Persoalan anak di negeri ini makin komplek dan terus betambah. Daftar panjang kasus kekerasan seksual pada anak pun jadi PR besar bagi pemerintah. SIMFONI--PPPA mencatat bahwa kekerasan seksual menempati urutan teratas sebagai jenis kekerasan yang paling banyak dialami anak pada tahun 2024. Jumlah korban kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2024 mencapai 7.623 kasus. Angka ini bisa saja terus bertambah hingga akhir tahun ini.
Pelecehan dari Orang Terdekat
Masyarakat pun dihebohkan dengan kasus perkosaan seorang siswi SMP di Boyolali hingga hamil 7 bulan. Pelakunya kakek dan ayah kandungnya sendiri. Kasus serupa pun dialami oleh dua gadis kakak beradik di Balikpapan. Keduanya mengalami pencabulan oleh orang terdekatnya yaitu pamannya yang berlangsung bertahun-tahun.
Dalam berbagai kasus pelecehan yang terjadi pada anak, banyak sekali kasus tersebut pelakunya adalah orang terdekat sendiri baik itu kakek, ayah, kakak dan paman korban. Laki-laki yang semestinya adalah pelindung bagi anak justru menjadi predator yang merusak kehidupan mereka. Tentu saja ini sangat memprihatinkan perlu penanganan serius.
Berbagai Upaya Telah Gagal
Beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Di antaranya Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014. UU ini dinilai mampu memperkuat perlindungan terhadap anak, termasuk dari kekerasan seksual. Di dalamnya, diatur tentang larangan segala bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun seksual terhadap anak. Kemudian peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 9 Tahun 2019, tentang Penanganan Anak yang Mengalami Kekerasan Seksual. Juga UU Perlindungan Korban Kekerasan Seksual (PKKS) adalah salah satu upaya dari pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Namun upaya hukum yang dibuat oleh pemerintah ini tidak mampu menekan jumlah kasus kekerasan seksual. Munculnya berbagai kasus telah menunjukan bahwa upaya tersebut telah gagal dalam melindungi anak. Ini membuktikan bahwa negara ini tidak mampu memberikan perlindungan dan ruang hidup yang aman bagi anak. UU ini bahkan dinilai hanya mampu melindungi korban namun gagal mencegah munculnya pelaku-pelaku baru.
Bukan tanpa alasan negara yang berlandaskan sekulerisme telah melahirkan gaya hidup liberal baik dalam keluarga, masyarakat dan negara. Gaya hidup yang liberal ini telah membentuk standar kebahagian bagi manusia adalah materi atau pemenuhan jasmani semata tanpa mengukur baik dan buruknya berdasarkan agama.
Individu berlaku semaunya karena landasan kebebasan yang menghilangkan rasa takut kepada Allah, sementara masyarakat bersikap individualisme dan abai terhadap banyaknya pelanggaran syariat, bahkan atas nama kebebasan negara telah membiarkan munculnya tayangan pornografi di media, yang memicu siapa saja untuk memuaskan nalurinya dengan cara apapun termasuk kepada anak-anak.
Oleh sebab itu, persoalan ini harus dipandang sebagai persoalan sistemik, sehingga membutuhkan solusi yang sistemik. Maka butuhnya kehadiran negara yang mampu memberikan solusi yang tepat dalam memberikan solusi terhadap persoalan ini. Negara tersebut adalah negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Sistem Islam mengharuskan diterapkannya sistem pendidikan Islam yang akan memadukan tiga peran pokok yang akan membentuk kepribadian mulia manusia, yaitu keluarga, masyarakat dan negara.
Dalam keluarga, orangtua memiliki peran penting untuk mendidik anak dengan panduan Islam. Penancapan aqidah secara kokoh dan materi Islam kaffah harus ditanamkan kepada anak, agar anak memahami hakikat kehidupan dan tujuan kehidupannya di dunia. Dengan begitu mereka paham bahwa satu-satunya aturan yang layak di jadikan rujukan dalam beramal adalah aturan Islam. Hal ini diperkuat dengan sistem pendidkan yang berasaskan aqidah Islam dengan tujuan membentuk kepribadian Islam dalam diri masyarakat sehingga akan terwujud generasi yang bertaqwa dan masyarakat yang islami yakni masyarakat yang menerapkan budaya amar ma'ruf nahi mungkar. Maka sekecil apapun kemaksiatan yang terjadi ditengah masyarakat akan mendapat perhatian dan nasehat dari masyarakat atau untuk dilaporkan kepada pihak berwenang. Begitupula media dalam Islam tidak boleh menayangkan hal-hal yang berbau pornografi maupun hal-hal yang melanggar syariat lainnya. Hal ini karena standar baik dan buruk dalam masyarakat adalah sesuai pandangan syariat.
Disamping itu, negara juga akan memberlakukan sanksi yang tegas bagi pelaku kriminal termasuk kejahatan seksual. Seingga mampu memberikan efek jera bagi pelaku kriminal. Pelaksanaan sanksi ini diterapkan dibawah sistem peradilan Islam. Di antaranya adalah memberikan sanksi bagi para pelaku kekerasan seksual, yakni dua sanksi sekaligus. Sanksi karena pelaku telah melakukan pemaksaan yang melukai farji (kemaluan) korban, serta sanksi karena pelaku telah berzina.
Abdurahman al-Maliky dalam kitab Nizhamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa melukai kemaluan termasuk perkara jinayah yang dikenakan sanksi berupa harta (diat). Akan tetapi, harus diperhatikan terlebih dahulu luka yang ditimbulkannya untuk menentukan entah sanksinya berupa setengah diat atau satu kali diat. Adapun satu kali diat adalah setara 100 ekor unta, sedangkan setengahnya adalah 50 ekor unta.
Sementara itu, sanksi karena melakukan zina adalah berupa had zina. Jika pelaku belum menikah, hukumannya adalah cambuk 100 kali (lihat QS An-Nur [24] :2) dan diasingkan selama setahun. Namun Jika pelaku sudah menikah, ia mendapat hukuman rajam sampai mati.