Tak terasa musim penerimaan CPNS 2024 akan segera tiba. Ribuan, bahkan mungkin jutaan, calon peserta kini tengah bersiap-siap dengan berbagai cara agar dapat lulus ujian yang akan menentukan masa depan mereka. Di antara hiruk-pikuk persiapan ini, terdapat sebuah metode yang sudah lama menjadi andalan, yaitu mempelajari soal dan kisi-kisi tes CPNS dari tahun-tahun sebelumnya serta prediksi soal untuk tahun ini.
Salah satu buku yang menjadi primadona di kalangan calon peserta adalah karya dari penulis yang dikenal dengan nama "Sang Tutor" atau lebih akrab disebut Om Alman. Buku ini terkenal karena soal-soal prediksinya yang hampir tepat, mencapai 90 persen kesesuaiannya dengan soal asli, terutama untuk Tes Intelegensi Umum (TIU). Bayangkan betapa berharganya informasi ini bagi para pejuang CPNS! Tapi tentu saja, menyusun buku yang berkualitas seperti itu bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan pemikiran mendalam, analisis yang tajam, dan tentu saja, dedikasi yang luar biasa.
Namun, di tengah segala usaha dan kerja keras Om Alman, sebuah ironi besar muncul. Buku tersebut menjadi korban pembajakan. Di berbagai marketplace, buku asli yang harganya bisa mencapai 160 ribu rupiah atau lebih, kini dijual kembali oleh para pembajak hanya dengan 50-70 ribuan, bahkan beberapa menawarkan gratis ongkir. Bagaimana mungkin harga bisa turun drastis seperti itu? Jawabannya sederhana namun memilukan: buku tersebut difotokopi dan diberi sampul layaknya buku asli.
Ironi ini sungguh mencengangkan. Di satu sisi, kita berusaha keras mempersiapkan diri untuk menjadi aparatur sipil negara yang berintegritas, namun di sisi lain, kita justru mendukung tindakan tidak berintegritas dengan membeli buku bajakan. Fenomena ini bukan hanya merugikan penulis, tetapi juga menggerus nilai-nilai kejujuran yang seharusnya kita junjung tinggi.
Seandainya buku bisa berbicara, mungkin ia akan berteriak keras, "Hey, aku hasil jerih payah, bukan sekedar fotokopian murahan!" Namun sayangnya, buku hanya bisa diam, menjadi saksi bisu dari tindak pencurian intelektual yang semakin marak. Para pembajak dengan tanpa rasa bersalah meraup untung dari hasil karya orang lain, sementara penulis yang bekerja keras hanya bisa gigit jari.
Lebih ironi lagi, para pembajak ini mungkin merasa mereka telah memberikan "jasa" kepada masyarakat dengan menjual buku berkualitas dengan harga murah. Mereka mungkin beranggapan bahwa mereka membantu calon peserta CPNS yang mungkin memiliki keterbatasan finansial. Tapi mari kita jujur, apakah kita benar-benar membantu dengan cara seperti itu? Membeli buku bajakan berarti kita mendukung tindakan curang, dan apakah ini nilai yang ingin kita tanamkan pada diri sendiri dan generasi mendatang?
 "Ini seperti memberi nasi basi pada pengemis dengan alasan mereka lapar. Ya, mereka mungkin kenyang, tapi apakah itu baik untuk mereka?" Begitu pula dengan membeli buku bajakan. Kita mungkin merasa diuntungkan dengan harga murah, tapi apakah itu benar-benar baik untuk kita dalam jangka panjang?
Sementara itu, Om Alman, sang penulis, mungkin hanya bisa pasrah. Karya yang ia susun dengan susah payah, sekarang bertebaran di pasar dengan kualitas fotokopi yang buruk. Bayangkan frustrasi yang ia rasakan ketika melihat bukunya dijual di bawah harga yang layak. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal penghargaan atas karya intelektual. Bagaimana mungkin seseorang bisa terus termotivasi untuk berkarya jika hasil karyanya terus-menerus dicuri?
Di sisi lain, para pembeli buku bajakan mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak dari tindakan mereka. Mereka mungkin berpikir, "Ini hanya sebuah buku, apa salahnya?" Tapi mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih luas. Setiap tindakan kecil memiliki dampak besar. Membeli buku bajakan berarti mendukung industri ilegal yang merugikan banyak pihak. Ini berarti mengurangi kesempatan bagi penulis untuk terus berkarya dan menyajikan konten tulisan berkualitas. Ini berarti kita secara tidak langsung mendukung tindakan curang dan tidak berintegritas.