Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika Keluarga Astra Berebut Menara Telkom (Mitratel)

30 April 2015   16:02 Diperbarui: 4 April 2017   16:15 2262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Presiden Jokowi tegas mengatakan eksekusi mati napi narkoba jangan diintervensi, itu sudah betul. Tapi ketika Presiden Jokowi seolah menjadikan realisasi eksekusi mati sebagai bukti kedaulatan negara, jelas itu adalah pencitraan. Agar semua sadar, kedaulatan negara RI bukan hanya didasarkan pada eksekusi mati terpidana nan bebas intervensi asing.

Sudahkah RI berdaulat atas emas Freeport?

Itu pertanyaan yang akan kita jawab di waktu yang lain.

Hari ini kita akan membahas soal sengketa panas tukar guling saham Mitratel. Pemerhati politik, ekonomi dan telekomunikasi, mestinya sudah akrab mendengar tukar guling atau swap Mitratel. Tapi saya yakin, sedikit yang menyadari bahwa perebutan saham Mitratel ini adalah bentuk lain kompetisi keluarga eks Astra International.

Mereka yang sudah dewasa, baligh atau setidaknya sudah memahami bacaan di koran-koran tahun 1990-an, pasti mengenal soal kisruh Astra dan Bank Summa. Generasi sekarang mungkin sudah melupakan kisruh Astra dan Bank Summa.

Astra International sudah menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia pada tahun 1990-an. Di era Orde Baru, peran swasta tidak bisa lepas sepenuhnya dari campur tangan pemerintah dan politik. Swasta yang tidak dekat dengan pusat politik, tidak bisa besar di era itu. Itulah kenapa lalu banyak orang mengeluarkan istilah kroni Cendana, meski sebenarnya tidak sesederhana itu. Tapi memang, grup Salim, grup Lippo, grup Djarum, grup Astra dan sebagainya, tak akan bisa menjadi raksasa tanpa ‘bantuan’ Cendana.

Seperti Telkom di masa kini, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia abad 21 ini juga tidak pernah lepas dari campur tangan politik. Kalau campur tangan pemerintah jelas ada, karena Telkom adalah BUMN.

Kembali ke Astra. Kebesaran Astra menjadikan siapa saja jebolan Astra menjadi aset Premium. Sebut saja, Wakil Presiden kita Jusuf Kalla. Keluarga Kalla mengawali bisnisnya dari memegang lisensi tunggal penjualan Toyota di Indonesia Timur. Anda bisa tanya sama bos dan mantan bos Astra di masa kini. Kalau anda tinggal di Indonesia Timur dan ingin buka showroom mobil via Astra, mustahil tanpa izin ke keluarga Kalla, hingga saat ini. Direktur Utama Astra International pun tak bisa intervensi. Semua bos Astra hanya akan bilang : Sowan dulu ke pak JK, kalau ia approve, maka kita approve. Bermula dari Astra, kini pak JK memegang kunci kelangsungan Indonesia saat ini.

Bohong kalau ada yang bilang pak JK bukan tokoh kunci arah Indonesia Timur. Asal tahu saja, AS masih takut memerdekakan Papua karena pak JK masih hidup. Sejak jaman dahulu, Papua adalah bagian dari wilayah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Secara adat, masyarakat Papua masih ingin berada di bawah Indonesia karena pak JK, sang Raja Indonesia Timur, masih hidup dan bergabung dengan Indonesia. Cerita akan lain jika suatu saat Pak JK wafat, Papua merdeka tinggal tunggu waktu diprovokasi.

Itu bicara Pak JK, salah satu jebolan premium dari Astra. Lalu ada Edward Soeryajaya, anak tertua pendiri Astra, William Soeryajaya. Edward Soeryajaya, seharusnya menjadi pewaris tahta Astra International. Tapi sayangnya, di puncak kejayaan Astra, Edward melakukan kesalahan fatal, setidaknya begitu kata orang-orang.

Edward Soeryajaya mendirikan Summa Financial di Hong Kong, yang kemudian mendirikan Bank Summa di Indonesia. Kalau pernah dengar Bank Indover di Belanda, itu hasil kerjasama Bank Indonesia dengan Bank Summa. Nah, banyak orang bilang Edward Soeryajaya melakukan banyak sekali aksi keuangan risiko tinggi melibatkan aset Astra dan pinjaman Bank Summa. Dampaknya, ketika terjadi gempa keuangan di Summa dan Astra, semua meleleh bersama.

Para bos Astra pun pecah kongsi akibat ‘kehancuran’ yang diakibatkan aksi keuangan risiko tinggi Edward Soeryajaya. William Soeryajaya, sang ayah masih berusaha membela Edward. Jusuf Kalla juga berada di sisi Edward. Rini Soemarno, Direktur Keuangan Astra yang menjadi orang kepercayaan William Soeryajaya, juga membela Edward Soeryajaya. Bahkan jelang akhir kehancuran total Astra, Edward Soeryajaya mengangkat Rini Soemarno menjadi Direktur Keuangan Astra International.

Di kubu lawannya, ada Edwin Soeryajaya yang merupakan adik Edward Soeryajaya. Edwin menuding, semua kisruh Astra adalah hasil aksi keuangan risiko tinggi yang dilakukan Edward Soeryajaya. Edwin mengajukan diri mengambil alih Astra, namun saat itu William masih berada di pihak Edward. Edwin tak sendiri. Di gerbong pendukung Edwin Soeryajaya, ada Teddy Rahmat dan Subianto, dua jebolan premium dari Astra lainnya.

Di akhir cerita, William akhirnya berpihak pada kubu Edwin Soeryajaya bersama Teddy Rahmat dan Subianto. Perubahan dukungan William terjadi karena skema penyelamatan Astra yang ditawarkan Rini Soemarno dan Edward Soeryajaya gagal total. Astra diambil alih sepenuhnya oleh BPPN. JK, sebagai saudagar dan pedagang tulen, berakhir bersikap netral.

Jadi sudah paham kan peta pertarungan Astra International di masa silam. Di kubu Edward Soeryajaya, ada Rini Soemarno dan Jusuf Kalla. Di kubu Edwin Soeryajaya, ada Teddy Rahmat, Subianto dan pada akhirnya, William Soeryajaya.

Lantas, apa hubungannya kisruh Astra di masa silam dengan Telkom dan sengketa Swap Mitratel?

Jawabannya sederhana, pemainnya kurang lebih sama dengan peta kubu yang identik pula.

Telkom, kurang lebih berposisi sama dengan Astra, perusahaan terbesar dengan campur tangan politik tingkat tinggi. Mitratel merupakan anak usaha Telkom yang bertugas mengelola menara-menara telekomunikasi milik Telkom. Menara Telekomunikasi ini bukan BTS lho. BTS itu pemancarnya, sedangkan Menara itu bangunan menaranya. Dalam satu menara bisa berisi beberapa BTS.

Sejak 2012, keluarga eks Astra memang mengincar bisnis menara. Supaya lebih mudah saya jabarkan disini peta kepemilikan menara 3 operator terbesar, sebelum keluarga eks Astra bermain di area ini :

Telkom Group : 18.000 menara

-Mitratel : 4.000 menara

-Telkomsel : 14.000 menara

XL Group : 10.000 menara

Indosat Group : 8.000 menara

Pada tahun 2012, Tower Bersama (TBI) membeli 2.500 menara Indosat senilai US$ 406 juta. Harga 1 menara Indosat dibeli TBI kira-kira US$ 162.400. Dengan kurs Rp 13.000/US$, 1 menara Indosat dibeli TBI seharga Rp 2,1 miliar.

Sisa menara Indosat setelah 2.500 menara dibeli TBI adalah sebanyak 5.500 menara. TBI berpeluang membeli sisa 5.500 menara Indosat.

Pada tahun 2014, Solusi Tunas Pratama (STP) membeli 3.500 menara XL senilai US$ 460 juta. Harga 1 menara XL dibeli STP kira-kira US$ 131.428. Dengan kurs Rp 13.000/US$, 1 menara XL dibeli STP seharga Rp 1,7 miliar.

Sisa menara XL setelah 3.500 menara dibeli STP adalah sebanyak 6.500 menara. STP berpeluang membeli sisa 6.500 menara XL.

Nah, pada tahun 2014, Telkom juga membuka tender penjualan Mitratel yang mengelola 4.000 menara Telkom. Ada 4 pihak yang ikut serta dalam proses penawaran :

-Tower Bersama (TBI) milik Edwin Soeryajaya.

-Solusi Tunas Pratama (STP) miliak Patrick Waluyo, menantu Teddy Rahmat.

-Sarana Menara Nusantara (SMN), milik Djarum dan Salim bekerja sama dengan Edward Soeryajaya.

-Nusantara Infrastructure (NI) milik Jusuf Kalla dan Erwin Aksa.

Belakangan STP mundur dari penawaran Mitratel, karena STP menang tender pembelian 3.500 menara XL pada 1 Oktober 2014. Dan kalau masih ingat, Edwin Soeryajaya bersama Teddy Rahmat dan Subianto juga bersatu mengelola Adaro Indonesia, perusahaan batubara premium di Indonesia. Patrick Waluyo sebagai menantu Teddy Rahmat tidak mungkin berkompetisi dengan TBI soal Mitratel. Makanya STP mundur dari penawaran Mitratel.

Jadi, peta perebutan Mitratel tersisa 3 pemain, yakni TBI (Edwin Soeryajaya), SMN (Djarum, Salim, Edward Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin Aksa).

Nah, hasil akhir dari perebutan menara Mitratel dimenangkan oleh TBI (Edwin Soeryajaya). MoU antara Telkom dan TBI pun digelar pada 10 Oktober 2014.

Kenapa Telkom memenangkan TBI soal Mitratel?

Karena TBI menawarkan tukar guling saham, bukan menawarkan pembelian jual beli putus. SMN (Djarum, Salim, Edward Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin Aksa) menawarkan jual beli putus. Perbedaannya jelas, kalau Mitratel dilepas ke SMN atau NI, maka kepemilikan Mitratel sepenuhnya tidak lagi di tangan Telkom.

Lain cerita dengan mekanisme swap. Jadi, saat ini Mitratel 100% dimiliki oleh Telkom. Nah, setelah swap, Telkom akan memiliki 13,7% saham TBI, sedangkan TBI memiliki 100% saham Mitratel. Artinya, dengan mekanisme swap, Telkom tak hanya masih memiliki Mitratel, tetapi juga memiliki TBI.

TBI saat ini mengelola 11.000 menara, ditambah 4.000 menara Mitratel, total ada 15.000 menara. Jadi dengan kepemilikan Telkom di TBI sebanyak 13,7%, Telkom masih menguasai 2.055 menara.

Keuntungan bagi Telkom apa sih dari swap ini?

Pertanyaan ini juga bagus ditanyakan pada Indosat dan XL yang sudah lebih dulu melepas menaranya.

Sederhananya begini, tadinya perusahaan operator mengelola jaringan telekomunikasi dan infrastruktur menaranya. Artinya, Telkom, Indosat, XL, harus siapkan dana membangun menara, agar bisa memasang BTS (pemancar). Dampaknya, pemerataan pembangunan telekomunikasi jadi lebih lambat, karena operator harus investasi jaringan dan menara.

Lalu muncul solusi, pembangunan menara tidak dilakukan oleh operator, sehingga operator fokus investasi jaringan. Solusi ini dianggap tepat untuk mencapai percepatan pemerataan telekomunikasi di Indonesia. Itulah kenapa berbondong-bondong berdiri perusahaan pengelola menara. Lalu operator juga berbondong-bondong menjual menaranya.

Jadi, sebelum ada solusi pengelolaan terpisah menara telekomunikasi, operator harus menyiapkan dana untuk :

-Pembangunan jaringan.

-Operasional jaringan.

-Pembangunan menara.

-Operasional perawatan dan pengelolaan menara.

Setelah solusi pengelolaan menara secara terpisah muncul, operator jadi lebih hemat karena hanya fokus pada pembangunan jaringan dan operasional jaringan. Kebutuhan dana pembangunan menara dan operasional perawatan menara, diserahkan sepenuhnya oleh perusahaan pengelola menara.

Ilustrasinya, daripada harus membeli mobil operasional kantor sebanyak 100 unit, akan lebih hemat kalau menyewa saja. Itulah yang terjadi pada industri telekomunikasi terkait menara. Jadi yang bertugas membangun menara dan memikirkan biaya operasional dan perawatannya ya perusahaan pengelola menara. Operator hanya memikirkan biaya pembangunan dan operasional jaringan.

