Lembab dan dingin. Hujan turun selama tiga hari berturut-turut. Tanpa jeda dan pertanda. Singkil menjadi desa yang lumpuh. Hujan telah menghentikan seluruh aktifitas penghuninya. Sebelumnya, berladang dan bersawah adalah pekerjaan utama mereka. Kini tiada yang dapat mereka lakukan selain menunggu, berharap hujan segera menyingkir dari desa tercintanya itu.
“Kek, kapan hujan akan reda?”, tanya Aryo sembari menghidangkan kopi hangat buatan neneknya.
“Entahlah, Le”, jawab kakek sambil membuang abu cerutunya ke dalam asbak kayu yang terletak di atas meja. “Kakek juga berharap hujan segera reda. Bosan juga kakek berdiam diri di rumah seperti ini.”
Tetes air hujan rupanya ingin bergabung bersama Aryo dan kakek juga, mencoba menyelinap masuk ke dalam rumah. Setidaknya ada 4 titik yang menjadi pintu masuk bagi mereka. Aryo segera mengambil baskom dan ember yang ada di dapur.
“Wah, kalau begini terus, bisa-bisa rumah kita jadi laut, Kek”, ucap Aryo. Kemudian ia mendekati kakek dan duduk di kursi rotan yang terletak tepat di sebelah kanan baskom berwarna kuning.
“Bukan hanya rumah kita tapi bisa-bisa desa kita, Le”, ujar kakek. Pandangan matanya tajam dan melesat jauh keluar rumah. “Sudah sebulan ini, orang-orang kota yang mengatasnamakan peduli ‘wong cilik’ itu mengadakan proyek di atas puncak sana. Mereka bilang proyek usaha bersama, untungnya juga dibagi untuk warga desa, mereka juga berjanji ingin menjadikan desa kita sebagai desa wisata.”
“Proyek apa kek?”
“Proyek menebang pohon untuk diolah menjadi kayu yang akan dijadikan stok bahan utama perusahan-perusahaan mebel. Pak Kades menjamin mereka melakukan tebang pilih. Kalau tidak, ya nasib warga Singkil yang hancur.”
Hening. Aryo mengamati tetesan air hujan yang terus-menerus menetes tanpa bisa di rem. Seandainya ia bisa mencapai langit ia ingin menutup semua keran yang ada di atas sana supaya hujan berhenti. Ia rindu bermain di sawah, ladang, sungai, dan juga di puncak. Ia ingin sekali menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang kota yang diceritakan kakek.
******
Genap tujuh hari sudah.
Hujan tak kunjung reda, air sungai sudah meluap. Singkil tak mampu bertahan lagi. Longsor dan erosi datang tanpa permisi. Warga desa telah mengungsi, mencari tempat perlindungan yang aman.
Ketegangan dan kecemasan terpasang di raut wajah masing-masing warga. Tak ada yang dapat mereka lakukan, banjir telah menggenangi Desa Singkil, tempat mereka dibesarkan dan juga membesarkan anak-anak mereka. Seluruh sawah dan ladang telah menjadi genangan air, bak laut yang tiba-tiba saja terbentuk seperti zaman nabi Nuh.
“Pak Kades kemarin yang menjamin kalau orang-orang itu melakukan tebang pilih, tapi nyatanya, banjir tak terelakkan, orang-orang itu yang menjadi penyebabnya! Pak Kades masih mau menyanggah lagi?”, kata Pak Yusuf. Salah satu warga Desa Singkil yang rumahnya tepat berada di depan rumah Aryo.
Pembicaraan Pak Yusuf dan Pak Kades menjadi tontotan para warga desa di tempat pengungsian. Tentunya peristiwa ini tidak akan mereka lewatkan, mengingat di barak pengungsian mereka tidak akan bisa menemukan televisi ataupun radio, tidak ada hiburan yang dapat menghilangkan rasa letih dan jenuh mereka.
Pak Kades hanya bisa terdiam, ia juga tak bisa melakukan apa pun lagi. Kini ia mengungsi bersama para warganya. Tak ada yang bisa menjamin kalau orang-orang proyek melakukan tebang pilih. Terbukti, erosi dan banjir telah menenggelamkan tempat tinggal mereka.
“Kek, apakah Aryo bisa bermain di sawah dan ladang lagi?”, tanya Aryo kepada kakeknya.
Kakek menghisap cerutunya. “Entahlah, Le. Hujan saja belum reda, alam sudah mulai tak seimbang. Manusia yang menjadi perusaknya.”
Aryo semakin erat memegang sarung yang melilit di tubuhnya. Udara semakin dingin, ia mencoba menghangatkan tubuhnya. Memprihatinkan, itulah kondisi yang tergambar di barak pengungsian. Hanya mie instan yang menjadi menu utama mereka. Sampai saat ini, perusahaan dan orang-orang proyek yang memiliki label peduli ‘wong cilik’itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Mereka hanya mengirimkan salam keprihatinan melalui koran, radio, dan televisi. Tak ada santunan apa pun dari mereka.
“Kek, lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas keadaan ini?”, tanya Aryo kembali. Beribu pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Dinginnya udara kala itu tak membekukan aktifitas otaknya. Otaknya terus bekerja untuk mencari jawaban-jawaban atas segala pertanyaannya.
“Kakek juga tidak tahu, Le”, ucap kakek lesu. Kakek menegak teh tubruk yang baru saja dihidangkan oleh nenek. Badannya hangat sekarang. Setidaknya, dapat melegakan tenggorokan dan juga perutnya di tengah-tengah kejenuhan menunggu hujan. “Kita lihat saja nanti ya , Le.”
Aryo hanya menganggukkan kepalanya. Umurnya baru sepuluh tahun. Tidak banyak yang ia ketahui tentang politik, ekonomi, dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan itu. Satu hal yang ia tahu, ia ingin segera kembali ke Singkil, bermain bersama bocah-bocah desa. Bermain di sawah dan ladang, mencari ikan di sungai sekaligus berenang dan juga bermain lumpur. Hal yang paling ia rindukan adalah bermain bersama hujan. Bukan dalam keadaan ia menunggu hujan, bukan dalam situasi hujan menjadi musuhnya, melainkan menjadi sahabatnya. Ia ingin merasakan tetesan air hujan menyentuh wajahnya dengan lembut.
Rindu. Entah kapan keadaaan akan membaik seperti sedia kala. Alam adalah sahabatnya, tempatnya bersukacita. Tak ada yang bisa Aryo lakukan ketika sahabatnya itu menderita. Hanya rintih yang bisa ia dengar, benar-benar perih dirasakannya.
*********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H