Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Incar Monorail, Jusuf Kalla Mundur Jika Ahok Serius Maju Cawapres Jokowi

14 April 2014   22:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kabar mengejutkan lain saya dengar dari internal PDIP. Konon, Jusuf Kalla benar berniat mundur dari niatnya maju sebagai cawapres Jokowi. Terlepas dari kabar bahwa ibu Megawati sendiri memang tidak berencana menerima pinangan Jusuf Kalla, ia mundur dengan sendirinya. Jusuf Kalla berniat mundur dari proposal cawapres Jokowi, jika Ahok serius maju sebagai cawapres Jokowi.

Lantas, ada apa gerangan yang membuat Jusuf Kalla berniat mundur dari proposal cawapres Jokowi jika Ahok maju jadi Cawapres Jokowi? Bukankah mereka berasal dari partai yang berbeda?

Rupanya, Kalla ada motif ingin merebut kembali Monorail di balik niat mundur Jusuf Kalla dari proposal cawapres Jokowi.

Kok bisa?

Begini ceritanya. Pada Februari 2013, PT Jakarta Monorail memutuskan meminang Ortus Holding untuk menggarap proyek Monorail di DKI. Ortus Holding merupakan perusahaan patungan milik Edward Suryajaya yang bermarkas di Singapura. Sebelumnya, PT Jakarta Monorail telah bekerja sama dengan PT Hadji Kalla Group milik Jusuf Kalla untuk menggarap monorail. Namun seiring pergantian Gubernur DKI Jakarta, Jokowi – Ahok menggantikan Hadji Kalla Group kepada Ortus Holding.

Mari kita lihat kenapa ini bisa terjadi. Awalnya, Djan Faridz hendak maju ke Pilkada DKI. Penguasa salah satu blok pasar Tanah Abang, Mal Season City dan banyak properti lain ini ingin menjadi Gubernur DKI.

Bagi yang belum tahu, Djan Faridz adalah pemilik gedung Megawati Institute di kawasan Jakarta Pusat. Pemilik gedung pusat Partai Demokrat, sekaligus juga pemilik kantor pusat PBNU. Sebagai pengusaha properti, Djan Faridz banyak menyumbang gedung untuk kekuatan-kekuatan politik setempat.

Dengan modal dana yang besar, Djan Faridz tentu memiliki peluang memenangkan Pilkada DKI. Sayangnya, Jusuf Kalla tidak menginginkan DJan Faridz maju ke Pilkada DKI. Alasan utamanya adalah karena Jusuf Kalla melalui Hadji Kalla Group tidak ingin kehilangan proyek Monorail. Dengan kedekatan hubungannya dengan Fauzi Bowo, Jusuf Kalla akan tetap dapat Monorail jika mempertahankan Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI.

Maka Jusuf Kalla tetap mendukung Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI di Pilkada DKI 2012. Tapi, rencana Djan Faridz maju ke Pilkada DKI tentu menjadi halangan tersendiri bagi Jusuf Kalla. Oleh sebab itu, Jusuf Kalla menyewa sebuah konsultan untuk dijadikan konsultan tim suksesi Djan Faridz. Goalnya tentu saja, menghancurkan kinerja tim Djan Faridz dari dalam.

Rencana itu sukses, tim suksesi Djan Faridz berantakan. Jusuf Kalla lalu melobi Presiden SBY agar menjadikan Djan Faridz sebagai Menteri Perumahan Rakyat. Djan Faridz tentu akan puas dengan jabatan Menteri dan mundur dari Pilkada DKI. Rencana Jusuf Kalla itu berhasil, Djan Faridz puas menjadi Menteri Perumahan Rakyat.

Jusuf Kalla lalu memasang taruhan pada Fauzi Bowo di Pilkada DKI 2012. Sayangnya, Djan Faridz juga tidak bodoh dan tidak tinggal diam. Djan Faridz memasang taruhan pada pasangan Jokowi – Ahok dengan donasi Rp 80 miliar. Apa imbal dari sokongan dana Rp 80 miliar dari Djan Faridz kepada Jokowi?

Jusuf Kalla melalui Fauzi Bowo, sempat berencana memutus kontrak pengelolaan pasar Tanah Abang yang dikelola Djan Faridz. Itulah sebabnya, Djan Faridz menyokong dana kepada Jokowi – Ahok di Pilkada DKI sebesar Rp 80 miliar. Dan benar saja, ketika Jokowi – Ahok menang, langsung terjadi perpanjangan kontrak Tanah Abang untuk Djan Faridz.

