Mohon tunggu...
Ratri Setyawati
Ratri Setyawati Mohon Tunggu... -

Tidak ada alasan untuk tak bersedekah kepada sesama. Karena sedekah tidak harus berupa harta. Bisa berupa ilmu, tenaga, bahkan senyum.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku, Aku Menyayangimu, Aku Merindukanmu

16 Mei 2013   17:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:28 2024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tahun 1986 aku harus meninggalkan tempat kelahiranku menuju sebuah kota impian para pemuda-pemudi yang hendak menuntut ilmu. Lalu kupilihlah Yogyakarta sebagai tempatku. Di tahun pertama aku mengenal teman-teman sekelasku sebatas dimana tempat kost-nya dan dari kota mana asalnya. Dan tak peduli apa agamanya. Dan itu aku memang tidak tahu dan tidak mau tahu dan mungkin tidak perlu.

Di tahun ke dua aku memutuskan kontrak rumah. kuperoleh rumah dengan tiga kamar. Untuk lebih irit pengeluaran,rumah tersebut di isi 6 orang dan setiap kamar 2 orang. Karena aku yang kontrak aku pilih kamar yang paling nyaman. Jadilah pengeluaran kost aku super irit, karena aku dapat menyimpan uang 40 % jatah kost dari ortu.

Mulanya seorang temanku ngajak aku kos dan sekamar berdua agar irit pengeluaran. Karena aku sudah punya kontrakan dan aku sekamar sendiri, kutawarkan dia sekamar denganku. Akhirnya aku sekamar dengannya. Dia adalah teman yangcerdas, baik dan pendiam di kelasku. Tidak rame seperti aku. Entahlah mengapa dia merasa nyaman bersamaku.

Pada hari pertama menempati kos, aku baru tahu kalau dia adalah seorang gadis katolik. Tapi dia mengerti kalau aku seorang muslimah. Yah… aku menyikapi biasa saja dan aku merasa nyaman-nyaman saja. Kenapa dia memilih bersamaku…? Aku bertanya kepadanya.

“An… kenapa kamu memilih bersamaku…?

Dengan berat hati dia menjawab.

“Aku risih. Teman-teman se kost aku sering membawa masuk kamar teman laki-lakinya dan

tidur brsama.”

Dalam hati aku istigfar, dan aku bicara.

“O…… ya, sudahlah…!”

Dan aku tidak melanjutkan pertanyaan yang lainnya. Aku kuatir menyakitinya.

Dengan berjalannya waktu, ada kenangan yang tidak bisa aku lupakan dari dirinya. Kami berenam jarang makan di warung. Kami berenam sepakat untuk memasak, dan bergilir memasak. Sampai menu-menupun kita atur bersama. Bahkan antara aku dan dia seperti saudara. Dia biasa mencucikan bajuku dan sebaliknya. Dia biasa menyeterikan bajuku dan sebaliknya. Dia biasa memakai uangku dan sebaliknya. Kami benar-benar rukun dan saling menghormati. Sampai-sampai teman dia misa mengira aku ini juga katolik.

Pada suatu hari di tempat misa dia ditanya temannya.

“Mana temanmu…? kok nggak ikut misa…?

Dia menjawab.

“Dia lagi sibuk. Banyak pekerjaan.”

Mengapa dia menjawab begitu, karena teman-teman mereka semua baik padaku. Dan dia tidak mau melukai temannya karena keberadaanku. Dan sejauh ini aku merasa dia tidak mempunyai misi apa-apa terhadap diriku, kecuali berteman.

Pada suatu hari dia pulang ke kotanya dengan naik bus. Dalam bus dia berkenalan dengan seorang laki-laki TNI. Ngobrol-ngobrol dan akhirnya bertukar alamat. Seminggu kemudian datanglah surat cinta dari laki-laki TNI yang dikenalnya. Itu adalah surat cinta pertamanya. Dia bingung setengah mati. Dia gelisah. Akupun jadi ikut gelisah. Kuberanikan aku bertanya padanya.

“An… sukakah kamu padanya…?

Dia menjawab.

“iya…!”

Aku lanjutkan berbicara.

“Kalau begitu balaslah suratnya.”

Dia mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada beban yang berat dalam dadanya. Dan kuberanikan aku bertanya. Barangkali aku bisa mengurangi bebannya.

“Mengapa An….?”

Lama aku menunggu jawabannya. Akhirnya diapun berkata.

“Aku tidak bisa menulis surat cinta. Tolonglah aku…, buatkan surat balasan untuknya.”

Akupun tersenyum, dan kujawab.

“Oalaahh…., oke beres!”

Sepertinya dia lega dengan jawaban aku. Setelah itu aku menuliskan surat cinta pertamanya. Dan surat-surat berikutnya akulah yang menulis. Sampai pada akhirnya dia menikah dengan kekasihnya itu. Setahun kemudian lahirlah seorang junior. Aku ikut bahagia.

Ada lagi kenangan yang sangat indah untukku bersamanya. Pada suatu hari pertamaku bersama dia aku menjalankan puasa sunah. Walau itu bukan jadwalku memasak, aku tak menuntut temanku untuk menyediakan menu untukku. Ku pikir untuk buka puasa nanti aku beli makanan di luar. Setelah sholat asar aku ketiduran. Mungkin aku kecapekan, karena banyak tugas-tugas yang aku kerjakan. Begitu aku bangun, Subhanallah…. aku terkejut. Adzan magrib sudah berkumandang. Di meja kamar ada makanan dan minuman. Saya jadi bingung. Lalu aku bertanya padanya.

“An…., lha kok…., ini untuk siapa…?

Dia menjawab.

“Untukmu, minumlah untuk membatalkan puasamu.”

Tanpa terasa air mataku berlinang. Dan aku pejamkan mataku sambil bergumam.

“Tuhan…., kau kirimkan malaikat untukku. Terima kasih Tuhan…. aku menyayanginya.”

Tiba-tiba dia berkata.

“Ayo… minumlah…, kenapa kamu…?”

Kemudian aku menjawab.

“Tidak apa-apa. Sungguh jahat jika aku tidak bersyukur.”

Kemudian aku minum. Tampaknya dia sangat lega sekali, setelah aku selesei makan. Kemudian aku lanjutkan dengan sholat magrib. Aku berdo’a untuknya. Semoga dia selalu bahagia. Salahkah aku jika aku mendo’akannya…. Aku tak peduli kata orang lain. Yang aku tahu dan yang aku yakini. Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Dan pintu kasih sayang dan ampunannya sangatlah luas. Aku menganggap, dia adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang diberikan untukku.

Tak terasa waktu sudah 3 tahun bersamanya. Malam ini adalah malam terakhir dia bersamaku. Besok paginya dia harus pulang. Karena seminggu lagi dia akan menikah dengan kekasihnya. Karena dari siang kami beres-beres, tak terasa capek juga. Setelah sholat isya’ mata ini tidak mau diajak kompromi, akhirnya aku tertidur. Seperti biasa aku menikmati menu malamku dengan bermunajat kepada Allah. Aku bangun ambil wudhu lalu menggelar sajadah menikmati sujudku. Seperti biasa pula dia juga bangun dan duduk dibelakangku. Selama ini yang aku tahu pada saat-saat aku sujud dia membaca. Dan aku tak mempedulikannya. Tiba-tiba ditengah wiridku aku ingin melihat dia. Dan aku terkejut.

“Subhanallah…”Ternyata dia sedang berdo’a dan memegang rosario. Aku diam sejenak dibelakangnya dan aku mengambil nafas dalam-dalam. Kemudian dia selesei berdo’a dan membalikkan tubuhnya. Kami berpelukan dan menangis. Aku masih memakai mukena dan pegang tasbih. Dan dia memegang rosarionya erat-erat sambil memelukku. Lalu aku bertanya.

“Apa yang selama ini kau lakukan…, disaat-saat aku bermunajat…?”

“Aku juga ikut kamu berdo’a.” Itu jawabnya. Lalu dia melanjutkan bicaranya.

“Terima kasih sahabatku…, aku mengerti makna cinta dan makna bertuhan darimu.”

Aku diam saja aku tak mengerti kata-katanya.

Paginya dia harus pergi dan meninggalkan aku. Aku beres-beres kamarku. Kutata buku-bukuku. Ada beberapa buku karya-karya sastra kesukaanku. Buku karya Buya Hamka, HB Jasin, Umar Khayam, Cak Nun, YB Mangunwijaya, dan lain-lainnya. Kutatap buku-buku itu. Dan aku bergumam.

“Aku juga mengerti makna cinta dan bertuhan dari buku-buku itu bersamamu.”

“Oh Tuhan…, terima kasih. Engkau telah memberi kesempatan padaku untuk bersamanya.”

Untuk sahabatkuAni Widoretno.

Jika engkau mencintainya, berikanlah tauladan yang baik untuknya

Salam Damai Untuk Negeriku

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun