Mohon tunggu...
Ratno Fadillah
Ratno Fadillah Mohon Tunggu... -

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Ada Kapal yang Berlayar Ke Batavia

9 Mei 2012   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:31 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku datang ke pulau ini tidak bersama rombongan Nuh. Sungguh. Aku juga tidak mengerti mengapa Tuan menghentikan pelayarannya ke pulau asing ini. Aku yakin pulau ini bukanlah surga seperti yang dijanjikan Nuh. Tuan tak pernah mengenal surga yang dijanjikan Nuh. Ia hanya mengenal uang, emas, dan perempuan.

Barangkali Tuan memang sudah lelah dan merasa tua. Kedua bola matanya mulai buram melihat pulau-pulau yang menyimpan emas hitam di sudut-sudut bumi ini. Selama berlayar, ia memang sedikit terlihat menentukan navigasi kapal. Teropong yang biasa digunakannya di atas kapal, tampak malas disentuhnya.

Saat langit gelap bertabur bintang-bintang dan bulan tergantung, bahkan angin dingin menderu mengguncang kapal, Tuan malahan lebih sering terlihat bersenang-senang bersama nyai-nyai cantiknya di dalam kamarnya yang mewah. Sedangkan saat matahari menemukan wajah-wajah kami yang kering diterpa angin laut, saat itu Tuan juga hanya membuat lelucon-lelucon untuk melawan jenuh kami di geladak kapal.

Barangkali naluri petualangan seorang Alexander Hare[1], tuanku ini, memang telah padam. Dan Tuan  ingin mengakhiri petualangannya di sebuah pulau asing yang tak mungkin sedikitpun ada kegaduhan. Menikmati nyanyian indah yang diciptakan angin. Menikmati suara-suara liar burung-burung penghuni pulau. Atau sekadar menyimak suara gemerisik halus dari gerakan kepiting-kepiting merah yang hidup bebas di pulau ini.

Sebenarnya aku lebih bisa menikmati hidup bila menetap di Batavia. Di sana aku lahir dan barangkali masih bisa menemui kerabatku dengan sembunyi-sembunyi. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Meskipun aku menikmati petualangan bersama Tuan dari pulau ke pulau. Dan hidup bersama dengan perempuan-perempuan cantik dari berbagai pulau yang disinggahi Tuan di kapal ini, adalah pengalaman yang menyenangkan. Namun, aku harus menerima kenyataan sebenarnya. Sekarang aku adalah tawanan Tuan Hare.

Sampai kapan aku akan menjadi tawanan seorang laki-laki yang gila perempuan ini. Sejujurnya, aku ingin secepatnya lepas dari genggamannya. Mengapa. Karena aku sudah tahu kepada siapa cinta sejatinya berlabuh. Cinta sejati Tuan hanyalah kepada Dishta, penari dari Calcutta yang kecantikan dan kemolekan tubuhnya hampir tak pernah lepas dari pandangan matanya. Dishta memang bini tua, namun dari cara Tuan Hare memanjakannya, aku yakin bahwa timbunan emas yang disimpan Tuan secara rahasia itu akan diberikan kepadanya.

Tuan juga sangat mempercayai Dishta. Satu-satunya orang yang berhak mengatur siapa nyai yang harus menemani Tuan setiap malam adalah Dishta. Namun, kami tak pernah bertengkar dengannya. Selain karena masalah perbedaan bahasa. Memang tak perlu ada yang diperselisihkan. Cemburu atau iri hati hanyalah dimiliki gadis remaja yang lugu dalam memahami cinta. Dan aku sama sekali tidak menaruh hati kepada Tuan Hare.

***

Tuan Hare membuatkan sebuah rumah besar untuk kami di pulau ini. Pohon-pohon Jelatang yang membuat kulit gatal itu ditebang sebagian. Anak-anak pun mulai menyesuaikan diri. Mereka sudah tidak menjerit ketakutan melihat sarang-sarang tawon kuning yang bergelantungan rendah di batang-batang pohon. Di tepi pantai, saat bermain, anak-anak kami mulai berani menangkap binatang-binatang melata yang mirip udang karang. Mereka juga tampak ceria mengejar burung-burung yang berterbangan.

