Mohon tunggu...
Ratna Sukmawati
Ratna Sukmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Politik Luar Negeri dan Diplomatik Era Kerajaan dalam Film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta"

15 Oktober 2021   22:32 Diperbarui: 15 Oktober 2021   22:50 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Jauh sebelum kemerdekaan, bangsa Indonesia telah berinteraksi dengan bangsa lain karena berbagai alasan, seperti perdagangan, penyebaran agama, dan lain sebagainya. Interaksi antara bangsa Indonesia dengan bangsa lain menjadi penting dalam pembahasan diplomasi Indonesia saat ini. 

Pertama, interaksi tersebut dapat menunjukkan kemajuan peradaban Indonesia di tengah kekuatan global. Kedua, terungkapnya fakta bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang terjajah selama 350 tahun. Jika merujuk pada kerjasama antara Kerajaan Aceh dan Amerika pada tahun 1873, maka dapat dilihat bahwa kedudukan kerajaan Aceh sudah pasti merdeka. Selanjutnya, pada tahun 1681 utusan Sultan Banten juga telah menghubungi Inggris untuk bekerjasama. Sultan Banten mengirimkan persembahan kepada Raja Charles II untuk menerima sebuah meriam besar yang dapat digunakan untuk melawan Belanda.

Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta berfokus pada kisah raja ketiga Kesultanan Mataram Islam, yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma (1593-1646) yang memimpin kerajaan serta mengorbankan cinta demi tahta Mataram. Selain itu, film sejarah Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta juga mengisahkan tentang Raja yang harus berjuang untuk menyatukan kembali para adipati karena terpecah belah oleh fitnah VOC.

Sentuhan diplomatik yang dilakukan Mataram ketika berhadapan dengan VOC adalah bersifat diplomasi ofensif atau offensive diplomacy. Proses negosiasi dalam diplomasi tidak selalu berjalan lancar, sehingga diperlukan alternatif lain yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan, seperti pemaksaan kepentingan dengan cara ofensif. 

Diplomasi ini disebut offensive diplomacy atau diplomasi ofensif, yaitu diplomasi yang dilakukan dengan tekanan, paksaan, hingga ancaman terhadap pihak lain. Dimana pada saat itu, perwakilan VOC pertama kali bertemu dengan Raja Mataram untuk memberinya hadiah dan mencapai kesepakatan untuk bekerjasama dengan mengizinkan VOC berdagang di wilayah Mataram, namun Raja tetap memberikan syarat pada setiap penjualan yang VOC lakukan dengan mengenai pajak sebanyak 60% karena Sultan Agung curiga terhadap para perusahaan tersebut. 

Perwakilan VOC tidak setuju dengan syarat dan ketentuan yang diberikan Sultan Agung, sehingga mereka kembali ke Batavia untuk membicarakan syarat-syarat itu dengan atasan mereka. Tindakan ofensif seperti penyerangan akan diambil ketika tujuan diplomasi yang awalnya berjalan damai dianggap tidak berhasil. 

Untuk memuaskan kepentingan secara lebih cepat dan efektif, maka tindakan ofensif dapat diambil. Oleh karena itu, diplomasi ofensif juga dapat didefinisikan sebagai diplomasi yang ditempuh dengan cara membuat pihak lain memberikan sesuatu yang bernilai tanpa memberi perlawanan. Mataram mengirimkan mata-mata dan perwakilan ke Batavia untuk memastikan apakah VOC menyetujui persyaratan yang diberikan raja mereka. 

Namun perwakilan Mataram harus kecewa dengan keputusan VOC, bahkan dalam perjalanan kembali ke Mataram mereka diserang oleh bawahan VOC. Hal tersebut memancing kemarahan Sultan Agung karena VOC yang menganggap lemah bangsanya sehingga ia memerintahkan pasukan untuk segera berkumpul dan menyerang Batavia. 

Sultan Agung berpikir lebih baik Mataram menyerang VOC terlebih dahulu sebelum mereka menyerang. Diplomasi ofensif umumnya ditempuh dengan tujuan untuk menyelesaikan situasi tegang antar negara. Kelebihan dari diplomasi ini adalah lebih bersifat persuasif karena takut akan kekerasan yang semakin menyebar. Namun, jenis diplomasi ini merugikan banyak pihak, terutama yang terlibat dalam kekerasan. 

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa negara lain setuju dengan keputusan yang diambil dan mengatur agar kekerasan yang dilakukan tidak meluas ke aspek-aspek yang tidak diinginkan. Sedangkan, kelemahan dari diplomasi ini terletak pada sifatnya yang ofensif, maka para aktor harus berhati-hati dan penuh perhitungan, yang pada akhirnya dapat membatasi ruang gerak para aktor diplomatik. 

Paksaan tersebut berdampak tidak cukup baik bagi negara yang menggunakan diplomasi ofensif, karena dapat menyebabkan kerugian . Dapat dilihat dari Mataram yang mengalami banyak kerugian karena ada beberapa pengkhianat Mataram yang berada di pihak VOC serta senjata VOC lebih canggih dalam peperangan yang menyebabkan Mataram mengalami kekalahan perang, namun berhasil membunuh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan membendung aliran Sungai Ciliwung dan mengisinya dengan bangkai binatang sehingga tercemar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun