Mohon tunggu...
Ratnawati
Ratnawati Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang ibu, guru, santri, penggiat literasi, aktivis peduli generasi

Menulislah, karena menulis dapat memberikan jejak bagi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kenaikan UKT Ditunda, Pendidikan Tinggi Tetap Sulit Terjangkau

8 Juni 2024   12:17 Diperbarui: 8 Juni 2024   12:44 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Keputusan itu diambil setelah Nadiem dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta.

"Kami Kemendikbud Ristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT di tahun ini," ujar Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

"Kemungkinan ini akan dievaluasi dulu, kemudian kenaikan setiap universitas akan dikaji dan dikalkulasi sehingga kemungkinan, ini masih kemungkinan, nanti ini kebijakan di Mendikbud akan dimulai kenaikannya tahun depan," kata Jokowi di Istora Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024).

Sebelumnya, muncul gelombang protes dari berbagai kelompok, seperti mahasiswa, akademisi, politisi, dan masyarakat umum, terkait kenaikan UKT. Aksi protes mahasiswa menentang kenaikan UKT juga dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Ada beberapa kampus yang berbadan hukum yang menaikkan biaya UKT mereka yang mencapai angka Rp 164 juta dan Rp 200 juta. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi menjadi sorotan utama setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) tahun 2024. Terlebih lagi Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie merespon gelombang protes itu dengan menyebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA. Tjitjik juga menambahkan bahwa konsekuensi dari perguruan tinggi sebagai pendidikan tersier ini adalah pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan, untuk pembiayaan wajib belajar saja.

Mengapa pendidikan mahal dan sulit terjangkau

Ditundanya kenaikan UKT bukan berarti pemerintah telah bermurah hati untuk memudahkan terjangkaunya perguruan tinggi. Sebagai mana pernyataan dari pemerintah sendiri kenaikannya hanya ditunda hingga tahun depan. Dengan kata lain upaya ini hanya sekedar meredam gelombang protes yang terus muncul dikalangan masyarakat.

Fakta ini tidak bisa kita lepaskan dari sudut pandang pemerintah terhadap pendidikan, yang menyatakan bahwa perguruan tinggi sebagai pendidikan tersier. Tersier berarti adalah barang mewah yang pemenuhannya tergantung kepada kedudukan dan strata ekonomi seseorang dalam masyarakat. Dengan kata lain agar bisa menjangkau perguruan tinggi dibutuhkan kemampuan ekonomi yang lebih dikalangan masyarakat.  Pemikiran seperti ini lahir dari sudut pandang kapitalis yang menjadi paradigma pemerintah terhadap pendidikan. Pandangan kapitalis ini telah menjadikan pendidikan sebagai sektor komersial. Negara dalam hal ini akan menyerahkan pendidikan kepada masyarakat. Negara telah mulai melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan melalui liberalisasi pendidikan atas dasar kesepakatan pasar bebas dan globalisasi melalui WTO dan GATS. Kesepakatan negara terhadap liberalisasi 12 sektor jasa ini salah satunya adalah dibidang pendidikan. Legitimasi komersialiasi perguruan tinggi pun telah muncul pada UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), melalui UU Dikti (UU 12/2012), berserta turunan lainnya seperti Permendikbudristek 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek. Inilah yang menjadi landasan naiknya UKT.

Indonesia melalui keterlibatannya dalam General Agreement on Trade in Services (GATS), menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier yang telah diliberalisasi. Liberalisasi sektor pendidikan ini perlahan telah melepas tanggung jawab negara terhadap jaminan pendidikan murah dan terjangkau. Tapi justru pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar dan negara mengalihkan tanggung jawabnya pada masyarakat maka pendidikan pun makin tak terbeli. Kebijakan negara terhadap pendidikan ini merupakan paradigma keliru yang akan menambah kesengsaraan rakyat. Negara dalam sistem kapitalis demokrasi tidak akan mengambil peran untuk menjamin terpenuhi kebutuhan rakyat. Tapi negara hanya sebatas regulator, yakni mengatur dan mengawasi agar proses pendidikan berjalan sesuai dengan kepentingan kapitalis. Oleh sebab itu perlu perubahan paradigmatik terkait tanggung jawab negara dalam pendidikan dan hal itu hanya dapat dilakukan melalui perubahan yang juga paradigmatik dalam sistem pemerintahan yang sedang berjalan saat ini.

Islam menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat

Berbeda dengan sistem kapitalis yang sedang di terapkan Indonesia saat ini, yang memandang bahwa negara sebagai regulator, pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier yang diserahkan kepada tanggungjawab masyarakat. Sementara dalam sistem Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap rakyat. Negara bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan terbaik hingga perguruan tinggi. hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari,

"Pemerintah adalah raa'in dan penanggung jawab urusan rakyatnya".

Raa'in berarti pengurus rakyat, maka pemerintah bertanggung jawab penuh terjaminnya segala kebutuhaan masyarakat. Termasuk dalam hal ini pendidikan. Konsep pendidikan Islam bersifat merata dan tidak mahal, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar karena negara yang menanggung dari sumber pendapatan negara. Murah dan terjangkaunya biaya serta tersedianya sarana dan prasarana dalam pendidikan dapat berjalan dengan ditopang oleh sistem ekonomi Islam. Salah satunya adalah syariat Islam menetapkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam masuk dalaam kas pendapatan negara yang akan dikeluarkan untuk memenuhi kemaslahatan rakyat termasuk dalam hal ini adalah pembiayaan pendidikan. Tentu saja pelaksanaan syariat Islam ini hanya dan akan berjalan jika negara ini menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Hal ini telah terbukti secara kongkrit saat dimasa kekhilafahan Islam yang menerapkan aturan Islam, telah mampu menjamin pendidikan murah dan terjangkau. Inipun sudah terbukti dan masih bisa kita dapati buktinya hingga masa kini. Berbeda dalam sistem kapitalis yang menampakan banyak kerusakan dan kesengsaran bagi masyarakat. Sudah saatnya kita mengambil solusi ini untuk menyelamatkan rakyat.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun