Pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono cukup unik, mereka tidak menawarkan solusi atas kemacetan dan banjir di DKI Jakarta, entah memang belum dipublikasi atau memang bukan sasaran utama mereka. Namun sejauh ini, program yang mereka tawarkan adalah program Sekolah Gratis dan Cicilan Rumah Rp 5.000 per hari di DKI Jakarta.
Terdengar mustahil memang. Apalagi kalau mendengar cicilan Rp 5.000 per hari, bisa berapa puluh tahun tuh harus mencicil sampai rumahnya lunas? Di Sumatera Selatan, program ini juga sedang berjalan. Dengan menyediakan rumah tipe 21 yang sudah bersertifikat hak milik, rumah dibangun berjejer. Kalau untuk DKI Jakarta mungkin perlu di bangun dalam konsep rumah susun kali ya? Atau di pinggiran Jakarta?
Anyway, ide ini cukup unik. Buat saya terdengar berbeda, mirip rencana Jokowi-Basuki (Ahok) mengajak bicara preman-preman di DKI Jakarta alias melakukan pendekatan persuasif untuk meredam aksi-aksi premanisme di ibukota.
Mengajak bicara preman yang terbiasa mengambil cara kekerasan untuk mengambil keputusan dengan otak, tentu untuk mewujudkannya perlu perubahan pola pikir para preman itu. Artinya, perlu suatu gerakan kesadaran di kalangan preman.
Untuk program sekolah gratis, mungkin bisa diwujudkan oleh Alex-Nono. Terlebih mengingat Alex Noerdin sudah 2 kali berhasil merealisasikan itu, yaitu sekolah gratis di seluruh Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) ketika menjabat sebagai Bupati Muba, Sumatera Selatan dan sekolah gratis di seluruh Sumatera Selatan dalam masa jabatannya sekarang sebagai Gubernur Sumatera Selatan.
Pendapat saya soal program Sekolah Gratis ini cuma 1 saja, situasi ibukota berbeda dengan Kabupaten Muba maupun Sumatera Selatan. DKI Jakarta sangat pelik, rumit nan njelimet. Buat saya, penawaran program sekolah gratis ini, (lagi-lagi) terdengar mirip dengan rencana Jokowi – Basuki (Ahok) memperlambat pertumbuhan jumlah Mal dan Supermarket di DKI Jakarta. Maksudnya adalah Alex-Nono harus siap berhadapan dengan birokrasi dan struktur yang “hidup” dari mengambil keuntungan di sektor pendidikan. Kalau bisa direalisasikan tentu bagus sekali, tapi rintangannya besar.
Pada tahun 2002, Alex Noerdin yang menjabat sebagai Bupati Muba merealisasikan sekolah gratis bagi SD, SMP dan SMA. Tahun 2006, program ini diperluas ke sekolah swasta dan madrasah. Kemudian pada tahun 2007 diperluas ke tingkat akademi yaitu Politeknik dan Akademi Perawat Sekayu dengan standar inernasional. Setelah terpilih sebagai Gubernur Sumsel pada 2008, Alex juga menggratiskan seluruh sekolah di Sumsel sejak Maret 2009.
Program ini telah meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa SD dari 118,24% menjadi 119,15%, kemudian APK siswa SMP dari 62,74% menjadi 93,27%, terakhir APK SMA dari 34,27% menjadi 70,21%.
Untuk DKI Jakarta, Alex-Nono menargetkan pendidikan dan kesehatan gratis bagi 61% atau sekitar 5,8 juta warga DKI yang belum tercover.
Nah pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kans Alex-Nono di Pilkada DKI? Melihat dari konsep yang ditawarkan, seharusnya peluangnya cukup besar. Sayangnya, ada 2 ganjalan utama bagi pasangan kandidat ini untuk bisa menang mulus di DKI.
Pertama, Alex Noerdin merupakan tokoh yang berasal dari Partai Golkar. Harus diakui, terlebih di ibukota, alergi terhadap Partai Golkar masih sangat besar. Orang kebanyakan cenderung memandang Partai Golkar sebelah mata, apalagi kalau diingatkan sedikitsoal “Dosa Cendana”, apapun yang baik dan bagus dari orang Golkar langsung dikesampingkan.
Agak aneh memang, di era demokrasi nan modern seperti sekarang masih ada orang-orang menggunakan cara berpikir seperti itu. Tapi kenyataannya demikian. Dari titik tolak ini, opini saya, label Golkar pada Alex Noerdin tentu akan menjadi salah satu rintangan terbesar tokoh ini untuk menang di DKI Jakarta, karena orang cenderung tidak melihat konsep yang ditawarkan, tetapi lebih melihat dalam kacamata Chauvinisme Politik.
Kedua, Kasus Wisma Atlet. Seperti diketahui, Alex Noerdin yang berstatus sebagai saksi dalam kasus korupsi Wisma Atlet dituding menerima fee sebesar 2,5% dari total dana pembangunan wisma atlet yang mencapai Rp 191,6 miliar. Dalam keterangannya kepada KPK, Alex menyatakan perannya dalam kasus Wisma Atlet adalah merombak desain utama bangunan agar penyelesaian pembangunan dapat diselesaikan tepat waktu.
Mana yang benar? Menerima dana 2,5% seperti yang digunjingkan media pers? Atau kesaksian Alex sendiri? Tentu saja jawabannya ada pada lembaga hukum. Jika putusan hukum menyatakan Alex bersalah, tentu harus kita patuhi putusan itu, kecuali Alex meminta banding. Sebaliknya, jika Alex diputus tak bersalah, maka seharusnya diamini juga putusan itu. Masak maling yang diputus tak bersalah, harus menanggung label “maling” seumur hidupnya?
Tapi pertanyaannya kemudian adalah kapankah putusan itu akan dikeluarkan? Bagaimana jika terjadi waktu penyidikan tak kunjung rampung? Yes, status hukum Alex yang menggantung tentu akan menjadi salah satu tantangan pasangan Alex-Nono untuk bisa mulus di Pilkada DKI.
Saya yakin, menjelang ajang Pilkada DKI Juli mendatang pasti media pers akan ramai-ramai menceritakan kembali risalah kasus korupsi Wisma Atlet untuk menghadang Alex-Nono. Ditunggangi? Entahlah. Sulit menjawabnya.
Well, secara singkat kesimpulan saya mengenai kans pasangan Alex-Nono di Pilkada DKI terdiri dari 2 aspek, pertama pasangan ini memiliki program yang cukup unik dan menarik, tapi sayangnya pasangan ini harus menghadapi kendala (aspek kedua) berupa label Golkar dan status hukum yang menggantung dalam kasus dugaan korupsi Wisma Atlet.
Demikian kiranya risalah yang bisa saya paparkan mengenai pasangan Alex-Nono di Pilkada DKI Juli mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H