RA. Kartini & Peran Politik Kaum Perempuan
Beratus tahun lalu, didalam tradisi Batak, seorang perempuan yang tidak mampu memberikan anak laki-laki akan dibuang ke jurang tanpa setahu suami dan anak-anak perempuannya. Sekarang hal sekejam itu tentu sudah tidak terjadi.Namun, tradisi Batak dalam upayanya yang keras membuka diri pada perubahan dan kemajuan, sampai hari ini (tanpa disadari) masih tetap punya semangat yang kuat meletakkan perempuan di posisi kedua.
Tanggal 21 April 1964 adalah pertama kali Kartini ditetapkan sebagai pahlawan. Sejak itu, kepahlawanannya sebagai tokoh emansipasi perempuan secara nasional diperingati setiap 21 April, hari kelahirannya.
Kartini dilahirkan di Rembang Jawa Tengah seabad lalu. Dia tumbuh dan menjadi dewasa di tengah keluarga bangsawan yang dengan ketat memegang budaya feodalisme Jawa, budaya yang telah dengan ketat mengungkung seluruh pertumbuhan/kemerdekaannya sebagai perempuan.
Di kehidupannya yang seperti itulah Kartini tumbuh sebagai perempuan yang kritis, yang melawan dengan cerdas. Yakin dia tidak cukup hanya bersedih menyaksikan dan menerima nasibnya dan nasib kaumnya, dimulai di tengah keluarganya sendiri ia dengan berani menunjukkan sikapnya. Dia dengan sangat tegas menolak menggunakan fasilitas-fasilitas kebangsawanannya. Ia tidak mau memakai payung emas dan dia tidak mau disembah adik-adiknya, meski itu haknya.
Perkawinannya dengan seorang Bupati, yang oleh berbagai pihak dinilai sebagai “terjebak”, sebenarnya merupakan akibat dari kurangnya catatan sejarah tentang perkawinannya ini. Kita tidak pernah tahu apakah Kartini betul-betul menginginkan perkawinan itu atau semata keinginan budaya, orang sekeliling atau Ayahnya. Surat-surat yang dia tulis pada periode itu tidak pernah kita baca, atau mungkin dengan sengaja dilenyapkan? Namun, apapun alasan yang membuat perkawinan itu ada, perkawinan itu tak menghentikan Kartini dalam memperjuangkan cita-citanya. Dia bahkan telah memanfaatkan perkawinannya secara maksimal untuk tetap bisa mewujudkan cita-citanya membela kaum perempuan, memanfaatkan dengan baik cinta serta fasilitas yang dimiliki suaminya sebagai seorang bupati, untuk hal mana ia layak dihormati dan patut dicontoh.
Di usia 22 tahun seabad lebih lalu Kartini telah mampu menulis untuk sebuah koran Belanda bernama “Lokomotif”. Dia memiliki kesadaran membaca yang tinggi. Dia menulis dan berinteraksi. Dia mampu berbicara tentang banyak hal, termasuk masalah-masalah diluar masalah perempuan, seperti rasialisme dan politik. Dia satu-satunya perempuan di-eranya yang punya keberanian menulis dan mengirimkan petisi pada pemerintah Belanda, dan didengar. Pikiran-pikirannya yang kuat dan lengkap menjadi dasar pemikiran dari Kongres Wanita I di Indonesia yang dilaksanakan beberapa puluh yang lalu.
PEREMPUAN & KEKERASAN
Hanya ada dua pengalaman yang benar-benar dirasakan perempuan secara universal. SATU: Pengalaman saat melahirkan, memberi kehidupan bagi anak-anak mereka, DUA: Pengalaman dalam menghadapi ketakutan akan kekerasan, baik itu kekerasan fisik, maupun kekerasan non-fisik.
Berabad-abad sudah perempuan diperlakukan kasar baik oleh keluarganya, masyarakat sekeliling, kekasihnya atau suaminya. Itulah budaya yang melekat di hampir semua masyarakat di seluruh dunia, buadaya feodal. Sebagai budaya yang melekat di tubuh dan tertanam di balik mind-set manusia, budaya feodal menjadi hambatan utama perjuangan emansipasi perempuan di samping hambatan interpretasi agama dimana Tuhan dan kitab suci dinterpretasi seolah memihak laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai the second creation yang boleh diperlakukan sebagai the second sex. Budaya feodal dan pemahaman agama yang dibelokkan itu kemudian ditambah dengan politik antropologi, politik kekuasaan melanggengkan berlangsungnya kekerasan atas perempuan dan di berbagai kasus bahkan sangat biadab.
