengunci pintu gudang saat pesta baru saja dimulai. Tanpa mineral ini, inovasi teknologi dunia bisa lumpuh. AS tahu itu, dan mungkin, dunia pun tahu.

Ketegangan ini seperti api dalam sekam. Perlahan tapi pasti, dampaknya mulai terasa di mana-mana. Industri teknologi global, dari yang paling sederhana hingga kompleks, mulai goyah. Negara-negara yang menggantungkan pasokan teknologi atau bahan mentah dari dua raksasa ini mulai panik. Jepang, misalnya, yang selama ini dikenal sebagai raksasa teknologi, ikut terseret arus. Bahkan, Eropa pun mulai terengah-engah mencari cara untuk bertahan.

Di tengah semua drama ini, dunia hanya bisa menunggu dan berharap. Apa mungkin dua negara ini duduk bersama untuk menyelesaikan masalah? Harapan ini terdengar seperti lelucon. Sudah terlalu banyak kepentingan yang dipertaruhkan. Tapi, ada juga yang bilang, kalau terus begini, dunia bisa terjerumus dalam krisis yang lebih besar. Bayangkan saja, inovasi teknologi yang terhenti, industri yang kolaps, dan akhirnya, ekonomi global yang jatuh tersungkur.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, ini semua seperti lelucon yang terlalu serius. Dua negara yang masing-masing mengklaim sebagai pemimpin dunia justru bertindak seperti anak-anak yang berebut mainan. Yang satu bilang, "Ini punya saya!" Yang lain balas, "Kalau begitu, saya kunci pintunya!" Dunia hanya bisa melihat, kadang heran, kadang geram, tapi lebih sering menggelengkan kepala.

Di sisi lain, Indonesia mungkin bisa melihat peluang dari kekacauan ini. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan letak strategis di antara dua raksasa ini, Indonesia punya potensi untuk ikut bermain. Tapi tentu saja, itu kalau pemerintah mau bergerak cepat, bukan hanya menonton dari pinggir lapangan.

Namun, tidak semua dari perang teknologi ini adalah kabar buruk. Konflik ini memberi pelajaran penting bagi dunia: jangan terlalu bergantung pada satu atau dua pemain besar. Diversifikasi pasokan adalah kunci. Negara-negara harus mulai membangun kapasitas sendiri, mencari alternatif, dan mungkin, sedikit lebih mandiri. Kalau tidak, siap-siap saja jadi korban berikutnya dalam drama ini.

Pada akhirnya, pertanyaannya tetap sama: apa mungkin AS dan China berhenti bertengkar? Dunia mungkin berharap begitu, tapi kenyataannya, harapan itu terdengar seperti dongeng. Mungkin keduanya akan terus saling serang, saling menjatuhkan, sampai akhirnya mereka sendiri yang kelelahan. Atau, mungkin juga, mereka akan sadar bahwa dunia ini terlalu kecil untuk dua ego besar. Entahlah. Yang pasti, kita semua hanya bisa menunggu. Dan sementara menunggu, mungkin kita harus mulai mencari cara untuk bertahan di tengah badai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun