Kamu pernah dengar cerita ini? Anak kelas 1 SD bawa LKS (Lembar Kerja Siswa) pulang ke rumah. Eh, pas dilihat, ternyata isinya soal-soal yang butuh kemampuan membaca. Masalahnya, anaknya belum bisa baca! Jadi, siapa yang ngerjain? Benar banget, mamanya.
Fenomena ini tuh kayak rahasia umum. Kita tahu, tapi pura-pura nggak tahu aja. Anak SD yang baru masuk kadang belum lancar baca, apalagi paham soal. Yang ada, tugasnya dikerjain di rumah, biasanya sama ibunya. Sementara anaknya? Duduk aja manis, nunggu jawaban selesai ditulism Atau bahkan tidak peduli sama sekali..
Nah, yang jadi masalah besar itu apa? Selama setahun di kelas 1, anak-anak yang belum bisa baca jadi nggak belajar banyak. Mereka nggak ngerti pelajaran, karena dasar-dasarnya aja belum punya. Akhirnya, pas kelas 2, mereka baru mulai belajar baca, padahal teman-temannya udah jauh lebih maju. Ketinggalan? Jelas banget.
Mirisnya lagi, sekarang banyak ditemukan kasus anak kelas 3 SD ke atas yang masih belum lancar membaca. Bayangin, saat teman-temannya udah mulai belajar pelajaran lebih kompleks seperti memahami teks atau mengerjakan soal cerita, mereka masih berkutat mengeja huruf demi huruf. Kalau sudah begini, siapa yang disalahkan? Sistem pendidikan? Guru? Orang tua? Atau anak itu sendiri?
Guru-guru juga kebingungan. Harus kasih nilai, tapi anaknya belum bisa ngerjain ujian dengan mandiri. Bahkan, nggak jarang ada cerita guru bantu "mempermudah" anak-anak biar bisa naik kelas. Bukan salah gurunya, sih. Mereka juga terjebak di sistem pendidikan yang menuntut semuanya serba cepat.
Yang bikin tambah sedih, orang tua jadi panik. Mereka takut anaknya ketinggalan, akhirnya buru-buru daftar bimbel atau les privat. Tujuannya biar anak bisa baca cepat, biar nggak malu-maluin di sekolah. Tapi, ini malah bikin anak tertekan. Masa kecil yang harusnya diisi main-main, malah jadi penuh hafalan dan latihan.
Padahal, kalau mau jujur, anak usia 5-7 tahun itu masih dalam tahap perkembangan. Mereka baru siap belajar baca secara bertahap, nggak langsung. Sistem pendidikan kita yang terlalu ngebut ini kadang bikin anak kehilangan kesempatan belajar dengan cara yang benar.
Jadi, apa solusinya? Kurikulum harus lebih manusiawi. Anak kelas 1 SD itu butuh waktu untuk belajar baca tanpa tekanan. Guru juga perlu pendekatan yang lebih fleksibel, nggak harus ngejar target LKS semata. Kurikulum nasional harus berubah, fokus utamanya pada perkembangan kemampuan literasi dasar anak tanpa memaksakan mereka langsung menguasai semua pelajaran. Tekanan akademik harus dikurangi, dan prioritas diberikan pada metode belajar yang menyenangkan dan berpusat pada anak.
Orang tua juga perlu paham bahwa nggak apa-apa kalau anaknya baru lancar baca belakangan. Pendidikan itu perjalanan panjang, bukan sprint. Jadi, mari pelan-pelan, biar anak-anak kita belajar dengan bahagia, bukan dengan rasa takut. Setuju?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI