Sedangkan Bazwir (2002) mengutip Braz dalam Lubis dan Scott mengemukakan bahwa “korupsi” dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam dan eksplisit, dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur: Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batasan kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.
Melihat beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara implisit adalah penyalahgunaan kekuasaan, jabatan atau kredibilitas untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.
Beberapa faktor terkait korupsi juga terlihat dari definisi tersebut. Pertama, tindakan perampasan, penyembunyian, atau penggelapan barang milik negara atau masyarakat. Kedua, bertentangan dengan standar hukum yang berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan, wewenang, serta kepercayaan yang diberikan kepadanya. Keempat, untuk kepentingan diri sendiri, anggota keluarga, kerabat, bisnis, atau lembaga tertentu. Kelima, merugikan orang lain, baik masyarakat maupun bangsa.
Dalam perspektif hukum, perilaku korupsi merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum. Karenanya dinegasikan oleh setiap orang. Akan tetapi, tidak terdapat pemahaman tunggal mengenai ruang lingkup dan makna korupsi hingga berakibat munculnya perbedaan persepsi bagi tiap-tiap orang. Lebih dari itu, tidak semua orang memiliki kesadaran sama bahwa korupsi bisa jadi telah menjadi bagian dari kehidupan dirinya.
Karena secara empiris kultural, terdapat unsur-unsur korupsi dalam pemberian hadiah kepada seseorang dengan harapan tertentu, meskipun ada juga sistem yang menjadikan seseorang bertindak korupsi. Heterogenitas pemahaman masyarakat tentang perilaku korupsi membawa konsekuensi timbulnya kesalahpahaman mengenai bentuk-bentuk korupsi, bahkan dapat menyebabkan seseorang terperangkap dalam sistem yang mengakomodir perilaku korupsi.
Korupsi dalam segala bentuknya adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena berpotensi menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana dijelaskan oleh Baudrillard bahwa kejahatan menjadi hiper ketika melampaui realitas (akal sehat, hukum, budaya, moralitas, dan lain-lain), hingga berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna. Meskipun demikian, korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) belum menjadi bagian dari gerakan moral bangsa. Realitas tersebut menjadi tantangan besar bagi terwujudnya good governance di Indonesia.
Adapun upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari akuntabilitas sosial, dalam artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan lembaga lainnya. Namun, pelibatan masyarakat juga penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenanya, perlu ada paradigma baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma (shifting paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam memahami upaya pemberantasan korupsi.
Definisi Paideia
Paideia (py-dee-a), berasal dari kata Yunani "pais, paidos" (bahasa Yunani: "pendidikan," atau "belajar"), yang merupakan system pendidikan, dan pelatihan. Dalam budaya Yunani klasik dan Helenistik (Yunani-Romawi) memasukkan Pendidikan sebagai mata pelajaran seperti senam, tata bahasa, retorika, dialektika, logika, musik, matematika, geografi, sejarah alam, dan filsafat. Paideia menurut "Cicero" adalah humanitas (secara harfiah, "sifat alami manusia"); Paideia pada akhirnya menunjukkan kondisi seseorang yang mencapai pemenuhan diri sendiri yang matang secara kodratnya.
Plato melihat pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan, baik secara pribadi maupun sosial. Menurut Plato, keadilan individu tercapai ketika setiap individu mencapai potensi penuhnya. Dalam pengertian ini, keadilan berarti keunggulan. Menurut orang Yunani dan Plato, keunggulan adalah kebajikan.
Pendidikan (paideia) merupakan cara menuntun anak didik dari tempat gelap ke tempat terang (peristrophe) untuk mencapai kebenaran/kebijaksanaan (periagoge) (Plato, 2000). Hal yang menarik dalam sistem paideia, yaitu pendidik harus serius dan bersungguh-sungguh mendidik anak didik. Segala usaha yang telah dilakukan pada akhirnya merupakan ketentuan-Nya. Selain itu, Plato juga mengingatkan pentingnya pendidikan melalui permainan dan artifisial. Jika individu ingin menjadi pemimpin, maka perlu bermain secara serius melalui permainan yang berhubungan dengan pengajaran moral (Plato, 1988).