Nama : RATU BILKIS
Nim : 43221010120
Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M, Si. Ak
Ruang : A-403
Kampus : Universitas Mercu Buana
Apa yang dimaksud dengan Kejahatan, Korupsi, serta Paideia?
Definisi Kejahatan
Dipandang dari sisi sosiologis, kejahatan merupakan tingkah laku yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, masyarakat, juga bagi negara dan dapat menyebabkan hilangnya keseimbangan, perdamaian dan perbaikan. Case Lambroso, merupakan seorang ahli kedokteran kehakiman dan tokoh penting dalam mencari penyebab kejahatan yang dilihat melalui ciri-ciri fisik biologis. Menurut ajaran Lambroso, penjahat adalah orang yang memiliki bakat jahat. Bakat jahat yang dimaksud dapat diperoleh karena kelahiran yang diwariskan dari nenek moyang (born criminal).
Menurut Lambroso, bakat jahat dapat dilihat melalui ciri-ciri biologis tertentu, misalnya muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lainnya. Selain itu, bakat jahat tidak dapat dirubah, yang berarti bakat tersebut tidak dapat dipengaruhi. Kejahatan bukanlah sesuatu yang personal, melainkan kejahatan dipahami sebagai sesuatu kejahatan radikal yang berakar pada dunia sosial.
Kejahatan adalah hasil dari perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang harus bertanggung jawab secara pribadi dan kolektif atas tindakan mereka.
Kejahatan menurut Plato, adalah hasil dari pendidikan yang salah, beratnya hukuman harus ditentukan sesuai dengan tingkat kejahatannya, dan penjahat adalah orang sakit yang harus disembuhkan, dan jika tidak dapat disembuhkan, mereka harus untuk disembuhkan/ dihapus. Plato (29-37 SM) berpendapat bahwa dasar hukum bukanlah hukum para dewa, tetapi moralitas sosial.
Oleh karena itu, setiap tindakan tidak bermoral adalah kejahatan. Plato, dalam bukunya Republic and Laws, menjelaskan empat jenis kejahatan, yaitu:
(-) Kejahatan terhadap agama
(-) Melawan negara
(-) Terhadap orang
(-) Terhadap kepemilikan pribadi
Menurut Aristoteles (38-322 SM), manusia adalah kesatuan tubuh dan jiwa dengan akal, emosi dan keinginan. Aristoteles, dalam bukunya Nicomachean Ethics, mendefinisikan kejahatan sebagai tindakan kehendak bebas yang dimotivasi oleh keinginan. Akibatnya, dia berpendapat bahwa anak-anak, orang idiot, orang gila, dan orang yang berada dalam ekstasi tidak boleh dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan. Menurut Aristoteles, masyarakat dapat menanggapi kejahatan dengan cara preventif atau represif. Tindakan pencegahan dapat berupa:
(1) Eugenika (beberapa anak harus dirawat dan dibesarkan, yang lain ditinggalkan untuk mati);
(2) Demografis (pembatasan jumlah kelahiran dan penghentian kehamilan yang tidak diinginkan).
(3) Pencegahan (hukuman harus ditujukan untuk menghalangi pelanggar dan mengintimidasi publik).
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan salah satu contoh bentuk kejahatan antara lain adalah Korupsi.
Definisi Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, “corruption” (Inggris) dan “corruptive” (Belanda), secara harfiah menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, dan tidak jujur yang berkaitan dengan keuangan. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah tindakan memperoleh hak pihak lain secara informal untuk mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan posisi atau karakter seseorang untuk diri sendiri atau orang lain.
Dari sudut pandang filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai segala hal yang bertentangan dengan kemurnian jiwa. Dalam arti ini jiwa adalah sesuatu yang murni, sementara tubuh dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup. Untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan, perlu untuk menyangkal tubuh dan materi serta mencari kebenaran di dalam jiwa.
Di sisi lain, seperti yang ditunjukkan Aristoteles, korupsi identik dengan dua hal: kematian dan kerusakan moral, dan ia menyamakannya dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari kenikmatan badaniah semata. Sementara itu menurut Plato, tindakan korupsi merupakan bentuk terjadinya gangguan moral keagamaan yang dimiliki manusia. Melakukan korupsi, sama artinya merugikan jiwa dan menyakiti diri sendiri sehingga mengantarkan seseorang mengalami penderitaan dalam hidup.
Pandangan Plato ini juga didukung oleh Martin Silgmen yang menyatakan bahwa jiwa manusia dianalogikan sebagai mesin yang selalu mengalami kerusakan, disebabkan oleh berbagai tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan.
Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies, mendefinisikan korupsi sebagai “behavior of public officials with deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59)”. Melihat dari definisi tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia (behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima dan dianut masyarakat.
Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed Husein Alatas yang lebih luas: “Corruption is abuse of trust in the interest of private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.
Masyarakat sering menggunakan istilah korupsi untuk merujuk pada serangkaian tindakan yang dilarang atau ilegal dengan tujuan mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Hal yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat adalah penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk keuntungan pribadi.
Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai “penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa”. Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank adalah “penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi” (the abuse of public office for private gain).
Definisi ini juga serupa dengan yang dipergunakan oleh Transparency International (TI), yaitu “korupsi melibatkan perilaku oleh pegawai di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri, atau yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka".
Definisi lengkap menurut Asian Development Bank (ADB) adalah “korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan".
Sedangkan Bazwir (2002) mengutip Braz dalam Lubis dan Scott mengemukakan bahwa “korupsi” dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam dan eksplisit, dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur: Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batasan kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.
Melihat beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara implisit adalah penyalahgunaan kekuasaan, jabatan atau kredibilitas untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.
Beberapa faktor terkait korupsi juga terlihat dari definisi tersebut. Pertama, tindakan perampasan, penyembunyian, atau penggelapan barang milik negara atau masyarakat. Kedua, bertentangan dengan standar hukum yang berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan, wewenang, serta kepercayaan yang diberikan kepadanya. Keempat, untuk kepentingan diri sendiri, anggota keluarga, kerabat, bisnis, atau lembaga tertentu. Kelima, merugikan orang lain, baik masyarakat maupun bangsa.
Dalam perspektif hukum, perilaku korupsi merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum. Karenanya dinegasikan oleh setiap orang. Akan tetapi, tidak terdapat pemahaman tunggal mengenai ruang lingkup dan makna korupsi hingga berakibat munculnya perbedaan persepsi bagi tiap-tiap orang. Lebih dari itu, tidak semua orang memiliki kesadaran sama bahwa korupsi bisa jadi telah menjadi bagian dari kehidupan dirinya.
Karena secara empiris kultural, terdapat unsur-unsur korupsi dalam pemberian hadiah kepada seseorang dengan harapan tertentu, meskipun ada juga sistem yang menjadikan seseorang bertindak korupsi. Heterogenitas pemahaman masyarakat tentang perilaku korupsi membawa konsekuensi timbulnya kesalahpahaman mengenai bentuk-bentuk korupsi, bahkan dapat menyebabkan seseorang terperangkap dalam sistem yang mengakomodir perilaku korupsi.
Korupsi dalam segala bentuknya adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena berpotensi menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana dijelaskan oleh Baudrillard bahwa kejahatan menjadi hiper ketika melampaui realitas (akal sehat, hukum, budaya, moralitas, dan lain-lain), hingga berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna. Meskipun demikian, korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) belum menjadi bagian dari gerakan moral bangsa. Realitas tersebut menjadi tantangan besar bagi terwujudnya good governance di Indonesia.
Adapun upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari akuntabilitas sosial, dalam artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan lembaga lainnya. Namun, pelibatan masyarakat juga penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenanya, perlu ada paradigma baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma (shifting paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam memahami upaya pemberantasan korupsi.
