Di Era 90 Dan 2000an anda pasti kenal yang namanya RCTI, SCTV, Indosiar dll. Dulu, televisi adalah raja. Jika ingin iklan dilihat jutaan mata, TV adalah pilihannya. Dengan dominasi hingga 70% kue iklan, media tradisional seperti televisi, koran, dan radio memegang kendali.
Tapi sekarang? Dunia sudah berubah. Internet mengguncang segalanya. Siapa pun kini bisa menjadi media. Tak perlu studio besar, cukup kamera dan ide kreatif.
Bayangkan ini: seorang anak muda di kamar kosnya. Dia membuat video lucu. Diunggah ke YouTube. Lalu, tiba-tiba viral. Kini, merek-merek besar berlomba-lomba memasang iklan di kontennya. Inilah era konten kreator.
Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok menjadi pusat perhatian. Para kreator menggantikan media tradisional. Audiens mereka setia, terlibat, bahkan merasa seperti teman dekat.
Dulu, iklan berbicara sepihak. Pesan dikirim, audiens hanya menerima. Tapi di media sosial, dialog terjadi. Kreator berbicara, audiens menjawab. Komentar, like, hingga share menjadi bagian dari ekosistem ini.
Engagement lebih tinggi. Inilah alasan pengiklan memilih kreator. Tak sekadar menonton, audiens berinteraksi. Ini adalah revolusi hubungan antara pengiklan dan konsumennya.
Data adalah segalanya. Pengiklan kini lebih pintar. Mereka tak lagi menyasar semua orang. Dengan teknologi, mereka tahu siapa yang harus disentuh. Personalisasi menjadi kunci keberhasilan.
Coba Anda pikirkan. Dulu, iklan kopi akan muncul di sela-sela sinetron. Tapi sekarang? Iklan itu muncul di video pembuat konten yang berbicara tentang pagi hari yang produktif. Lebih relevan, lebih efektif.
Internet memungkinkan segalanya jadi lebih demokratis. Konten kreator bukan hanya bintang besar. Orang biasa dengan ide kreatif juga bisa bersinar. Dari sini, kue iklan terpecah ke lebih banyak tangan.
Bukan hanya itu. Platform seperti YouTube memberikan pembagian pendapatan kepada kreator. Ini mengubah lanskap sepenuhnya. Kreator adalah mitra, bukan sekadar pengguna platform.