Ketiga, cara menilai keberhasilan kampus perlu diubah. Bukan hanya jumlah publikasi atau peringkat internasional, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat. Misalnya, berapa banyak desa yang menjadi mandiri karena program kampus? Berapa banyak UMKM yang tumbuh? Berapa banyak masyarakat yang terbantu?
Keempat, insentif untuk pengabdian masyarakat harus diperbesar. Tidak hanya untuk dosen, tetapi juga mahasiswa. Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial perlu mendapatkan penghargaan, seperti kredit akademik tambahan atau peluang karier yang lebih baik.
Kelima, teknologi harus dimanfaatkan secara maksimal. Kampus bisa menjadi inkubator inovasi yang mengembangkan alat atau aplikasi sederhana tetapi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, aplikasi untuk memonitor kesehatan atau alat pengolahan sampah yang murah dan efektif.
Keenam, kurikulum harus dirancang untuk menanamkan kesadaran sosial kepada mahasiswa. Mata kuliah tentang pemberdayaan masyarakat atau proyek nyata di lapangan bisa menjadi salah satu caranya. KKN (Kuliah Kerja Nyata) juga harus diarahkan untuk menyelesaikan masalah lokal secara konkret, bukan sekadar formalitas.
Langkah-langkah ini memang membutuhkan waktu. Budaya akademik yang sudah lama terbentuk tidak mudah diubah. Namun, perubahan harus dimulai. Jika tidak, kampus akan semakin jauh dari masyarakat dan hanya menjadi simbol tanpa fungsi.
Kita tidak bisa terus-menerus mengejar pengakuan dari luar sementara masyarakat di sekitar kampus justru merasa tidak diuntungkan. Kampus seharusnya menjadi tempat di mana ilmu pengetahuan bertemu dengan kehidupan nyata. Tempat di mana perubahan dimulai, bukan sekadar tempat menulis dan mencatat angka. Scopus memang penting, tetapi  masyarakat jauh lebih penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H