Mohon tunggu...
Ratno Fadillah
Ratno Fadillah Mohon Tunggu... -

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nafkah yang Berkah, Tak Putus karena Usia

9 Mei 2012   07:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:31 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki kurus berkacamata tebal itu biasa saya panggil Abah Wahid. Saya mulai mengenalnya saat bibi saya menikah dengannya. Sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu. Sebelum tinggal bersama bibi saya di kemayoran. Ia tinggal di Paseban-Salemba bersama keluarga besarnya.

Saat menikah dengan bibi saya usia Abah Wahid sekitar empat puluh delapan tahun. Sedangkan bibi saya saat itu berusia sekitar lima puluh dua tahun. Usia yang sudah tidak muda dan produktif lagi. Keduanya menikah hanya untuk menghilangkan rasa sepi. Sekaligus agar kehidupan sehari-hari lebih terurus. Keduanya memang janda dan duda yang ditinggal kematian pasangannya. Bibi saya tidak memiliki anak. Sedangkan Abah Wahid hanya memiliki satu putri, bernama Tati, dan sudah hidup bersama suaminya di Bandung.

Kesepian Abah Wahid karena Tati, putri tunggalnya, sangat sibuk dan hampir tak pernah menemui Abah Wahid. Sedangkan bibi saya tentu karena ia tak memiliki anak. Dan sudah menjadi takdir Allah, keduanya bersatu dalam bahtera rumah tangga.

Hilangnya rasa sepi adalah kebahagiaan yang tak terkira bagi keduanya. Kini, meskipun harus tinggal satu atap dan berhimpitan bersama nenek dan keluarga bibi-bibi saya yang lain, semangat hidup keduanya berkobar kembali.

Dalam keterbatasan yang ada, Abah Wahid sebagai “nakhoda” keluarga, perlahan-lahan mampu membawa rumah tangganya menuju keberkahan.

Sungguh. Bila dipikir secara logis, tak ada yang paham dengan kehendak Allah. Abah Wahid hanyalah seorang montir mobil panggilan. Ia tak punya bengkel sama sekali. Peralatan bengkel pun hanya ia miliki seadanya. Namun, siapa yang bisa membendung aliran rizki dari Allah. Tak ada sama sekali.

Meskipun komunikasi untuk menghubungi Abah Wahid agak panjang. Namun, pelanggan jasa Abah Wahid selalu saja ada. Bukanlah kendala. Ya, kepada para pelanggannya Abah Wahid selalu memberikan nomor telepon rumah tetangga, Ibu Wagiran, untuk menghubunginya. Di rumah kami memang tak punya telepon. Beruntung kami mempunyai tetangga Ibu Wagiran, bukan Abah Wahid saja yang diperbolehkan berkomunikasi melalui teleponnya, paman saya yang tukang listrik panggilan, juga kerap menggunakan teleponnya sebagai order contact – nya.

Abah Wahid memang percaya bahwa rejeki nggak pernah tertukar. Makanya, ia selalu terlihat santai dalam menjalani hidupnya. Saat sepi order, ia akan sibuk dengan membaca al-quran dan silaturrahim ke rumah kerabatnya. Sedangkan bila ada order memperbaiki mobil, ia akan segera menjemputnya.

Dalam bekerja Abah Wahid tidak sendiri. Ia ditemani oleh Bang Maman, kenek-nya yang paling setia. Panggilan kerja untuk memperbaiki mobil pelanggan biasanya datang dari Abah Wahid sendiri atau Bang Maman. Mobil akan mereka perbaiki di rumah pelanggan. Dan apabila ada onderdil yang harus dibeli, maka Bang Maman yang akan pergi belanja. Uangnya tentu saja dari pelanggan.

Biasanya kuitansi pembelian onderdil langsung diberikan Bang Maman kepada pelanggan. Tak pernah terpikir untuk mendapatkan keuntungan dari pembelian onderdil.Barangkali Abah Wahid dan Bang Maman orang yang polos. Tapi, begitulah cara mereka menjaga kepercayaan pelanggannya.

Sepulang kerja, Abah Wahid biasanya mengajak Bang Maman untuk makan di rumah. Pada saat makan bersama itulah, honor akan dibagi Abah. Biasanya akan Abah langsung bagi dua. Bang Maman sering menolak pembagian itu. Menurutnya honor kenek harusnya lebih kecil. Namun, tidak berlaku aturan itu bagi Abah.

“Kan capeknya sama,”kata Abah.

“Makasih ya, Pak,” jawab Bang Maman tak bisa menolak. Tangannya menyelipkan uang itu ke saku celananya.

Saat Abah menerima honor, tak jarang kami pun ikut menikmatinya. Abah akan pergi ke pasar membeli makanan kesukaannya. Atau bila ia sedang punya waku luang, ia akan memasakkan makanan untuk kami nikmati bersama.

Mengingat pekerjaan Abah yang tak menentu, ayah saya sempat mengingatkan.

“Lain kali disimpan sedikit, Bah. Kalo duit,’kan nggak bakal basi,” kata ayah saya saat menerima masakan buatannya,”jangan dihabisin semua. Kita juga ngertiin, kok.”

“Ntar juga Allah kasih lagi,” jawab Abah ringan.

Bila dapat rezeki, Abah memang langsung ingat dengan orang-orang di sekitarnya. Ia lupa hari esok. Namun, begitulah Abah. Tak bisa diingatkan untuk hal yang satu ini.

Suatu ketika ada balita yatim piatu di dekat rumah yang butuh perawatan. Abah tahu kabar ini. Abah kenal dengan keluarga yang kini merasa terbebani merawat bayi ini. Beberapa hari kemudian, tanpa pikir panjang, Abah langsung mendatangi keluarga bayi ini bersama bibi saya. Menyatakan bersedia untuk merawat bayi ini.

Keluarga besar memahami keinginan Abah. Kehadiran anak tentu akan menghibur Abah Wahid dan bibi. Lagipula bibi saya memang sudah sering merawat anak-anak adiknya hingga dewasa.

Hari-hari Abah dan Bibi semakin berwarna. Reza, begitu nama yang diberikan untuk anak angkat Abah itu, tumbuh sehat dan normal. Abah dan Bibi merawatnya seperti anaknya sendiri. Bahkan cenderung memanjakannya.

*

Saat usia Reza 12 tahun, Abah meninggal dunia. Reza sangat kehilangan Abah. Ia sempat mogok sekolah selama enam bulan. Bibi saya juga sempat stres karena bingung untuk biaya sekolah Reza dan biaya hidup sehari-hari. Nenek saya dan adik-adik bibi saya mencoba menenangkan Bibi saya.

“Masalah makan mah, nggak usah dipikirin. Kita sama-sama aja.’Kan masih satu atap,” kata Nenek berusaha menenangkan Bibi.

Bibi tak menjawab. Tangisnya masih deras. Dan sedih itu berlangsung berhari-hari. Seperti belum ikhlas dengan kepergian Abah. Sekaligus terus memikirkan kelanjutan hidupnya bersama Reza.

Sampai suatu hari, datanglah seorang pelanggan Abah yang tinggal di Sunter-Kemayoran. Ia seorang dokter yang gemar mengoleksi mobil Fiat klasik. Dan ia mengenal Abah sejak lama, karena Abah dianggapnya paling jago dalam memperbaiki mobil-mobil Fiat-nya.

Dari Bang Maman ia mendengar bahwa Abah telah tiada. Ia turut berduka cita. Ia minta maaf tidak bisa hadir saat pemakamannya. Namun. saat itu ia tidak sekadar datang silaturrahim. Ia cukup paham kehidupan Abah. Oleh karenanya, ia datang dengan maksud memberikan beasiswa sekolah untuk Reza dan uang kebutuhan sehari-hari untuk Bibi secukupnya.

Bibi bahagia sekali mendengarnya. Bibi mengucapkan terima kasih berkali-kali. Beban hidupnya sedikit berkurang. Dan Reza dapat kembali sekolah.

Barangkali inilah salah satu keberkahan yang ditinggalkan Abah untuk keluarganya. Secara kasat mata memang tak ada barang berharga yang ditinggalkannya. Pakaian yang ditinggalkan di lemarinya, hanyalah kemeja lengan panjang ukuran M yang biasa ia beli di pasar loak. Namun, kebaikan dan kedermawanannya kepada orang-orang di sekitarnya, telah membawa berkah hingga kini.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun