Hari yang Menentukan
Fajar baru saja menyingsing saat aku menuntaskan shalat Subuh. Langit masih memeluk warna kelabu, seolah mencerminkan perasaanku yang gelap dan tak menentu. Pagi ini, aku dipanggil oleh Ustazah Hanum, pimpinan pengasuh pesantren. Aku tahu, pasti ada hal penting yang ingin disampaikannya.
"Zakiyyah, ada yang mau ustazah sampaikan. Mari ikut ke kantor," suaranya lembut, namun penuh wibawa.
Tanpa ekspresi, aku mengikuti langkahnya. Beban yang menghimpit jiwaku membuat tubuhku terasa berat, seakan tiap tapak kaki menancap lebih dalam ke tanah.
"Assalamu'alaikum," ucapku lirih ketika sampai di depan pintu kantor.
"Wa'alaikumussalam, Zakiyya. Mari masuk," sahutnya.
Aku melangkah masuk dengan dada berdebar. Ustazah Hanum menatapku penuh perhatian sebelum akhirnya berkata, "Ustazah sudah memperhatikanmu belakangan ini, Nak. Sepertinya ustazah harus mengutus Ustazah Nisa untuk menemanimu pulang ke rumah."
Aku menelan ludah. Pulang? Apa itu berarti aku bebas?
"Tapi..." lanjutnya, membuat dadaku kembali sesak. "Apa pun yang terjadi, seberat apa pun yang kau temui, ustazah ingin kamu kembali ke sini. Jangan patah semangat. Masa depanmu masih panjang."
Hatiku mendesah lirih. Pulang... tapi tetap harus kembali. Entah bagaimana perasaanku sekarang. Separuh bahagia, separuh lagi takut.
Waktu sarapan berlalu tanpa benar-benar kunikmati. Aku segera menuju kamar dan mengais tas ransel yang telah kusiapkan jauh-jauh hari.