"Setiap anak adalah juara." Kalimat sederhana namun penuh makna tersebut sekarang ini sering kita dengar dalam sistem pendidikan kita. Tak ada lagi juara satu, dua, atau tiga. Semua anak dianggap memiliki kecerdasan yang sama, sebuah idealisme yang menawan hati. Namun, ironi muncul ketika di satu sisi kita menghapus sistem perangkingan, tapi di sisi lain, pemerintah tetap menjalankan program beasiswa untuk siswa yang berprestasi. Ini bukan sekadar paradoks, melainkan sebuah pertanyaan besar: Apakah kita benar-benar mengerti apa yang sedang kita ajarkan kepada generasi muda?
Pendidikan, yang seharusnya menjadi ladang pembentukan karakter dan pengetahuan, kini seperti berada di tengah persimpangan yang membingungkan. Kita berusaha keras untuk memberikan pesan bahwa setiap anak memiliki potensi yang sama. Namun, kita juga tidak mengabaikan bahwa dunia nyata bekerja pada prinsip yang berbeda: ada penghargaan, ada persaingan, dan ada yang namanya prestasi yang diukur.
Dulu, saat saya masih duduk di bangku sekolah, ada semangat yang terbangun dari sistem perangkingan. Ada motivasi untuk belajar lebih keras, untuk terus berusaha memperbaiki diri. Juara kelas bukan hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang pengakuan atas kerja keras dan dedikasi. Sementara itu, di era sekarang, kita menghadirkan narasi bahwa semua anak adalah juara, tetapi masih terus mengadakan seleksi ketat melalui berbagai program beasiswa. Tidakkah ini justru menciptakan kebingungan?
Beasiswa, sebagai simbol penghargaan atas prestasi, tentu adalah hal yang baik. Namun, penghargaan ini harus diberikan dengan prinsip yang jelas dan konsisten. Jika di satu sisi kita mengatakan bahwa semua anak cerdas, lalu di sisi lain kita memberi beasiswa hanya kepada mereka yang bisa mencapai nilai tertinggi, apa yang sebenarnya kita katakan kepada anak-anak kita? Apakah ini menunjukkan bahwa kita sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan prinsip bahwa setiap anak itu cerdas?
Saya berpikir, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali pendekatan kita dalam pendidikan. Perlu ada cara untuk mengakui dan merayakan perbedaan tanpa membuat sebagian anak merasa minder atau kurang. Kita membutuhkan sistem yang tidak hanya mengeliminasi perangkingan, tapi juga memperkuat pengertian bahwa setiap usaha keras layak dihargai, dalam bentuk yang mungkin berbeda-beda.
Saat ini, banyak pakar pendidikan yang menyarankan pendekatan lebih holistik. Mereka berbicara tentang pentingnya pembelajaran yang menyesuaikan dengan kecepatan dan gaya belajar masing-masing anak, yang tidak hanya fokus pada nilai akademis tetapi juga pengembangan sosial dan emosional. Ini adalah langkah yang baik, namun juga kompleks. Perlu ada kesepahaman bahwa setiap anak memang unik, dan keunikan inilah yang seharusnya menjadi dasar kita dalam menghargai mereka.
Namun, tentu saja, perubahan besar seperti ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Butuh dialog yang konstruktif antara pendidik, orang tua, dan para pembuat kebijakan. Butuh kesediaan untuk menerima bahwa mungkin saja, cara kita selama ini belum sepenuhnya benar atau belum sepenuhnya adil bagi semua anak.
Kita berada di era di mana informasi dan pengetahuan berkembang dengan cepat. Pendidikan tidak lagi hanya tentang menghafal dan mengulang apa yang sudah ada, tetapi tentang berpikir kritis, berinovasi, dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Di sinilah kita harus berani bertanya: apakah sistem kita sudah mendukung ini semua? Apakah kita sudah benar-benar menyiapkan anak-anak kita untuk dunia yang terus berubah ini?
Paradoks ini, antara menghapuskan perangkingan tapi tetap mengharapkan prestasi, harus segera kita jawab. Bukannya menciptakan generasi yang bingung, mari kita bimbing mereka untuk mengerti bahwa dalam keberagamanlah kita menemukan kekuatan. Dalam setiap anak yang berbeda, ada potensi yang jika digali dengan tepat, akan menghasilkan juara dalam bidangnya masing-masing. Tentu saja, ini bukan tugas yang mudah, tetapi inilah esensi sebenarnya dari pendidikan: menghargai dan mengembangkan setiap kecerdasan yang dimiliki oleh setiap anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H