Definisi Paideia
Paideia (py-dee-a), berasal dari kata Yunani "pais, paidos" (bahasa Yunani: "pendidikan," atau "belajar"), yang merupakan system pendidikan, dan pelatihan. Dalam budaya Yunani klasik dan Helenistik (Yunani-Romawi) memasukkan Pendidikan sebagai mata pelajaran seperti senam, tata bahasa, retorika, dialektika, logika, musik, matematika, geografi, sejarah alam, dan filsafat. Paideia menurut "Cicero" adalah humanitas (secara harfiah, "sifat alami manusia"); Paideia pada akhirnya menunjukkan kondisi seseorang yang mencapai pemenuhan diri sendiri yang matang secara kodratnya.
Plato melihat pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan, baik secara pribadi maupun sosial. Menurut Plato, keadilan individu tercapai ketika setiap individu mencapai potensi penuhnya. Dalam pengertian ini, keadilan berarti keunggulan. Menurut orang Yunani dan Plato, keunggulan adalah kebajikan.
Pendidikan (paideia) merupakan cara menuntun anak didik dari tempat gelap ke tempat terang (peristrophe) untuk mencapai kebenaran/kebijaksanaan (periagoge) (Plato, 2000). Hal yang menarik dalam sistem paideia, yaitu pendidik harus serius dan bersungguh-sungguh mendidik anak didik. Segala usaha yang telah dilakukan pada akhirnya merupakan ketentuan-Nya. Selain itu, Plato juga mengingatkan pentingnya pendidikan melalui permainan dan artifisial. Jika individu ingin menjadi pemimpin, maka perlu bermain secara serius melalui permainan yang berhubungan dengan pengajaran moral (Plato, 1988).
Plato menjelaskan bahwa metode pendidikan yang digunakan untuk mengembangkan calon pemimpin harus fokus pada inti identitas, yaitu jiwa. Oleh karena itu, pendidikan harus memliki tujuan yang jelas untuk membimbing mereka menuju tujuan dan cita-cita. (A.S. Wibowo, 2017). Maka dari itu Pendidikan (Paideia), penting untuk mencegah terjadinya perbuatan korupsi.
Mengapa seseorang melakukan Korupsi?
Jika seseorang atau sekelompok melakukan tindak kejahatan korupsi, maka akan ada alasan atau penyebab tertentu untuk melakukan hal tersebut. Berikut ini alasan atau penyebab seseorang melakukan korupsi menurut teori GONE yang dijelaskan oleh Jack Bologne:
1. Greed (keserakahan): Seseorang melakukan korupsi karena adanya sikap serakah yang ada dalam dirinya. Sikap tersebut menodai jiwa yang suci dan sikap keserakahan dapat tidak terkendali, kemudian bermetafosis untuk merubah hidup seseorang agar tidak pernah merasakan kecukupan dalam hidupnya. Sikap serakah yang berlebihan membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk melakukan korupsi demi mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Opportunity (kesempatan): Berkaitan dengan keadaan organisasi, instansi, masyarakat yang sedemkian rupa sehingga terbuka bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Jika peluang kesempatan lebih besar, maka akan terjadi kecurangan yang biasanya disebabkan karena sistem atau aturan yang ditegakkan tidak tegas.
3. Need (Kebutuhan): Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan individu untuk menunjang hidupnya. Misalnya korupsi terjadi karena kondisi kebutuhan seseorang yang memperoleh gaji yang tidak seimbang denganpengeluarandan gaya hidup.
4. Exposure (Pengungkapan): Hal ini berkaitan dengan diungkapnya kecurangan dan berat hukuman terhadap pelaku kecurangan. Semakin besar kemungkinan maka kecurangan dapat diungkap, semakin berat hukuman kepada pelaku kecurangan akan semakin kurang dorongan seseorang untuk melakukan kecurangan.
