part 5
Judul: Jejak Nafisa Menuju Asa
Tiga tahun berlalu di pesantren seperti hembusan angin. Tanpa terasa, hari-hari yang penuh dengan hafalan, kajian, dan pengabdian telah mendewasakan diriku. Aku yang dulu hanyalah seorang anak desa pemalu, kini mulai memahami bahwa hidup adalah tentang terus melangkah meski jalan di depan gelap dan penuh duri.
Hari kelulusan di pesantren tiba, diiringi rasa bangga bercampur pilu. Ujian pondok sudah kutuntaskan, seminar munakasyah proposal telah kulalui dengan gemilang, bahkan praktek mengajar yang dulu terasa menantang kini menjadi kenangan manis. Tapi, di tengah pengumuman libur kelulusan itu, pikiranku kembali dihantam kenyataan, apa yang akan kulakukan setelah ini?
Dua hari berturut-turut, aku mengikuti ibu bekerja di sawah. Terik matahari membakar kulit kami, sementara tangan ini menggenggam cangkul, menggali tanah yang sama setiap harinya. Tapi pikiranku terus melayang ke tempat lain. Aku memikirkan cara, memutar akal, mencari jalan untuk melanjutkan kuliah. Bagaimana mungkin aku berhenti di sini? Bukankah perjuanganku selama ini untuk masa depan yang lebih baik?
Namun, hari-hari berlalu tanpa tanda-tanda perubahan. Ibuku tidak pernah membicarakan soal kuliah, mungkin karena ia tahu biaya masuknya terlalu berat. Sementara aku, diam-diam menanggung gemuruh keinginan yang mendesak di dadaku. Setiap kali tanganku mengayunkan cangkul, pikiranku terus bertanya: "Bagaimana caranya, ya Allah? Apakah ini ujung jalan bagi Nafisa?"
Sampai siang itu, ibu menyuruhku pulang lebih dulu. Laras, adikku yang masih kecil, tampak kelelahan di bawah terik matahari. Ibu memintaku untuk memasak nasi dan membereskan rumah sambil membawa Laras pulang. Aku menuruti permintaannya, tapi di dalam hati, aku tahu ini adalah kesempatan.
Di rumah, setelah menyelesaikan pekerjaan, aku segera pergi ke TPQ setempat. Dengan hati penuh harap, aku menawarkan diri untuk menjadi guru mengaji. Aku tahu ilmu yang kudapat di pesantren adalah modal yang berharga, dan aku yakin aku bisa membaginya dengan anak-anak di desa ini.
Pihak TPQ menyambutku dengan senyum dan kebahagiaan. Mereka memang sedang membutuhkan tambahan tenaga pengajar. Tapi, aku tahu aku harus berani melangkah lebih jauh. Dengan suara bergetar, aku meminta izin untuk mengambil gaji di muka. Aku menjelaskan niatku---bukan untuk membeli pakaian baru, bukan untuk keperluan pribadi, tapi untuk membayar uang masuk perguruan tinggi.
Allah Maha Baik. Permintaanku dikabulkan. Dengan gaji itu, aku akhirnya bisa mendaftar ke universitas. Malam harinya, aku menceritakan semuanya kepada ibuku. Air mata mengalir di pipinya, tapi senyumnya penuh kelegaan. Ia memelukku erat dan berkata, "Nafisa, Ibu bangga padamu. Jalanilah perjalanan ini, Nak, meski Ibu tak bisa memberi banyak. Doa Ibu selalu bersamamu."
Hari pertama kuliah tiba. Tidak ada pakaian baru seperti mahasiswa lainnya. Aku mengenakan pakaian apa adanya, tapi bagiku semuanya terasa baru. Hati ini dipenuhi bahagia, harapan, dan syukur yang tak terhingga. Saat dosen memperkenalkan kami sebagai mahasiswa baru, aku tersenyum sendiri, mengingat semua perjuangan yang telah kulalui untuk sampai ke sini.