Bagi orang yang tak memahami makna kebebasan, pulau ini memang menjadi surga. Selain capit kepiting merah dan angin laut yang membuat perut kembung. Tak ada ancaman yang membahayakan kami di pulau ini.

Kapal-kapal layar kompeni yang singgah di pulau ini bukanlah gangguan berarti yang mengganggu kenyamanan hidup kami. Di kepulauan ini mereka hanya berhenti sebentar untuk memperbaiki kerusakan kapal setelah diterpa taufan di Samudra Hindia. Mereka berlayar dari Kaapstad, Afrika Selatan. Tujuan akhir mereka adalah Batavia. Dari kepulauan ini ke Batavia kapal layar masih harus menempuh jarak kurang lebih 1000 km.

Sungguh. Aku selalu berharap mereka singgah lebih lama. Melihat mereka bermain-main dengan penyu. Melihat mereka membuat istana pasir. Dan melihat pahatan nama mereka di salah satu pohon kelapa yang menjulang. Namun sayangnya, jangkar kapal layar mereka tak pernah tertambat lebih dari satu purnama. Mereka tampak tergesa-gesa ke Batavia. Barangkali lada hitam, kopi, damar, gambir, cengkeh, pala, dan pinang itu sedang menunggu untuk diangkut oleh mereka di Batavia. Atau sebaliknya, mereka sedang ditunggu oleh para Tuan Tanah untuk segera bekerja di ladang tebu.

Jujur saja. Aku sangat berharap salah satu dari mereka membawaku ke Batavia. Aku tak bisa menikmati denyut hidup yang lambat ini. Seperti menjelma seekor penyu yang malang lantaran kehilangan sepasang tungkainya. Tak bisa bermigrasi. Jauh dari kawanan kerabat. Sunyi sendiri. Dan tentunya berujung mati di hamparan pasir.

Maka, ketika kabar bahwa kapal layar milik pelaut Inggris bersandar di pulau ini. Aku sangat gembira. Secercah harapan kembali bersinar. Nasibku akan berubah. John-Clunies-Ross membawa banyak anak buah di kapal layarnya. Ia mengepalai sebanyak 120 orang yang terdiri dari buruh pekerja dan bekas budak.

Moskina, perempuan Bugis yang senasib denganku, sepertinya mengetahui keinginanku ini. Di kala senggang dan saat kami hanya berdua di beranda belakang rumah, ia sempat memastikan keinginanku untuk kembali ke Batavia.

“Bukankah kau sudah dianggap kafir oleh keluarga dan tetanggamu?Untuk apa kau kembali ke kampungmu.”

Aku diam sejenak. Mencermati pembicaraannya. Sepertinya kali ini Moskina serius.

“Tapi, aku bukan orang laut sepertimu. Aku punya kampung halaman,” jawabku.

“Untuk apa tinggal di kampung sendiri kalau kau merasa terasing,”sergah Moskina.

“Ah, aku tak yakin mereka sekejam itu.”

“Aku memang tak akan bisa mencegahmu. Namun, kau harus siap menghadapi resiko paling terburuk sekalipun.”

“Ya! Aku mengerti hal itu, Moskina.”

Moskina meninggalkanku sendiri di beranda belakang rumah. Daun-daun kering yang aku telah kumpulkan tadi, segera aku bakar. Melihat api menyala membesar. Ingin sekali rasanya nasib ini aku bakar bersama daun-daun kering itu.

***

Hari menjelang senja. Tuan Hare telah menyiapkan sampan. Kami sudah tahu apa yang akan terjadi. Salah satu dari perempuan di rumah ini harus menemaninya bersenang-senang di pantai. Tak lama lagi Dishta tentu akan memanggil salah seorang dari kami. Sungguh. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kebiasaan Tuan Hare ini. Kami memang cukup menikmatinya.