Sebuah balas budi yang sepadan, donasi Rp 80 miliar untuk perpanjangan kontrak Tanah Abang. Tak berhenti sampai disitu, Jokowi – Ahok lalu membersihkan pedagang-pedagang di luar pasar Tanah Abang. Penjelasan ke publiknya, agar mengurangi macet. Tapi yang tidak diceritakan adalah pedagang-pedagang Tanah Abang yang semula berdagang di pinggir jalan, kini menyewa ruko di pasar Tanah Abang, milik Djan Faridz.

Sudah paham kan? Djan Faridz sokong dana Rp 80 miliar ke Jokowi – Ahok, ditukar dengan perpanjangan kontrak Tanah Abang dan penyewa ruko baru.

Dan sebagai balasan kepada Jusuf Kalla yang memihak Fauzi Bowo, Jokowi – Ahok memberikan kontrak pengerjaan Monorail ke Ortus Holding. Edward Suryajaya sekonyong-konyong menjadi pengelola Monorail menggantikan Hadji Kalla Group.

Wajar saja, Edward Suryajaya juga memberikan donasi ke Jokowi – Ahok sebesar Rp 60 miliar di Pilkada DKI. Sepadan bukan? Edward Suryajaya sokong dana Rp 60 miliar, dapat proyek Monorail dari Jokowi – Ahok.

Colek artikel saya dahulu : Danai Jokowi Rp 60 Miliar, Edward Suryajaya Dapat Proyek Monorail Jakarta http://politik.kompasiana.com/2013/02/13/danai-jokowi-rp-60-miliar-edward-soeryadjaya-dapat-proyek-monorail-jakarta-533169.html

Sayangnya, Jusuf Kalla juga tak tinggal diam setelah kontrak pengerjaan Monorail batal diberikan ke Hadji Kalla Group. Jusuf Kalla berencana maju sebagai Cawapres Jokowi. Tujuannya tentu saja, menekan Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Ahok agar mencabut kontrak Monorail dari Edward Suryajaya.

Tak hanya mengincar Monorail, Jusuf Kalla juga telah melakukan transaksi dengan Pemerintah Jepang, Toyota dan Astra Internasional. Perantaranya adalah Menteri Perdagangan M Lutfi yang dulu pernah menjabat Duta Besar RI untuk Jepang.

Executive Vice President Toyota Motor Corporation (TMC), Yasumori Ihara menargetkan penjualan Toyota di Indonesia bisa menduduki posisi keempat. Saat ini, 5 besar peringkat penjualan Toyota di dunia adalah AS, Jepang, China, Thailand dan Indonesia. Yasumori (TMC) menargetkan Indonesia bisa menjadi peringkat keempat, menggeser Thailand.

Sayangnya, Pemda DKI di bawah Jokowi – Ahok menggenjot proyek transportasi massal yang tentunya akan menghantam angka penjualan mobil. Bagi Toyota, DKI sebagai pusat penjualan mobil terbesar tentu tidak boleh terhambat oleh proyek transportasi massal. Apalagi, Toyota pusat di Jepang sudah menargetkan penjualan Toyota di Indonesia membalap Thailand.

Johnny Dharmawan, CEO Toyota Astra Motor (TAM) tidak mampu menghadang proyek transportasi massal Jokowi – Ahok. Sebagai informasi, TAM merupakan pemilik lisensi penjualan Toyota untuk wilayah Indonesia. Saham TAM dimiliki Astra Internasional sebesar 51%.

Melihat ketidakmampuan Johnny Dharmawan itu, Toyota pusat (TMC) di Jepang mencopot Johnny Dharmawan dari posisinya. TMC mengutus Hiroyuki Fukui, langsung dari Jepang untuk memimpin TAM dan menjadikan Indonesia peringkat keempat.

Johnny Dharmawan kini menjabat sebagai Wakil CEO PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Istilah kasarnya, Toyota pusat (TMC) mem-pensiun-kan Johnny Dharmawan untuk kepentingan bisnis politik dengan Jusuf Kalla tersebut.

Pertanyaannya, apa solusi yang ditawarkan Jusuf Kalla kepada Toyota?

Bagi yang belum tahu, bisnis keluarga Kalla menjadi besar salah satunya atas peran Toyota. PT Hadji Kalla Group memulai bisnisnya dengan menjadi agen tunggal penjualan Toyota di tahun 1969. Berangkat dari situ, Hadji Kalla Group menjadi besar dan akhirnya kini menguasai perdagangan di Indonesia Timur dalam banyak sektor. Kalla Group bersama Aksa Group merupakan kelompok usaha terbesar dan terkuat di kawasan Indonesia Timur.

Dapat dikatakan, tidak ada kekuatan bisnis dan politik di kawasan Indonesia Timur yang bisa tumbuh besar tanpa sowan ke keluarga Kalla. Bahkan Golkar di area Indonesia Timur pun menjadi basis massa Jusuf Kalla, bukan Ical. Begitu pula dengan basis KADIN di kawasan Indonesia Timur.

Singtel, raksasa Singapura, juga ketika masuk ke pasar Operator Telpon di Indonesia Timur harus bergabung dengan Kalla Group. Namanya kalau tidak salah Bukaka-Singtel. Bukaka adalah perusahaan milik Kalla Group.

Dalam transaksi bisnis politik antara Jusuf Kalla dengan Toyota yang diperantarai Menteri Perdagangan M Lutfi dan Pemerintah Jepang ini, Kalla Group menawarkan solusi berupa penjualan Toyota optimal di kawasan Indonesia Timur serta dihambatnya berbagai proyek transportasi massal di DKI, agar penjualan Toyota di DKI bisa maksimal.

Semula, rencana Jusuf Kalla adalah mengincar kursi Cawapres Jokowi agar bisa menekan Gubernur DKI (Ahok) di proyek transportasi massal. Namun begitu melihat adanya wacana Ahok juga akan maju sebagai cawapres Jokowi, skenario berubah. Apabila Ahok serius maju cawapres Jokowi, Jusuf Kalla memilih mundur dari proposal cawapres Jokowi.

Apa yang diincar Jusuf Kalla jika mundur saat Ahok maju Cawapres Jokowi?

Tentu saja, Pilkada DKI. Jika pasangan Jokowi – Ahok lanjut ke Pilpres 2014, maka akan terjadi kekosongan kursi Gub dan Wagub DKI. Sudah tentu akan digelar Pilkada DKI di 2015.

Inilah yang diincar Jusuf Kalla, memajukan kandidat ke Pilkada DKI 2015 untuk beberapa tujuan. Pertama, Hadji Kalla Group merebut kembali proyek Monorail yang diberikan Jokowi – Ahok kepada Edward Suryajaya. Kedua, menghambat sejumlah proyek transportasi massal yang bisa menghambat penjualan Toyota. Ketiga, membalas Djan Faridz dengan memutus kontrak pasar Tanah Abang dan menggantinya dengan kroni Jusuf Kalla.

Semua rencana di atas lebih mudah diwujudkan apabila orang yang menjadi Gubernur DKI merupakan orangnya Jusuf Kalla. Sebab, proyek-proyek di atas merupakan kewenangan Pemda DKI.

Namun tentunya, apabila Ahok batal maju cawapres Jokowi, Jusuf Kalla tetap mengincar kursi Cawapres Jokowi. Meski akan lebih sulit, tapi dengan kekuatan politik di tingkat istana, juga bisa menggolkan proyek-proyek terselubung Jusuf Kalla tersebut.

Itulah kenapa saya beri judul artikel ini, Jusuf Kalla Harap Ahok Serius Maju Cawapres Jokowi. Karena semua rencana Jusuf Kalla itu akan jauh lebih mudah direalisasikan apabila terjadi Pilkada DKI di 2015. Namun bila Ahok tidak maju pun, peluang menggolkan proyek-proyek terselubung Jusuf Kalla itu akan tetap bisa digolkan.

Usai membaca artikel ini, anda bingung memilih yang mana?

Jangan bingung-bingung. Begitulah politik, selalu ada motif bisnis di belakangnya yang sering dilupakan orang. Jangan terlalu naif menilai dunia. Hal-hal yang ideal boleh dikejar, tapi ingat hal ideal itu hanyalah konsep. Pada realitanya, tak ada yang se-ideal itu.

Jadi jangan pernah berharap ada calon yang benar-benar bersih, karena semua orang punya sisi buruknya. Saya tidak menulis ini untuk menjatuhkan siapa-siapa, melainkan menyebarkan fakta-fakta saja. Kembali yang saya bilang tadi, jangan terlalu naif melihat dunia. Selalu ada motif bisnis di balik politik dan pencitraan sesuci apapun.

Mari kita simak perkembangan selanjutnya dari perpolitikan Indonesia 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun