Mengutip dari WWF Living Planet Report 2024 menunjukkan adanya penurunan rata-rata 73% populasi satwa liar sejak 1970. Hilangnya habitat dan perubahan iklim, ditambah peningkatan suhu laut telah mengakibatkan beberapa peristiwa pemutihan karang besar di Great Barrier Reef. Tak hanya itu, hutan Amazon mengalami tekanan deforestasi yang diubah menjadi lahan pertanian. Pemanasan juga terjadi empat kali lebih cepat di Arktik dan telah membawa wilayah ini mendekati titik kritis ekologis. Hilangnya es laut di musim panas diprediksi akan terjadi pada 2050 jika suhu global melebihi 1,5C. Berbagai permasalahan tersebut mengancam keanekaragaman hayati, mempercepat hilangnya spesies, serta merusak fungsi ekosistem yang menjadi hal krusial dalam kehidupan manusia.
Merujuk pada laporan di situs World Bank dan World Resources Institute bahwa Indonesia merupakan rumah bagi sekitar 17% spesies flora dan fauna di dunia telah menghadapi ancaman besar terhadap keanekaragaman hayati. Eksploitasi hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan konversi lahan mengancam berbagai spesies endemik dan biodiversitas yang ada. Selain itu juga memperparah laju degradasi hutan. Akibat dari deforestasi dan kebakaran hutan, Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Penggunaan lahan dan energi berkontribusi sebesar 84% dari total emisi karbon di Indonesia. Kerentanan terhadap kenaikan permukaan laut, bencana alam, dan kekeringan mendorong Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi hingga 43% pada 2030 dan mencapai net-zero pada 2060 atau lebih awal. Berbagai upaya yang dilakukan diantaranya moratorium pembukaan hutan, restorasi lahan gambut dan mangrove. Di sisi  lain, para peneliti  mengamati bahwa konservasi di Indonesia mengalami tantangan dari segi pendanaan, regulasi, dan kebutuhan ekonomi lokal yang sering kali bertentangan dengan tujuan perlindungan alam.
Berdasarkan laporan dari ScienceDaily, populasi spesies fauna seperti Badak Jawa, Orangutan Sumatera dan Kalimantan, Harimau Sumatera, dan  Pangolin Sunda terus menerus mengalami krisis dan terancam hampir punah diakibatkan perburuan dan perusakan pada daerah habitatnya. Hal ini tentu menjadi keprihatianan tersendiri atas berkurangnya populasi biodiversitas yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia.  Tanggung jawab sebagai manusia untuk menjaga alam dan lingkungan tentu harus kembali dipertanyakan.
Sudut Pandang
      Setiap kali membawa isu hilangnya biodiversitas dan krisis lingkungan kerap kali menghadapi berbagai pro-kontra dan menjadi perdebatan, tak terkecuali pada masyarakat di Indonesia. Kerusakan alam dan lingkungan yang terjadi karena ditumpangi kepentingan ekonomi, pembangunan, dan urbanisasi seringkali menjadi pembenaran untuk melakukan eksploitasi secara besar-besaran. Ditambah, beberapa kebijakan pemerintah yang malah memperburuk kondisi alam tanpa memperhitungkan kerugian hayati  yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut. Seperti percepatan laju pembangunan infrastruktur, industri ekstraktif dan proyek food estate tanpa pertimbangan bijak terkait keberlanjutan kelestarian alam.
      Kelestarian alam bukanlah teori yang selesai ketika di bangku sekolah saja, tetapi harus menjadi aksi nyata sebagai bentuk tanggung jawab bersama sebagai seorang manusia. Sayangnya, masyarakat masih sering menunjukkan ketidakpedulian dan meremehkan keberadaan biodiversitas yang ada. Sebagai seorang manusia ada tanggung jawab besar atas krisis lingkungan dan hilangnya biodiversitas yang terjadi. Perlu disadari, bahwa aktivitas manusia mulai dari deforestasi, polusi, perubahan iklim, hingga perburuan liar, berkontribusi langsung pada degradasi dan kerusakan alam. Pemahaman terhadap alam harus berakar bahwa manusia bukan penguasa alam yang berhak mengeksploitasi tanpa batas, tetapi juga merupakan bagian dari ekosistem yang harus berjalan seimbang.
Perlunya pengetahuan terkait konsep intergenerational equity---yang mana keputusan yang  diambil pada hari ini akan berdampak pada generasi mendatang. Setiap tindakan yang merusak lingkungan adalah utang yang dibebankan kepada generasi di masa depan. Menghargai segala bentuk kehidupan dan memprioritaskan langkah-langkah mitigasi pada dampak negatif aktivitas manusia harus diupayakan untuk keberlanjutan keseimbangan alam.
Kegagalan Moral dan Ekologis
      Ketidakmampuan untuk melindungi spesies dan ekosistem yang terancam punah terutama ketika telah diketahui bahwa keberadaan mereka sangat tergantung pada tindakan manusia. Secara moral, terdapat pandangan bahwa setiap makhluk hidup mempunyai nilai yang inheren dan hak untuk hidup. Pengabaian terhadap tanggung jawab ini, sama halnya seperti mengabaikan nilai kehidupan di luar spesies  manusia itu sendiri, dan menganggapnya tidak berharga atau hanya sekadar sumber daya.
Kegagalan secara ekologis sendiri merupakan ketidakmampuan dalam menjaga keseimbangan dan kesehatan ekosistem. Setiap spesies, baik besar maupun kecil, memiliki peran spesifik yang menjaga keseimbangan ekosistem secara menyeluruh. Ketika membiarkan suatu spesies punah, sama halnya dengan merusak struktur jaring makanan, rantai energi, dan berbagai siklus alam yang penting bagi kehidupan manusia, seperti siklus karbon dan air. Hilangnya biodiversitas dan krisis lingkungan juga menjadi dampak yang  jauh lebih luas dari kegagalan secara  ekologis. Â
Kasus nyata dari kegagalan moral dan ekologis dapat dilihat dari penanganan spesies-spesies yang terancam seperti badak, harimau, orangutan, dan berbagai spesies tumbuhan langka. Perusakan terhadap habitat untuk kepentingan manusia atau menunda tindakan konservasi hingga terjadi kepunahan, bukan lagi tentang hilangnya bagian penting dari alam tetapi juga pengabaian terhadap tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi.
Bergerak Sebelum Terjadi Kepunahan
Penanganan terhadap biodiversity loss dan krisis lingkungan bukan hanya tanggung jawab segelintir orang saja, namun tanggung jawab semua manusia. Keberagaman hayati (biodiversity) harus dipahami sebagai aset yang bukan hanya pendukung ekosistem tetapi juga memiliki kebermanfaatan langsung bagi kesejahteraan manusia. Kehilangan biodiversitas juga berarti kehilangan sumber daya potensial yang belum tentu dapat tergantikan.
Pandangan ini harus disertai dengan tindakan nyata. Pengadopsian gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, pendukungan kebijakan konservasi, dan terlibat dalam edukasi lingkungan adalah upaya konkret untuk peduli terhadap kelangsungan alam. Alam bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan manusia, melainkan sebagai sesuatu yang memiliki hak dan perlu dilindungi untuk keberlangsungan seluruh makhluk hidup.
Kepunahan biodiversitas dan kerusakan pada alam bukan berarti tidak memiliki dampak  untuk kehidupan manusia. Rusaknya ekosistem, krisis iklim, degradasi hutan, serta hilangnya flora dan fauna justru merupakan tanda bencana bagi keberlangsungan hidup manusia. Hal tersebut karena segala yang ada pada alam akan selalu terkait satu dengan yang lainnya. Keberlanjutan kehidupan yang lebih lama dan nyaman tentu merupakan harapan agar generasi di masa yang akan mendatang bisa menikmati keindahan dan kebermanfaatan alam. Karenanya, bila eksploitasi dan kerusakan di lingkungan tidak ditanggapi dengan solusi yang ideal, apakah kepunahan biodiveristas dan krisis lingkungan akan menjadi warisan untuk anak  cucu di masa mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H