Namun, aku berharap bukan aku yang dipilih Dishta kali ini. Aku ingin ke pelabuhan senja ini. Aku ingin bertemu anak buah kapal Tuan John-Clunies-Ross. Aku mengenalnya dua hari yang lalu saat hendak memetik buah kelapa di dekat pelabuhan. Ia berperawakan tinggi besar. Berwajah lonjong dan berdagu lancip. Sorot matanya tajam. Rambutnya pirang dan sedikit bergelombang. Namun bodohnya, aku lupa menanyakan namanya.

Dishta memilih Nyo An kali ini. Aku bebas. Sampan Tuan Hare semakin menjauh dari pandangan. Angin laut tak bertiup kencang. Langit cerah. Keduanya tentu bisa menikmati senja ini dengan indah. Selamat bersenang-senang Tuan, ucapku. Sedangkan langkahku semakin menjauhi rumah. Menuju pelabuhan kecil itu.

Kapal layar yang sedang bersandar itu sudah terlihat. Di sekelilingnya tampak sampan yang sedang menunggu muatan. Aku yakin pria berdagu lancip itu sedang bekerja di atas kapal. Saputangan putih telah aku keluarkan dari lipatan kain di pinggang. Siap memberi tanda keberadaanku di bawah sini.

Kini, sepertinya aku sudah tepat di bawah kapal layar pria berdagu lancip itu. Namun, ia belum juga terlihat. Padahal sudah pegal rasanya leher ini mendongak melihat orang-orang yang bekerja di geladak kapal, mencari sosoknya. Sekali lagi. Aku kembali menyusuri badan kapal itu dari bawah. Namun, ia seperti raib begitu saja.

Aku pun memutuskan pulang. Namun, beberapa langkah kemudian, aku mendengar suara memanggilku. Ah! Pria berdagu lancip itu. Kami saling pandang sejenak. Seperti sepasang kekasih yang sudah lama tak berjumpa. Lalu, tanpa banyak bicara, kami pergi berdua menjauhi pelabuhan. Aku sama sekali tak menolaknya.

***

Satu bulan purnama telah berlalu. Aku sudah memutuskan untuk pergi dari Tuan Hare untuk selamanya. Setahun kemudian, ternyata, beberapa nyai yang hidup bersama Tuan Hare juga mengikuti jejakku. Memilih hidup dengan anak buah kapal Tuan John-Clunies-Ross.

Tiga tahun kemudian aku masih bersama Pieter, pria berdagu lancip itu, di pulau ini. Sudah beberapa kali aku mendesaknya untuk segera ke Batavia. Namun, ia belum juga mengabulkan permintaanku itu. Ia selalu beralasan tak ada kapal layar yang berlayar ke Batavia. Sedangkan kapal milik Tuan John-Cluniess-Ross hanya berlayar ke Kaapstad, Afrika Selatan.

Lima tahun kemudian, Tuan Hare dan keempat perempuan yang masih setia ikut dengannya, memutuskan untuk pergi meninggalkan pulau ini. Ia merasa terusik dan sakit hati karena satu per satu perempuan haremnya dibawa lari oleh anak buah Tuan John-Cluniess-Ross.

Aku cukup terkejut dan merasa sial mendengar hal itu. Mengapa. Sebab kabarnya Tuan Hare memutuskan untuk pindah ke Bengkulu. Bukankah Bengkulu sangat dekat dengan Batavia.

Seketika saja, aku mendesak Pieter untuk ke Batavia dengan membuat kapal sendiri. Namun, pengakuannya sungguh tak kuduga. Pieter bukanlah pelaut ulung. Selama berlayar bersama Tuan John-Cluniess-Ross hampir sepanjang waktu ia tidur. Saat matanya terbuka, hampir setiap dua jam sekali, dapat dipastikan ia muntah.

Jadi, meskipun Batavia hanya berjarak 1000 km dari pulau ini, ia tak akan mau kembali berlayar. Pieter trauma. Harapanku jelas kandas. Kini, aku tak ubahnya penyu tanpa tungkai. []

November 2011

[1] Seorang Petualang Inggris pada abad XIX. Dan cerita ini merujuk pada catatan Rosihan Anwar tentang Petualang Alexander Hare dalam bukunya Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid III .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun