KOMPAS, Selasa, 8 Mei menurunkan headline "Segera Kelola TalentaBrilian". Indonesia, seperti biasanya, belum memiliki strategi untuk mengelola talenta-talenta brilian. Mutiara talenta kita tersebar dihampir semua sektor: pendidikan, pemerintahan, bisnis, olah raga, seni dan sebagainya.Â
Saat ini, Indonesia belum memiliki strategi  Manajemen SDM sebagai bagian skemapembangunannasional. Setiap Kementrian/Lembaga masih jalan sendiri-sendiri. Padahal, institusi semacam Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), misalnya, telah melahirkan begitu banyak persediaan talenta bangsa untuk mengisi berbagai posisi kepemimpinan nasional.
Belum lagi institusi pendidikan Perguruan Tinggi, LIPI, LAPAN, sekolah-sekolah bisnis, seni, budaya dan sebagainya. Talenta kita sangat banyak, tapi tersebar bagai jari-jari. Tidak mengepal, seperti strategi Adolf Hitler dalam divisi Tank-nya ketika menguasai eropa. Mengelola Talenta SDM telah menjadi kekuatan Amerika, seperti yang terhimpun di Silicon Valley. Talent management(TM),
pertama kali diperkenalkan Steven hankin dari McKinsey & Co (1997) dalam mencari dan memelihara orang-orang berbakat untuk menambah nilai bagi organisasi. TM berfokus pada bakat kepada key person dari sebuah kelompok tertentu. Melalui pengembangan bakat-bakat potensial,perusahaan dapat
memiliki keunggulan bersaing dari sejumlah "inventory" investasi manusianya yang menempati posisi- posisi kunci kepemimpinan. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan cara implementasi tiap perusahaan. Beberapa perusahaan yang melihatnya sebagai bagian dari pengembanga n SDM dalam bentuk Human Resources planning. Pandangan ini, melihat talenta sebagai sesuatu yang given.
Ada pula yang memandangnya sebagai talent generic yang tidak mengindahkan batasan organisasi atau posisi. Kompetensi yang dijadikan acuan adalah talented people. Kesannya, orang berbakat itu langka, sehingga perlu melakukan hijack. Bajak membajak menimbulkan sebuah talent war. Memang perusahaan akan punya "orang berbakat", tapi, seringkali lemah komitmen dan integritas. Ada pula yang melihat TM sebagai sebuah pooling talents yang mengelompokkan "orang pintar" dalam katagori dan klasifikasi tertentu.
Ini mendapat banyak kritik, karena seolah menganggap manusia semacam mesin yang bisa dibongkar-pasang dan dirakit kembali. Padahal, secaraontologis, manusia mengalami proses perkembangan terus menerus. Ada pendapat dari Coolings dan mellahi (2009) yang menyatukannya dalam pendeklatan
multi aspek. Â Dia menekankan penentuan posisi kunci yang dapat mendukung perusahaan menjadi unggul dan menerapkan konsepsi Resource Based Vaklue (RBV), yaitu: bernilai, langka dan sulit ditiru.
Pentingkah manajemen talenta ini bagi perusahaan? Tentu saja penting. Karena menurut Canton dalam The Future shock, sesungguhnya, Â pertarungan masa depan, 10, 20, 30 hingga 50 tahun ke depan adalah pertarungan para talenta. Mungkin bagus, ketika masyarakat dan pemerintah nyaris "gila"menyambut para talenta dangdut yang juara, tapi, jangan "sepikan" para Olympian kita di bidang fisika, matematika yang juara dunia. Karena sesungguhnya, itulah pemilik masa depan kita. (*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H