part 8
Judul: "Di Balik Pelukan Ibu, Perjuangan yang Tak Terlupakan"
Semester sembilan dimulai dengan pahit dan manis. Dengan tabungan seadanya, aku berjuang membayar sisa biaya kuliah. Namun, perjuangan itu hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh air mata. Setelah beberapa bulan absen dari kampus, aku melangkahkan kaki ke ruang dosen pembimbingku dengan hati yang berdebar.
"Nafisa, ke mana saja selama ini?" tanyanya, sorot matanya tajam, namun suaranya menyiratkan perhatian yang menusuk. Aku hanya diam. Di balik senyum tipisku, ada luka yang tak terkatakan.
"Maaf bu, bisa bantu saya memulai semua kembali, Bu," ujarku akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun, keputusan beliau tegas: judul skripsiku tetap, tapi alurnya harus dirancang ulang. Hatiku jatuh. Semua yang ku perbaiki sebelumnya terasa sia-sia. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus melanjutkan dan terus memupuk semangatku yang telah mulai layu. Aku tak mau gagal kedua kali, dan aku tak mau berakhir sampai disini..
Hari-hari berlalu dengan perjuangan tanpa henti. Malam-malam panjang aku habiskan di depan skripsi dan buku-buku, memaksa otakku untuk menemukan kalimat yang tepat. Kadang, aku menangis sendirian di asrama, merindukan rumah, merindukan Ibu yang selalu menjadi tempatku bersandar.
Tiga bulan kemudian, aku berdiri di ruang sidang. Komprehensif dan munakhasah menjadi medan perang terakhirku. Aku dipenuhi pertanyaan yang mengguncang keyakinanku. Beberapa kali dosen mengulang pertanyaannya, seolah aku belum memberikan jawaban yang cukup. Tapi, dengan setiap serangan, aku mencoba bertahan. Ketika akhirnya sidang berakhir, aku tidak mampu menahan tangis. Tubuhku lemas, tapi hatiku penuh syukur.
Sebulan kemudian, hari wisuda tiba. Teman-temanku bersorak bahagia, sibuk mempersiapkan toga dan sesi foto keluarga. Aku? Aku hanya diam, menatap gaun wisudaku yang sederhana. Sebagai penghuni asrama, aku tak punya siapa-siapa untuk berbagi kegembiraan. karena aku harus ketempat tatarias dari pagi buta membuat aku tak bisa berangkat bersama ibuku. Tapi, di hati kecilku, aku terus berharap Ibu akan datang.
Saat namaku dipanggil, aku melangkah dengan senyum yang kugoreskan paksa. Di atas panggung, mataku terus mencari. Tapi hingga kembali ke kursiku, sosok yang kurindukan tak kunjung muncul. Rasa kecewa menyelimuti hatiku, seolah ada lubang besar yang tak bisa kututupi.
Lalu tiba-tiba, sebuah tangan lembut merangkul bahuku. Aku menoleh, dan di sana, berdiri Ibu ku. Wajahnya lelah, peluh membasahi dahinya, tapi senyumnya begitu tulus.
"Ibu," hanya itu yang keluar dari bibirku sebelum tangis membanjiri wajahku. Kurangkul badannya dan kupeluk sambil meneteskan air mata, segala duka ku tahan sebagai tanda syukurku atas kerja keras, suka duka yang dihadapi selama ini.
Sepanjang perjalanan pulang, Ibu bercerita bagaimana ia berjuang untuk hadir. Dari angkot yang terlambat hingga berjalan kaki di bawah terik matahari, ia tak pernah menyerah. Aku memandangi wajahnya yang lelah, tetapi penuh kasih, dan menyadari bahwa cinta seorang Ibu adalah kekuatan terbesar yang kumiliki.
Kembali ke Pesantren dengan Mimpi Baru
Setelah wisuda, aku kembali ke pesantren, tempat aku mengajar santri-santri kecil yang penuh semangat. Setiap kali berdiri di depan mereka, aku teringat perjuanganku sendiri. Aku ingin mereka tahu bahwa mimpi tidak pernah mudah diraih, tapi setiap langkah kecil selalu mendekatkan kita pada takdir yang indah.Â
Kini, di sela kesibukan mengajar, aku sering merenung. Apa yang kulalui adalah perjalanan penuh pelajaran. Hidup tak selalu berjalan sesuai rencana, tapi Allah selalu punya cara untuk menguatkan hati hamba-Nya. Meski tak mudah, aku bersyukur, aku bertahan. Dan hari ini, aku tahu bahwa keberhasilanku adalah hadiah dari Allah yang dikirim melalui pelukan hangat Ibu. Dan aku selalu meyakinkan murid-muridku untuk menggapai cita-cita yang di impikan.