Dari beberapa penjelasan di atas, jelaslah bahwa korupsi sebenarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Korupsi melibatkan banyak kompleksitas. Faktor penyebab dapat muncul dari dalam diri pelaku korupsi, namun dapat juga muncul dari kondisi lingkungan yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian, penyebab korupsi secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal adalah faktor yang mendorong terjadinya korupsi dari dalam.
a. Aspek Perilaku Individu
- Sifat tamak/rakus manusia. Korupsi, bukanlah kejahatan kecil dimana mereka hanya membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Factor penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari diri sendiri, yaitu keserakahan dan ketamakan.
- Moral yang kurang kuat. Orang-orang dengan moral yang lemah rentan terhadap korupsi. Godaan bisa datang dari atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang menawarkan peluang.
- Gaya hidup yang konsumtif. Hidup di kota besar seringkali mendorong gaya hidup konsumtif. Perilaku konsumsi jika tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai, membuka peluang bagi seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi keinginannya. Salah satu tindakan yang mungkin dilakukan adalah korupsi
b. Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan rumah sangat mendorong orang untuk menjadi korup dan meniadakan kualitas positif yang menjadi ciri pribadinya.
2. Faktor eksternal adalah factor yang mendorong dari luar diri pelaku.
a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Pada umumnya pemimpin selalu menutup-nutupi praktik korupsi yang dilakukan oleh segelintir elemen dalam organisasinya. Karena sifatnya yang tertutup ini, korupsi terus berlangsung dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, sikap masyarakat yang dapat menumbuhkan korupsi terjadi karena:
• Masyarakat tidak menyadari bahwa korban utama korupsi adalah diri mereka sendiri. Menurut masyarakat yang paling dirugikan dari korupsi adalah negara. Padahal bila negara merugi, rakyatlah yang secara inheren paling menderita, karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.
• Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat seringkali terbiasa tanpa sadar dan terang-terangan terlibat dalam praktik korupsi sehari-hari.
• Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan dihilangkan melalui partisipasi aktif masyarakat lokal dalam agenda pencegahan dan pemberantasan. Masyarakat umumnya menganggap bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat tidak menyadari bahwa korupsi hanya dapat diberantas melalui peran serta masyarakat.
b. Aspek ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Selama perjalanan hidup, seseorang mungkin mengalami kesulitan keuangan. Urgensi membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas, melalui hal-hal seperti korupsi, dll.
Bagaimana cara untuk melakukan Tindakan Pencegahan Korupsi?
Adapun Strategi Pemberantasan Korupsi yang dibagi menjadi 3, antara lain;
A. Strategi Jangka Pendek, misalnya melalui upaya preventif atau usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang untuk melakukan korupsi, seperti;
- Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR
- Membangun system kepegawaian yang berkualitas, mulai dari perekrutan, system penggajian, system penilaian kinerja dan system pengembangannya
- Membangun system akuntabilitas kinerja sebagai alat mekanisme pengendalian (control mechanism) terhadap lembaga pemerintahan agar terwujud suatu perubahan yang berlandaskan efektifitas, efisiensi dan profesionalisme
- Perbaikan pelayanan public
- Membangun kode etik sector publik
B. Strategi Jangka Menengah, misalnya melalui upaya detektif atau usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat sehingga dapat segera ditindaklanjuti, seperti;
- Membangun beberapa proses kunci dalam perbaikan manajemen kepemerintahan yang berorientasi kepada hasil dan infrastruktur informasi terkait lainnya di instansi pemerintahan yang mendorong efisiensi dan efektifitas
- Pelaporan Kekayaan pribadi pemegang kekuasaan
- Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemerintah serta meningkatkan akses public terhadap pemerintahan.
C. Strategi Jangka Panjang, misalnya melalui upaya represif atau usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat, sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan, contohnya:
- Penguatan kapasitas lembaga atau komisi antikorupsi
- Mempublikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya
- Penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penghukuman koruptor besar dengan efek jera, dll.
- Sedangkan untuk masyarakat strategi jangka panjangnya yaitu:
- Membangun dan mendidik masyarakat pada berbagai tingkat dan jenjang kehidupan untuk mampu menangkal korupsi yang terjadi dilingkungannya
- Membangun suatu tata kepemimpinan yang baik sebagai bagian penting dalam system Pendidikan nasional
- Membangun etika dan nilai budaya anti korupsi.
Peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan dalam memberantas tindakan korupsi
(1) Delik korupsi dalam KUHP.
(2) Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/ Peperpu/013/1950.
(3) Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.
(4) Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(5) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
(6) Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
(7) Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(8) Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(9) Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(10) Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
(11) Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(12) Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Lembaga-Lembaga Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia DiIndonesia
Lembaga-lembaga yang berhak menangani tindak pidana korupsi terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yakni:
1. Kepolisian
Tugas dan Tanggung Jawab Polisi dalam Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai Penyidik. Tugas dan tanggung jawab Penyidik telah diatur jelas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Kejaksaan
Kejaksaan adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, hususnya di bidang penuntutan (Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004). Salah satu tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang. Dengan adanya tugas dan wewenang kejaksaan tersebut, maka kejaksaan bisa menangani tindak pidana kmorupsi, karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam undang Undang, yakni Undang Undang Nomor 31 tahun i999.
3. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Undang–Undang No. 30 Tahun 2002).
Bentuk-Bentuk dan Jenis Korupsi
Ragam tindak pidana korupsi diatur dalam Undang undang No.31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001. Berdasarkan UU ini, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Kerugian Uang Negara
Perbuatan yang merugikan negara dibagi menjadi 2, yaitu mencari keuntungan dengan melawan hukum, dan menyalah gunakan jabatan untuk mencari keuntungan. Misalnya melakukan markup anggaran agar mendapat keuntungan dari selisih tersebut.
2. Suap Menyuap
Tindakan pemberian atau penerimaan berupa uang atau hadiah yang dilakukan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Misalnya menyuap hakim, pengacara, atau advokat.
3. Penyalahgunaan Jabatan
Seseorang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti, atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri.
4. Pemerasan
Menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau unyuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
5. Perbuatan Curang
Perbuatan ini dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi. Tindakan ini menyangkut pada pemborong, pengawas proyek, dan lainnya dalam pengadaan atau pemberian barang.
6. Berhubungan Dengan Pengadaan
Dengan sengaja ikut serta dalam pemborongan, pengadaan, dan persewaan meskipun bukan bagian dari tugasnya.
7. Gratifikasi
Pemberian hadiah yang diterima seseorang dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterima gratifikasinya. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, tiket pesawat, dan lainnya.
Sedangkan menurut Irfan Abubakar dengan melihat modus operasi, maka korupsi mencakup beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Penyuapan (bribery)
Perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah pemberian kepada seseorang agar yang bersangkutan mengubah perilaku sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Sesuatu yang diberikan tidak harus berupa uang, tetapi bisa berupa barang berharga, rujukan istimewa, keuntungan ataupun janji yang dapat dipakai untuk membujuk atau mempengaruhi tindakan, suara, atau pengaruh seseorang dalam sebuah jabatan publik.
2. Penggelapan (embezzlement) dan pemalsuan/ penggelembungan (fraud)
Suatu bentuk korupsi yang melibatkan pencurian uang, properti, atau barang berharga oleh seseorang yang diberi amanat untuk menjaga dan mengurus uang, property atau barang berharga tersebut. Penggelembungan mengacu kepada praktek penggunaan informasi yang menyesatkan guna membujuk seseorang agar mau mengalihkan harta atau uang secara sukarela. Bentuk korupsi penggelembungan atau pemalsuan lebih bersifat otogenik atau mengacu kepada tindakan korupsi yang dilakukan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Meskipun demikian, perilaku ini juga memenuhi ciri-ciri sebagai bentuk korupsi karena ada unsur pengkhianatan terhadap amanah, penyalahgunaan wewenang, dan pengambilan keuntungan pribadi dengan mengorbankan masyarakat umum.
3. Pemerasan (extortion)
Menggunakan ancaman kekerasan atau munculnya informasi yang mengganggu untuk membuat seseorang mau bekerja sama. Dalam hal ini orang yang memiliki jabatan dapat menjadi pemeras.
4. Nepotisme (nepotism)
Memilih keluarga atau teman dekat berdasarkan hubungan, bukan kemampuan. Bentuk korupsi ini disebut juga korupsi kekerabatan dengan melibatkan pengangkatan sanak-saudara, teman-teman atau rekan-rekan politik pada jabatan-jabatan publik tanpa memandang kemampuan mereka memberikan pelayanan publik yang baik dan mendukung kesejahteraan masyarakat.
Dampak Masif Korupsi
A. Dampak Ekonomi, contohmya:
- Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi
- Penurunan Produktifitas
- Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
- Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak
- Meningkatnya Hutang Negara
B. Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat, contohnya:
- Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan Publik
- Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat
- Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin
- Meningkatnya Angka Kriminalitas
- Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi
C. Dampak Terhadap Politik dan Demokrasi
- Munculnya Kepemimpinan Korup
- Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi
- Menguatnya Plutokrasi (sitem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis)
- Hancurnya Kedaulatan Rakyat, dll.
Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi
Pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Penetapan tersangka Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat, 5 Desember 2020. Usai ditetapkan sebagai tersangka, pada malam harinya Juliari menyerahkan diri ke KPK. Selain Juliari, KPK juga menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian I M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka selalu pemberi suap.
Menurut KPK, kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus.
Untuk setiap paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos. Pada Mei sampai November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian I M dan Harry Sidabuke dan juga PT RPI yang diduga milik Matheus.
Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi. Dari jumlah itu, diduga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 miliar.
Uang tersebut selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Kemudian pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. Sehingga, total uang suap yang diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar. Seluruh uang tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk keperluan pribadi.
Atas perbuatannya itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (23/8/2021).
Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.590.450.000 atau sekitar Rp 14,59 miliar. Jika tidak diganti, bisa diganti pidana penjara selama dua tahun. Hak politik atau hak dipilih terhadap Juliari pun dicabut oleh hakim selama empat tahun.
Citasi
Nafi, A. (n.d). BAB II Gambaran Umum Korupsi. Diakses pada 10 November 2022 melalui http://digilib.uinsby.ac.id/8064/4/BAB%20II.pdf
BAB I. (n.d). eprints.umm.ac.id. Diakses pada 10 November 2022 melalui https://eprints.umm.ac.id/29759/1/jiptummpp-gdl-dadingkalb-30380-2-bab1.pdf
Siregar, S. L. (2017). The Literature Review: Corruption Behaviour and Causes. Fundamental Management Journal, 2(1), 47-56. Diakses pada 11 November 2022
Bahasan, P., & Bahasan, S. P. FAktOR PENyEbAb KORUPSi. Anti-Korupsi, 37. Diakses pada 11 November 2022
Sulaiman, U. Konsep Manusia Menurut Ibn Miskawaih dalam Memotret Budaya Korupsi: Suatu Analisis dengan Pendekatan Akhlak Tasawuf. Diakses pada 11 November 2022
Haryati, T. A. (2015). Korupsi Perspektif Filsafat Etika Aristoteles. Diakses pada 11 November 2022
Sahara, W. (2021, Agustus 23). Awal Mula Kasus Korupsi Bansos Covid-19 yang Menjerat Juliari hingga Divonis 12 Tahun Penjara. Diakses pada 12 November 2022 melalui https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/08/23/18010551/awal-mula-kasus-korupsi-bansos-covid-19-yang-menjerat-juliari-hingga-divonis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H