[caption id="attachment_341533" align="aligncenter" width="590" caption="Operasi penambangan tembaga dan sejumlah kecil emas tampak di Proyek Batu Hijau Newmont Nusa Tenggara, di Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, Rabu (6/3/2013) | Ilustrasi Kompasiana (KOMPAS/ICHWAN SUSANTO)"][/caption]
Kedua capres, Jokowi maupun Prabowo mengumandangkan renegosiasi tambang minerba di visi misinya. Semua orang juga bisa menjanjikan renegosiasi. Kata Renegosiasi terlalu umum, makna sederhananya negosiasi ulang. Kata Renegosiasi bermakna ganda, bisa negosiasi ulang menjadi lebih rugi atau lebih untung. Penggunaan kata Renegosiasi tidak berbicara hasil, melainkan sebuah proses. Janji Renegosiasi berarti menjanjikan akan menegosiasikan ulang. Entah negosiasi yang berujung keuntungan atau merugikan, tak jelas.
Masih ingat Renegosiasi yang dilakukan Indonesia pada masa Perjanjian Linggajati dan Renville di masa lalu? Hasil kedua Renegosiasi itu semakin mengurangi kedaulatan RI, khususnya pada aspek kewilayahan.
Benarkah Jokowi atau Prabowo mampu menegosiasikan ulang tambang minerba yang dikuasai asing agar lebih besar porsi untuk Indonesia?
Apabila menilai dari istilah kata yang digunakan, yaitu Renegosiasi, saya ragu. Karena kata Renegosiasi menunjukkan sikap pesimisme. Akan jauh lebih baik jika ditorehkan di Visi Misi para capres menargetkan Peningkatan Porsi Saham RI di Aset Minerba Menjadi Mayoritas. Atau bisa juga menggunakan istilah Divestasi Aset Tambang Minerba yang Dikuasai Asing. Kata Divestasi mengandung unsur Renegosiasi Menguntungkan (Positif), tidak mengandung unsur Renegosiasi Merugikan (Negatif).
Saat ini, kedua Capres menjanjikan akan mengamanatkan UUD Pasal 33 secara optimal, tapi menggunakan istilah Renegosiasi. Selayaknya keduanya menggunakan kata Divestasi agar tidak berujung pada Renegosiasi Merugikan.
Dari sekian banyak keburukan pemerintahan Presiden SBY yang orang sering sebut, ada satu hal yang saya sangat apresiasi dari pemerintahan Presiden SBY. Biar bagaimanapun, pemerintahan Presiden SBY berhasil memenangkan Arbitrase Internasional untuk mendesak Newmont Mining melepas 51% sahamnya ke Indonesia.
Kemenangan RI pada Arbitrase Internasional mengalahkan Newmont Mining menunjukkan bahwa perjuangan Pasal 33 bisa dilakukan. Bahwa Pemerintah RI bisa mendesak raksasa asing melepas sahamnya ke Indonesia adalah sebuah peluang yang memungkinkan, bukan lagi mimpi.
Kemenangan RI terhadap Newmont Mining di Arbitrase Internasional adalah bukti bahwa tidak selamanya asing bisa seenak jidat di Indonesia. Kemenangan RI terhadap Newmont Mining di Arbitrase Internasional adalah bukti bahwa kita bisa menang juga atas tambang-tambang Minerba RI lainnya yang dikuasai asing.
Divestasi Newmont adalah sebuah contoh bagi para Capres yang sedang berkontestasi agar jangan hanya mengumbar janji kosong. Bukan janji Renegosiasi tambang minerba yang kita butuhkan, tapi janji akan mengajukan Divestasi tambang minerba yang kita butuhkan.
Kontrak Karya pemerintah RI dengan Nusa Tenggara Partnership (NTP) dimulai pada tahun 1986. NTP kemudian membentuk PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dengan komposisi saham :
- Nusa Tenggara Mining 45%.
- Newmont Indonesia 55%.
Pada tahun 1987, Nusa Tenggara Mining dan Newmont Indonesia masing-masing melepas 10% saham NNT, atau total 20% saham ke PT Pukuafu Indah. Pemerintahan Soeharto mewajibkan adanya kepemilikan lokal pada aset-aset tambang Minerba. Kebijakan Soeharto ini mengikuti kebijakan yang diberlakukan Filipina pada tahun 1983. Pada tahun 1983, Filipina membatasi kepemilikan asing sebesar 40%.
Pukuafu membeli 20% saham NNT dengan dana pinjaman dari Newmont Mining Corp sebesar US$ 200 juta. Agak janggal memang, Pukuafu membeli 20% saham NNT dengan pinjaman dana US$ 200 juta dari Newmont Mining Corp. Saat itu, nilai US$ 200 juta tergolong sangat besar. Negara maupun pengusaha lokal tak mampu mengeksekusi 20% saham NNT itu. Namun peraturan Soeharto sudah diberlakukan dan wajib dieksekusi. Maka Newmont Mining Corp kongkalikong dengan meminjamkan dana kepada Pukuafu Indah agar bisa membeli 20% saham NNT.
Sejak 1987, kepemilikan saham NNT adalah :
- Nusa Tenggara Mining 35%
- Newmont Indonesia 45%
- Pukuafu Indah 20%
Pukuafu Indah adalah anak usaha dari Merukh Enterprises milik Jusuf Merukh, orang dekat Presiden Soekarno dan petinggi PNI (cikal bakal PDIP). Jusuf Merukh adalah pengusaha tambang emas besar di Indonesia, memiliki puluhan konsesi tambang emas dari Sabang sampai Merauke, juga Filipina. Jusuf Merukh juga dikenal sebagai Menteri ke 101 pada kabinet 100 Menterinya Presiden Soekarno. Konon, Soekarno lebih mendengar masukan dari Jusuf Merukh ketimbang 100 menteri di kabinetnya itu.
Dari kekaisaran Emas milik Jusuf Merukh itulah, Megawati dan Guntur ketika pertama ke Jakarta (Kebayoran) dibelikan tempat tinggal.
Presiden Soeharto memberikan pelepasan 20% saham NNT kepada Jusuf Merukh karena ia adalah pendana utama PDI di masa lalu. PDI merupakan oposisi pemerintahan Soeharto. Memberikan kesempatan membeli 20% saham NNT kepada donatur besar PDI adalah taktik Soeharto meredam oposisi PDI.
Pada tahun 2005, pemerintahan SBY memenangkan Arbitrase Internasional melawan Newmont Mining Corp. Kalah di Arbitrase Internasional, Newmont Mining Corp harus melepaskan saham NNT hingga 51% ke Indonesia. Berhubung 20% saham NNT sudah dimiliki pengusaha lokal, Jusuf Merukh, maka Newmont Mining tinggal melepas 31% saham NNT.
Pada 15 November 2005, NNT menggelar RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) yang memutuskan akan melepas 31% sahamnya pada pemegang saham existing. Artinya, sisa divestasi sebanyak 31% harus dilepaskan terlebih dahulu kepada Pukuafu Indah milik Jusuf Merukh. Tentu saja, ini adalah taktik dari Newmont agar 51% sahamnya dilepas ke koleganya yang kebetulan pendana utama keluarga Soekarno.
Pada tahun 1987, untuk menyiasati peraturan Soeharto, Newmont kongkalikong dengan Jusuf Merukh agar beli saham NNT dengan dana pinjaman dari Newmont. Pada 2005, untuk menyiasati hasil Arbitrase Internasional, Newmont kembali merancang kongkalikong dengan Jusuf Merukh, pendana keluarga Soekarno.
Pemerintah SBY lalu meminta Newmont patuhi hasil Arbitrase Internasional dengan tidak melepas ke Jusuf Merukh, kolega kongkalikongnya. Didesak pemerintahan SBY, Newmont Mining pun tunduk pada hasil Arbitrase Internasional dan batal melepas ke Jusuf Merukh.
Mengacu pada hasil arbitrase, NNT harus divestasi dalam 5 tahap : 3% (2006), 7% (2007), 7% (2008), 7% (2009) dan 7% (2010). Total 31%. Hak pertama beli 31% divestasi Newmont jatuh pada pemerintah RI. Hak ini tidak diambil karena pemerintah tidak ada dana. Apabila pemerintah RI tidak ambil, hak kedua jatuh pada BUMN, ketika itu PT Bukit Asam dan PT Aneka Tambang yang berminat beli 31% saham NNT. Rupanya, Bukit Asam dan Aneka Tambang juga kekurangan dana untuk beli 31% divestasi Newmont dan mundur dari penawaran.
Hak ketiga jatuh pada Pemda NTB. Pemda NTB kemudian menggandeng Multi Capital membentuk konsorsium untuk membeli 31% saham Newmont (NNT). Konsorsium ini bernama PT Multi Daerah Bersaing dengan komposisi saham :
- PT Multi Capital 75%
- PT Daerah Maju Bersama (milik Pemda NTB) 25%
Hingga tahun 2009, konsorsium Multi Daerah Bersaing (MDB) telah mengeksekusi 24% saham Newmont. Kepemilikan MDB 24% itu artinya Multi Capital pegang 18% saham dan Pemda NTB pegang 6% saham Newmont dalam 1 keranjang.
Pada akhir 2009, komposisi saham NNT adalah
- Multi Daerah Bersaing 24%
- Pukuafu Indah 20%
- Newmont Mining Corp 56%.
Sisa divestasi untuk tahun 2010 adalah 7% yang kemudian jadi polemik dan hingga saat ini tidak beres juga. Polemik sisa Divestasi 7% saham NNT adalah sebuah taktik lain dari Newmont Mining agar dominasi tetap di tangan mereka.
Perlu diingat, struktur tertinggi dalam sebuah perusahaan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Apa yang akan terjadi kalau Newmont benar-benar melepas sisa 7% itu kepada pengusaha lokal? Lihat logika RUPS tadi.
Apabila sisa 7% dilepas, komposisi saham NNT akan menjadi :
- Multi Daerah Bersaing 31%
- Pukuafu 20%
- Newmont Mining Corp 49%
Bahasa sederhananya :
- Pengusaha Lokal 51%
- Newmont Mining (Asing) 49%
Bayangkan apa yang dapat terjadi pada operasional NNT? Apabila Multi Daerah Bersaing dan Pukuafu satukan suara dalam RUPS, maka seluruh jalannya perusahaan Newmont akan ikuti suara lokal. Selain itu, Multi Daerah Bersaing yang memiliki lebih dari 30% saham, bisa menempatkan 2 orang direksi dan 1 orang komisaris di Newmont.
Selama ini, seluruh jalannya perusahaan Newmont di Indonesia ditentukan oleh Newmont Mining Corp sebagai pemegang saham mayoritas. Dan seluruh jajaran manajemen Newmont (NNT) hanya tunduk pada kepentingan dan agenda Newmont Mining Corp dan AS.
Apa keuntungan apabila sisa 7% itu jatuh ke tangan lokal? RUPS Newmont akan selalu dimenangkan oleh kepentingan lokal yang menguasai 51% saham.
Sesungguhnya, itulah semangat divestasi dan tujuannya. Memenangkan suara domestik dalam RUPS di perusahaan asing yang mengeruk Sumber Daya Alam RI. Dan itu pula yang menyebabkan dalam perjuangan divestasi, selalu tujuannya adalah lokal memperoleh 51% saham, agar asing tidak semena-mena.
Pada tahun 2010, Newmont Mining ketar-ketir dengan pelepasan sisa 7% saham yang harus didivestasikan itu, karena akan selalu kalah di RUPS. Newmont Mining pun menyusun siasat lain.
Masih ingat muslihat pinjaman dana ke Pukuafu agar Pukuafu bisa beli 20% saham NNT tahun 1987?
Tipu daya ini diulang lagi oleh Newmont Mining Corp di tahun 2010. Perlu dicatat meski Pukuafu beli 20% saham Newmont (NNT) pakai pinjaman dana dari Newmont Mining, tidak menjadikan Pukuafu pro Newmont di RUPS. Ternyata, pinjaman Pukuafu kepada Newmont Mining Corp belum lunas sehingga ada sisa utang Pukuafu yang dapat dimiliki balik oleh Newmont.
Terjadilah transaksi pengambilalihan balik sisa utang Pukuafu yang dikonversi ke saham Newmont (NNT) pada 25 Juni 2010. Agar tidak ketahuan transaksi ini merupakan pembelian balik saham Newmont (NNT) oleh Newmont Mining Corp, dipakailah pihak lain.
Adalah PT Indonesia Masbaga Investama yang menjadi 'pembeli' 2,2% saham Newmont (NNT) dari Pukuafu pada 25 Juni 2010 senilai US$ 71,3 juta. Usai transaksi ini, komposisi saham Newmont :
- Multi Daerah Bersaing 24%
- Pukuafu 17,8%
- Indonesia Masbaga 2,2%
- Newmont Mining Corp 56%.
Dengan cara ini, seandainya sisa 7% saham Newmont dilepas ke lokal pun, suara dalam RUPS tetap dimenangkan Newmont Mining Corp. Sederhananya :
- Multi Daerah Bersaing dan Pukuafu = 48,8%
- Newmont Mining Corp 49% + Indonesia Masbaga 2,2% = 51,2%
Dengan tipu daya tersebut, Newmont (NNT) akan selalu memenangkan hasil keputusan RUPS. Meski ada PT Indonesia Masbaga Investama yang merupakan perusahaan lokal, tapi hak suara RUPS diserahkan ke Newmont.
Dalam perjanjian jual beli 2,2% saham NNT, hak suara Indonesia Masbaga Investama dalam RUPS menjadi milik Newmont. Kenapa demikian? Karena Indonesia Masbaga Investama membeli 2,2% saham NNT dengan dana pinjaman US$ 71,3 juta dari Newmont Mining Corp. Hak suara Indonesia Masbaga Investama dalam RUPS menjadi milik Newmont Mining Corp hingga utang US$ 71,3 juta lunas.
Siapakah PT Indonesia Masbaga Investama?
Berdasarkan dokumen Keputusan Pemegang Saham PT Indonesia Masbaga Investama pada 11 Februari 2011, perusahaan ini dimiliki 4 pihak yaitu :
- Yayasan Sanata Darma 60%
- Yayasan Karya Akademi Tehnik Mesin Industri (ATMI) 25%
- Nusantara Suria Atmadja 10%
- Gusrizal Sjam 5%
Melihat komposisi tersebut, pemegang saham mayoritas PT Indonesia Masbaga Investama adalah Yayasan Sanata Dhatma sebanyak 60% saham. Artinya, Yayasan Sanata Dharma mengendalikan penuh PT Indonesia Masbaga Investama dan memiliki 1,32% saham Newmont (NNT).
Yayasan Sanata Dharma adalah pemilik Universitas Sanata Dharma, kampus Jesuit Katolik di Yogyakarta yang berdiri pada tahun 1955. Ketua Yayasan Sanata Dharma adalah Budi Susanto yang merupakan rekan bisnis Jacob Oetama, pendiri Kompas Group. Budi Susanto, sebagai Ketua Yayasan Sanata Dharma merupakan pihak yang menjadi penghubung dengan Newmont Mining Corp. Budi Susanto (Ketua Yayasan Sanata Dharma), juga menjabat Wakil Ketua pendirian Universitas Multimedia Nusantara (UMN) milik Kompas Gramedia.
Apakah ada kaitannya dengan Kompas Group tidak pernah memberitakan polemik divestasi Newmont? Boleh tanya ke Budi Susanto.
Pertanyaannya, kenapa Yayasan Sanata Dharma 'bantu' tipu daya Newmont Mining melalui skema beli 2,2% saham Newmont (NNT) dari Pukuafu?
Jawabannya, Newmont Mining berlindung di balik kemasan 'CSR Pendidikan' agar Yayasan Sanata Dharma mau ikut skenario ini. Jatah dividen Newmont (NNT) untuk Yayasan Sanata Dharma adalah untuk cicilan utang dan dana penelitian Universitas Sanata Dharma dan UMN milik Kompas Group.
Sederhananya, PT Indonesia Masbaga Investama dipenjara oleh pinjaman US$ 71,3 juta untuk beli 2,2% saham Newmont (NNT). Hak suara Indonesia Masbaga Investama dalam RUPS diserahkan kepada Newmont Mining Corp. Sebagai gantinya, Indonesia Masbaga Investama tak perlu pakai dana sendiri untuk membeli 2,2% saham Newmont (NNT). Newmont Mining Corp pinjamkan dana US$ 71,3 juta yang dibayarkan oleh Indonesia Masbaga Investama dengan mencicil dari jatah Dividen. Sisa jatah dividen Indonesia Masbaga Investama (di luar cicilan utang), digunakan untuk dana pendidikan dan penelitian.
Begitulah cara tipu daya asing dalam menguasai aset-aset tambang di Indonesia. Segala cara akan dipakai. Penilaian saya, kalau para Capres hanya menjanjikan Renegosiasi, tampak seperti membual saja. Lain halnya kalau para Capres menjanjikan Divestasi, itu baru boleh diacungi jempol. Karena menang Arbitrase Internasional dan menang divestasi saja masih bisa kena tipu daya asing. Jadi harusnya para Capres menargetkan Divestasi, lalu menjaga agar realisasi divestasi betul-betul jatuh ke tangan Indonesia. Kalau hanya menjanjikan Renegosiasi, itu tanda tak serius amanatkan UUD Pasal 33.
Mari kita simak kelanjutannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H