Kekuatan apa yang mampu meremukkan rahim seorang peremuan kalau bukan kebiadaban? Itu terjadi pada Marsinah, perempuan, buruh kecil yang ditemukan mati di tepi hutan tahu 1993 lalu setelah sebelumnya dianiaya dan diperkosa dengan keji. Apakah kecerdasan dan kegigihan Marsinah dalam memperjuangkan hak-haknya dan hak-hak buruh lainnya sedemikian membahayakan hingga ia harus disingkirkan atau dibunuh? Kenapa dia tidak dipecat. Atau kalau pemecatan dianggap tidak cukup dan perlu dilenyapkan, kenapa dia tidak dibunuh dengan cara lebih umum, seperti diracuni misalnya, atau ditembak? Kenapa harus dianiaya? Kenapa rahimnya harus diremuk-remukkan? Karena Marsinah dianggap telah dengan lancang mempersoalkan sejarahnya, melawan keputusan politik kekuasaan yang notabene adalah kelakian-lakian paling maskulin dan paling perkasa.
Di dalam kasus pembantaian Marsinah kita menemukan tiga simbol yang melekat pada keberadaan perempuan.
1.RAHIM, simbol perempuan sebagai pemberi keturunan, pemberi kehidupanserta jaminanregenerasi yang seharusnya dihormati setinggi-tingginya.
2.KEBISUAN simbol perempuan sebagai mahluk yang harus diam dan mendengar, bukan berbicara dan didengar.
3.KEPATUHAN, simbol yang secara budaya dan politik ditanamkan, betapa perempuan adalah mahluk yang harus selalu manis, patuh dan lemah lembut.
PERAN POLITIK PEREMPUAN INDONESIA
Kalau sekarang ini peran perempuan Indonesia di dunia politik masih lebih banyak dijadikan tontonan menyakitkan, seratus tahun lebih yang lalu Raden Ajeng Kartini justru sudah melakukan sesuatu yang menunjukkan ia punya kecerdasan melebihi laki-laki. Budayawan besar Indonesia (Pramudya Ananta Toer) penulis ‘Panggil Aku Kartini Saja’ mengatakan “She is thefirst modern thinker inIndonesia”.
Sekarang, seabad lebih setelah era Kartini, meski kecerdasan perempuan sudah sangat mencengangkan dan sering jauh lebih menonjol dari laki-laki, posisi perempuan secara umum di berbagai sisi kehidupan (lingkungan, pendidikan, budaya, social, ekonomi, politik), hingga hari ini masih selalu diurutan berikut setelah laki-laki dan tantangan yang harus mereka tempuh menuju ke sana adalah pertarungan yang tidak mudah, yang tidak harus dihadapi kaum laki-laki. Di perusahaan-perusahaan, perusaan kecil atau perusahaan multi nasional, posisi yang layak ditempati perempuan, termasuk jumlah gaji yang berhak mereka terima masih dibatasi dengan menempatkan pekerja perempuan sebagai pencari nafkah pendukung, sementara laki-laki dihargai lebih dengan alasan pencari nafkah utama.Peran perempuan di partai politik secara umum masih sebagai obyek, untuk meramaikan, untuk mempercatik, untuk mengangkat elektabilitas karena perempuan lebih gigih, lebih tulus dan lebih sabar, atau dipakai semata untuk memenuhi quota menuju pemilihan umum legislative.
Begitulah hingga hari ini nuansa maskulin masih mendominasi kehidupan kita dalam bermasyarakat. Meski dari hari ke hari kita menyaksikan kaum perempuan terus memperjuangkan emansipasinya, perjuangan itu sarat hambatan, bukan semata karena kaum lelaki bersikukuh mempertahankan posisi maskulinnya, tapi karena kaum perempuan sendiri (diakui atau tidak) umumnya masih berada dalam pemikiran, keyakinan dan perilaku yang saling melawan. Sikap mendua itu membuat perlawanan mereka bias dan bias itu berpotensi besar menuai hambatan-hambatan.
Di lingkungan intelektual seperti kampus misalnya, dimana perempuan sudah selayaknya dihargai dan menghargai dirinya sejajar dengan kaum laki-laki, independensi dan manfaat keterpelajaran kaum perempuan (umumnya) justeru masih perlu dipertanyakan. Di rapat-rapat penentuan Dekan atau Ketua Jurusan (misalnya) meski tidak tertulis dalam kriteria atau ketentuan resmi, perempuan masih lebih suka memilih laki-laki. Meski perempuan Indonesia sudah banyak yang terpelajar, sudah banyak yang menjadi ilmuwan, intelektual, guru besar, seniman besar, budayawan, dan sudah banyak yang ikut mengisi meja-meja penting dan terhormat di tengah kehidupan kita berbangsa; Meski Indonesia sudah punya demokrasi dan kaum perempuan sudah bisa secara terbuka menolak pelecehan terhadap kaumnya, sudah bisa dengan keras menolak feodalisme, pada saat yang sama banyak perempuan Indonesia terutama di perkotaan masih memperlakukan pembantu rumah tangga dengan perilaku sangat feodal. Masih banyak perempuan berpendidikan atau/dan berpunya yang belum ikut terusik oleh nasib buruh perempuan terus menerus diletakkan di posisi tawar yang jauh dari manusiawi; Masih banyak perempuan berpendidikan atau/dan berpunya yang tidak tergerak mempersoalkan nasib Bonet, Satinah serta nasib puluhan juta kaumnya yang kini terjebak menjadi TKW di negeri orang, dijadikan komiditi, disanjung sebagai pahlawan devisa, sekaligus rentan penganiayaan, pemerkosaan dan pelecehan atas martabatnya sebagai manusia. Di lain pihak, perempuan ‘pergerakan’ yang dari hari kehari berjuang mengadvokasi persoalan-persoalan kaumnya masih enggan mengakui bahwa system liberal yang sekarang kita anut sesungguhnya adalah sumber utama persoalan-persoalan perempuan di republik ini.
Sikap mendua itulah yang membuat perempuan menerima saja sebutan “Domestic Violation” atas penganiayaan yang terjadi pada isteri, kawan, bawahan. Dengan menerima sebutan itu, tanpa kita sadari kita telah meng-aminkan bahwa mencampuri persoalan penganiayaan terhadap isteri atau bawahan atau pembantu rumah tangga adalah “mencampuri urusan rumah tangga orang lain” dan tidak sopan. Sikap itulah yang membuat kita kehilangan spontanitas dan miskin empathy dalam membela seseorang yang dianiaya di sekitar kita atau di depan mata kita, membiarkannya membudaya dan kita terima sebagai budaya yang tak terelakkan, menunjukkan bahwa kaum perempuan (umumnya) belum mampu dengan jernih memahami dan menghormati harga dirinya, menghormati hak-hak azasinya, hak-hak sosialnya, dan minimnya pemahaman kaum perempuan tentang hak-hak politiknya.
Sikap mendua inilah yang menjadi tantangan berat seorang Megawati dan para politisi perempuan di parlemen dalam membuktikan dirinya sebagai ujung tombak perlawanan perempuan. Berhasil tidaknya Mega dan para politisi perempuan di DPR membuktikan kemampuan politik dan leadership-nya sebagai ‘perempuan pemimpin’ akan berdampak pada peran politik perempuan di Negri ini dimasa datang. Mereka harus lebih dulu mampu membebaskan diri dari budaya yang selama ini melemahkan kaumnya. Mereka harus mampu membuktikan bahwa keberadaan kaum perempuan di kursi kekuasaan dan parlemen telah menciptakan birokrasi dan politik yang lebih beradab, lebih lembut, tulus, berkeadilan dan penuh perlindungan dan punya kekuatan menghentikan kemiskinan dan penderitaan Rakyat.
Mampukah perempuan Indonesia terutama mereka yang sekarang terjun di politik dan segera akan duduk di parlemen menjawab semua tuntutan itu, sementara partai-partai politik melalui amandemen atas UUD 1945 telah secara serampangan merusak system tata Negara kita dengan mengkhianati Pancasila dan UUD’45. Sejauh manakah kemapuan kaum perempuan di parlemen (atau calon) menghadapi undang-undang politik kita yang sudah berubah jadi sangat liberal? Mampukah perempuan di Parlemen (calon) membangun Indonesia yang lebih damai, lebih berkeadilan dan bermoral dengan demokrasi kita yang tak lagi menganut nilai-nilai Pancasila, yang telah berubah menjadi demokrasi capital, transaksional dan kapitalistik? MAMPU.
Langkah pertama dan utama dan paling berharga yang dapat dipersembahkan perempuan Indonesia khususnya oleh kaum perempuan terpelajar, kaum ‘pergerakan’ perempuan, khususnya mereka yang segera akan duduk di parlemen demi bangsa dan Negara (NKRI) adalah adalah melepas diri dari kecenderungan kaum perempuan yang masih terdiam di posisinya sebagai subordinasi. Dengan cara itu mata, hati/nurani dan nalar mereka akan terhidupkan dan bekerja sebagai mana mestinya. Mampu melihat dengan jernih betapa nasib bangsa ini sedang berada di ujung tanduk, kehilangan roh, kehilangan kedaulatan dan kemandirian dan sedang menunggu kaum perempuan (sebagai empu kehidupan) mengambil peran menyelamatkannya.
Selamat Hari Perempuan Indonesia.
Jakarta, 21 April 2014
Ratna Sarumpaet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H