Nah, ada perbedaan antara yang terjadi pada Telkom dengan XL dan Indosat. XL dan Indosat menjual putus menaranya, sehingga XL dan Indosat masih harus mengeluarkan biaya sewa menara.

Untuk kasus Telkom berbeda. Berhubung Telkom masih memiliki 13,7% saham TBI, artinya Telkom menerima pemasukan dari TBI. Nah, pemasukan dari TBI ini yang dikonversi menjadi biaya sewa menara. Jadi dengan menggunakan mekanisme swap, Telkom tetap memiliki Mitratel dan tidak perlu bayar sewa.

Jadi secara kacamata bisnis, tidak benar kalau dikatakan Telkom dirugikan dari Swap Mitratel. Karena faktanya, Telkom masih memiliki Mitratel. Telkom juga memiliki TBI. Dan Telkom juga tidak perlu bayar sewa menara, karena pemasukan dari TBI akan dijadikan biaya sewa menara.

Dari sisi Telkom, tentunya akan terjadi penghematan besar-besaran. Selain tidak perlu lagi membangun menara, Telkom juga tidak perlu bayar sewa menara.

Lalu ada yang bilang harga swap TBI terhadap Mitratel terlalu rendah, dilihat dari mana?

Mari kita hitung. Mitratel mengelola 4.000 menara. Nilai transaksi swap Telkom dan Mitratel US$ 904 juta. Artinya, harga 1 menara Mitratel dihargai TBI sebesar US$ 226.000. Dengan kurs Rp 13.000/US$, harga 1 menara Mitratel dibanderol Rp 2,9 miliar.

Bandingkan dengan harga pembelian 1 menara Indosat oleh TBI senilai Rp 2,1 miliar. Bandingkan juga dengan harga pembelian 1 menara XL oleh STP senilai Rp 1,7 miliar.

Jadi kalau ada yang bilang swap Mitratel merugikan negara, merugikan dari mana? Dibeli di harga premium kok. Saya bukan bela Telkom soal swap Mitratel, tapi faktanya secara hitung-hitungan bisnis memang tidak dirugikan. Justru Telkom memilih TBI karena hanya TBI yang menawarkan mekanisme swap. Dengan Swap, Telkom jauh lebih hemat dari segi anggaran dan Telkom tak hanya masih memiliki Mitratel, tapi juga memiliki sebagian aset TBI.

Beda hasilnya kalau Telkom menjual pada SMN (Djarum, Salim, Edward Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin Aksa) yang menawarkan jual beli putus. Dengan jual beli putus, Telkom kehilangan kepemilikan sepenuhnya atas Mitratel dan masih harus mengeluarkan biaya sewa menara.

Tapi memang sulit menempatkan Telkom sepenuhnya dalam kacamata bisnis. Selalu ada politisasi bila bicara Telkom. Seperti kita lihat, usai kegagalan SMN dan NI yang kalah dalam tender penjualan Mitratel, kekuatan politik bergerak.

Edward Soeryajaya melihat peluang ikut menghajar Edwin Soeryajaya. Edward ‘membantu’ SMN milik grup Djarum dan Salim melalui tangan Rini Soemarno, orang kepercayaan Edward. Agendanya jelas, membatalkan Swap Telkom dan TBI, setidaknya selama 1 tahun. Dengan bergabungnya Edward Soeryajaya dalam kongsi SMN, diharapkan waktu 1 tahun cukup untuk menjadikan SMN sebesar TBI.

Faktanya, TBI dan STP adalah Emas, sedangkan SMN dan NI masih berskala Perunggu. Agar bisa bersaing dengan TBI dan STP di industri menara, SMN dan NI harus menghambat laju pertumbuhan TBI dan STP. Salah satu caranya, membatalkan swap Mitratel antara Telkom dan TBI.

Edward Soeryajaya mengerahkan Rini Soemarno dengan kekuatan penuh. Rini Soemarno mengerahkan Maruarar Sirait (Ara) dari PDIP untuk menggerakkan Serikat Karyawan Telkom, menggoyang Telkom dari dalam. Maruarar Sirait juga mengerahkan Hendarwan Supratikno di Komisi VI DPR untuk menyuarakan pembatalan swap Mitratel. Dalam hearing di DPR soal Mitratel, Rini Soemarno dan DPR kompak menyatakan tolak Swap Mitratel. Pergerakan Edward Soeryajaya untuk merebut Mitratel bekerja.

Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN merombak jajaran petinggi Telkom sebanyak 2 kali dalam waktu 4 bulan terakhir. Perombakan pertama petinggi Telkom terjadi pada 19 Desember 2014. Jagoannya Rini yakni Hendri Saparini (ekonom PDIP) dan Dolfie Othniel Frederic (politisi PDIP) masuk Komisaris Telkom.

Maruarar Sirait juga telah melobi JK di istana negara untuk bergabung menggoyang Telkom. Dalam rapat tertutup itu, hadir juga Sofyan Wanandi.

[caption id="attachment_380962" align="aligncenter" width="512" caption="Pertemuan Tertutup Maruarar Sirait dan JK di Istana Negara (sumber : dokumen pribadi)"][/caption]

Hasil dari lobi Maruarar Sirait terhadap JK, adalah ikut sertanya JK dalam pertarungan Mitratel. Sebagai bukti kerjasama, Taruna Merah Putih (gerbong Ara) menggelar acara bareng PMI pada 29 Maret 2015, dihadiri langsung oleh JK.

JK lalu berhasil menempatkan 2 orangnya di jajaran komisaris Telkom pada perombakan kedua yang dilakukan Rini Soemarno pada 17 April 2015. Semua juga tahu kalau Rhinaldi Firmansyah (mantan Dirut Telkom) adalah orangnya JK. Kini, Rhinaldi Firmansyah, pentolan dunia Telekomunikasi didaulat menjadi Komisaris Telkom. Masuk juga, Pamela Johana, Corporate PR Metro TV sekaligus Dewan Pakar Partai Nasdem dalam jajaran komisaris Telkom.

Partai Nasdem adalah partai yang mengusung JK dalam bursa Pilpres 2014. Jangan lupa, Djarum dan Surya Paloh juga baru saja mengadakan kerjasama bisnis strategis. Jangan lupa juga, Edward Soeryajaya adalah salah satu penyokong dana Jokowi – Ahok di Pilkada DKI 2012. Lalu Edward Soeryajaya juga penyokong dana Jokowi – JK di Pilpres 2014. Edward Soeryajaya tentu tahu balas budi atas dukungan JK padanya, ketika kisruh Astra dan Bank Summa di masa silam.

Jadi secara peta, Edward Soeryajaya telah menguasai : Kementerian BUMN, Komisi VI DPR RI dan Komisaris Telkom. Sementara JK juga berpartisipasi menempatkan 2 orangnya di : Komisaris Telkom.

Apa yang dimiliki Edwin Soeryajaya dan TBI?

Sandiaga Uno bergabung ke Gerindra. Semua juga tahu kalau Sandiaga Uno hanyalah proxy Edwin Soeryajaya. Mungkin Edwin berharap, Sandiaga Uno masuk Gerindra akan menciptakan kompetisi di Komisi VI DPR RI. Pada masa Pilpres 2014, Edwin Soeryajaya memang bertaruh untuk Koalisi Merah Putih, berseberangan dengan Edward Soeryajaya yang bertaruh pada Jokowi – JK.

Jadi kalau melihat peta kekuatan di atas, jelas Edward Soeryajaya lebih unggul, sedangkan Edwin Soeryajaya kalah posisi.

Kongsi Edward Soeryajaya bersama JK, Djarum dan Salim menguasai Kementerian BUMN, Komisi VI DPR, Komisaris Telkom dan Serikat Karyawan Telkom. Edwin Soeryajaya hanya berhasil menempatkan Sandiaga Uno di Gerindra dan tidak mengendalikan Komisi VI DPR.

Jika dahulu, Edwin Soeryajaya unggul melawan Edward Soeryajaya di kisruh Astra, akankah kali ini situasi berbalik? Yang jelas, saat ini terlihat jelas adanya konspirasi menggagalkan Swap Mitratel antara Telkom dan TBIG oleh kongsi Edward Soeryajaya.

Mari kita simak kelanjutan kisahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun