Hidup di Bawah Tekanan

Aku lulusan S1 FKIP dan saat ini aku bekerja sebagai guru swasta yang gajinya lumayan untuk hidup sendiri. Akan tetapi dalam masalah finansial aku masih merasa kekurangan. Jika aku curhat ke teman, ada yang mengatakan, "bersyukurlah kamu sudah bekerja dengan gaji yang sudah lumayan". Aku selalu teringat kata-kata temanku itu. Ya.. aku harus bersyukur. Bersyukur juga sudah bisa mengumpulkan uang untuk diberikan kepada keluarga walaupun hanya sedikit. Paling tidak, aku bisa menyicil hutangku ke bapak.

Hmmh,. memang itu yang selalu terngiang di benakku. Ada dua hal yang selalu ku ingat.

Pertama, masalah akhirat. Kalaupun masalah laptop dan uang itu adalah murni kesalahanku, biar jadi pahala bapakku dan jadi dosa bagi orang yang menipu keluargaku. Akan tetapi, aku masih saja kasihan pada lelaki itu. Semoga ia juga mendapatkan pahala dalam bentuk apa pun itu. Biarkan ini jadi dosaku.

Kedua masalah duniawi. Jika dipikir secara logika, orang yang berhutang harusnya mempunyai kesadaran untuk mengembalikan hutangnya tanpa paksaan. Namun lelaki itu lebih mengandalkan perasaan daripada logikanya. Jadi, masalah hutang dan hati selalu dicampuradukkan. Heran......

Semoga orang yang merasa aku ceritakan ini membaca artikelku. Dari dulu, aku tahu niat baikmu. Namun niatanmu itu hanya sekedar omangan belaka. Mana actionnya?

Dulu aku pernah meminta maaf, aku pernah berkata jujur kalau aku nggak bisa nerima kamu, aku pernah berkata dengan sopan bahwa orangtuaku tak merestui kita. Tamparanmu yang dulu teramat menyakitkan tak pernah aku rasakan. Sudah aku maafkan. Tolong niat baikmu untuk mengembalikan uangku. Seumur hidup aku tak pernah bisa melupakannya. Menyesal pasti ada. Tapi aku jujur, aku tak terlalu menyesal mengenalmu.

Suatu saat aku pasti akan datang. Menagih hakku selama kamu masih hidup. Kalau masalah akhirat, biar Tuhan yang mengatur pahala dan dosanya.

@Warung Bu Tutik Jalan Purworejo-Magelang

21062013