Sudah hampir 10 bulan telenovela Balada Mirna – Jessica tayang di televisi, kita kira semua sudah ‘telanjang’. Mirna sang korban, beserta keluarganya sudah ‘ditelanjangi’ habis. Jessica sang pelaku, beserta keluarganya, juga kita kira sudah ‘ditelanjangi’ habis.
Rupanya, semua yang terlihat di permukaan Balada Mirna – Jessica, baru menyingkap sedikit saja dari keseluruhan cerita.
Pada episode yang kita kira sudah mencapai babak akhir, muncul Amir, saksi baru yang mengubah alur cerita. Mendadak, Arief Soemarko, suami dari almarhumah Mirna Salihin, seolah dituduh Amir sebagai dalang pembunuhan.
Pertemuan Arief Soemarko dengan Barista Kopi Olivier dinilai janggal. Sama janggalnya dengan kemunculan Amir. Lebih janggal lagi, segudang pengacara kondang yang biasanya bertarif miliaran, mendadak membela Jessica tanpa biaya. Otto Hasibuan dan Hotman Paris mendadak jadi pengacara gratisan. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sampai fasilitasi konferensi pers Amir di hotel mewah atas alasan kemanusiaan.
Pertanyaan kurang pentingnya, berapa tarif segudang pengacara kondang agar mau mengatakan pada dunia ‘ini gratis’ ?
Pertanyaan lebih pentingnya, benarkah Tommy Winata yang membiayai seluruh pembelaan kepada Jessica?
Darmawan Salihin, ayah dari sang korban Mirna Salihin, adalah adik dari Roosniati Salihin, salah satu bos Panin Group milik Mukmin Ali Gunawan. Ada yang bilang, ‘bantuan’ Tommy Winata kepada Jessica adalah kelanjutan ‘perang’ Artha Graha versus Victoria Group (milik Mukmin Ali).
Kita tahu betul, usai penggrebekan Artha Graha yang konon dikerahkan oleh Mukmin Ali, dibalas dengan penggrebekan Victoria Sekuritas oleh Tommy Winata.
Lantas, apa gegara itu Tommy Winata membiayai pembelaan Jessica, sekedar untuk memanaskan kembali Mukmin Ali?
Sebelum menjawabnya, tentu harus tahu siapa itu Jessica Kumala Wongso yang singkatan namanya, JKW. Kebetulan sama dengan singkatan Joko Widodo (JKW). Padahal, secara kaidah tata bahasa Indonesia, Joko Widodo tidak bisa disingkat menjadi JKW. Kalau pun Joko Widodo mau dipaksakan disingkat berphonem Je-Ka-We, maka penulisannya harus Jkw, bukan JKW.
Jadi, mana yang benar :
- Penggunaan JKW untuk Joko Widodo adalah kesalahan branding semata, lalu kebetulan Jessica Kumala Wongso lebih benar disingkat JKW?
- Atau, beredarnya brand JKW sejak 2014, buka peluang Jessica Kumala Wongso menjadi Capres 2019 jika bebas dari pembunuhan?