Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Saat sang surya kehilangan cahanya part 1

28 Januari 2025   16:24 Diperbarui: 28 Januari 2025   17:42 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar santi makan bersama di pesantren (gambar: doc. pribadi)

Hari pertama aku tiba di pesantren, rasanya seperti melangkah ke dunia yang sama sekali baru. Udara pagi itu dingin, tetapi aku tetap berkeringat, mungkin karena gugup. Aku mengenakan baju terbaik yang kumiliki, tetapi semuanya terasa serba pas-pasan. Jilbabku agak pendek dan sedikit kusut, kaos kakiku terlalu tipis, dan rok panjang yang kupakai adalah satu-satunya yang ibu temukan di pasar malam beberapa hari lalu. Aku melangkah perlahan, sambil terus memandang ibu yang menggandeng tanganku erat.

"Nak, jadilah anak yang baik di sini. Belajar sungguh-sungguh, ya," kata ibu, suaranya bergetar seolah menahan tangis. Aku hanya mengangguk, meskipun dadaku terasa berat. Rasanya ingin sekali meminta ibu untuk tinggal lebih lama, tapi aku tahu ini adalah sesuatu yang harus kujalani.

Begitu memasuki asrama, suara tangis langsung menyambutku. Di pojok kamar, seorang anak perempuan duduk memeluk lututnya, wajahnya sembab. "Aku mau pulang... aku nggak betah di sini," isaknya pelan, sambil sesekali melirik pintu seperti berharap ibunya kembali. Di sudut lain, ada seorang anak yang hanya melamun, tatapannya kosong ke arah dinding. Sepertinya ia terlalu bingung untuk berkata apa pun.

Tak jauh dari situ, ada juga seorang anak yang memeluk ibunya erat-erat. "Bu, jangan pergi... jangan tinggalin aku di sini," katanya sambil menangis keras. Sang ibu mencoba menenangkan, mengusap punggungnya dengan lembut, lalu dengan berat hati beranjak pergi. Saat pintu menutup, anak itu masih berdiri di tempat, matanya terus menatap punggung ibunya yang semakin menjauh.

Aku hanya berdiri di tengah ruangan, memegang erat tas kecilku, tak tahu harus melakukan apa. Perasaan campur aduk memenuhi pikiranku. Haruskah aku juga menangis? Atau melamun seperti anak yang lain? Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, seorang perempuan muda dengan senyuman ramah mendekatiku. "Assalamualaikum, zakiya. Kamu anak baru, ya?" sapanya lembut. Aku mengangguk, mencoba tersenyum meski gugup.

"Boleh ustazah bantu sedikit soal pakaianmu?" tanyanya dengan nada penuh pengertian. Aku mengangguk lagi, dan dia mulai membimbingku. Jilbabku yang terlalu pendek diganti dengan jilbab panjang milik pesantren. Ia menunjukkan cara melipatnya agar rapi dan tidak mudah terlepas. "Jilbab panjang ini akan melindungi kamu, sayang. Selain menutup aurat, ini juga membuatmu terlihat lebih anggun," ujarnya sambil tersenyum.

Rokku yang sedikit ketat diganti dengan rok lebar berwarna cokelat gelap. "Rok ini memudahkanmu bergerak tanpa khawatir terlihat yang tidak seharusnya," jelasnya. Kaos kaki baru diberikan padaku, lebih tebal dan nyaman. "Kaos kaki itu sederhana, tapi punya peran penting. Menjaga kita tetap terlindungi, meski mungkin orang lain menganggapnya sepele."

Awalnya, aku merasa canggung dengan semua ini. Pakaian yang lebih panjang dan tertutup terasa asing di tubuhku. Tapi Ustazah Wafa begitu sabar membantuku menyesuaikan diri. "Pelan-pelan saja, ya. Tidak perlu terburu-buru. Semua ini adalah bagian dari perjalananmu," katanya.

Setelah semua selesai, aku dipersilakan bergabung dengan teman-teman baru di kamar. Beberapa anak masih menangis, tetapi yang lain mulai tersenyum dan berbicara pelan-pelan. "Aku Yuni, kamu siapa?" tanya seorang anak dengan mata besar dan senyum lebar. "Aku zakiya," jawabku pelan. Yuni langsung meraih tanganku. "Sini, duduk sama aku."

Malam pertama di asrama penuh warna. semua murid dikumpulkan dengan memulai saling berkenalan dan ustazah memulai binaan tentang materi tata cara pakaian wanita islami. seusai acara ustazah bersegera menyuruh kami untuk beristirahat dikamar masing-masing.  Setelah lampu dimatikan, suara bisik-bisik mulai memenuhi ruangan. Ada yang berbagi cerita tentang rumah, ada yang mencoba menakut-nakuti dengan cerita hantu, dan ada yang masih sesenggukan karena rindu orang tua. Tapi ujungnya selalu sama: tawa pelan yang akhirnya meledak menjadi gelak besar, hingga seorang kakak kelas mengetuk pintu dari luar sambil berkata, "Tidur! Besok kita harus bangun subuh!"

Hari-hari berikutnya penuh pelajaran baru. Aku belajar cara berjilbab yang rapi, membaca Al-Qur'an dengan tajwid yang benar, dan memahami doa-doa yang sebelumnya terasa asing di telingaku. Di sela-sela jadwal yang padat, selalu ada keceriaan kecil yang membuat semuanya terasa ringan. Kami berbagi makanan saat sarapan, bermain lompat tali di halaman, atau sekadar duduk melingkar di bawah pohon sambil berbagi cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun