Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Diantara asap dan api: hikmah kebakaran newyork dan jakarta

21 Januari 2025   22:56 Diperbarui: 21 Januari 2025   22:56 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diantara asap dan api: hikmah kebakaran newyork dan jakarta (sumber: doc pribadi)

Musibah kebakaran di New York dan Jakarta membawa kita pada renungan penting: hidup ini penuh ujian. Di New York, sebuah gedung apartemen hangus terbakar di daerah Queens, melukai beberapa orang dan membuat menyebabkan banyak keluarga kehilangan tempat tinggal. Di Jakarta, kebakaran besar terjadi di wilayah Kemayoran, melalap permukiman padat penduduk. Kedua tragedi ini, meski terjadi di ujung dunia yang berbeda, menyampaikan pelajaran yang sama: musibah tak mengenal batas, melintasi negeri, suku, dan bangsa.

Kebakaran bukan sekadar peristiwa fisik yang merusak bangunan; ia adalah ujian spiritual yang menyentuh setiap jiwa yang menyaksikannya. Ini bukan soal mencari dosa atau balasan, tetapi menyadari bahwa setiap musibah mengandung hikmah yang menuntut kita untuk berpikir dan bersikap dengan hati yang bening, tanpa menghakimi kaum tertentu atas kejadian tersebut. Tindakan menghukumi bencana sebagai azab adalah hak mutlak Allah yang melampaui pengetahuan manusia.

Di Bronx, api berkobar di tengah malam, didorong oleh angin yang mempercepat penyebarannya. Para penghuni apartemen harus berjuang melawan waktu dan kepanikan. Sementara itu, di Jatinegara, kebakaran disebabkan oleh korsleting listrik yang membakar permukiman yang rapat, membuat evakuasi sulit dilakukan. Dari kedua tragedi ini, muncul pengingat bahwa banyak hal yang masih perlu diperbaiki: kebijakan pencegahan, pemeliharaan fasilitas umum, dan kesadaran kolektif tentang pentingnya keselamatan.

Namun, lebih dari sekadar teknis penanganan kebakaran, pertanyaannya tetap: bagaimana seharusnya kita, sebagai manusia yang lemah di hadapan kuasa Allah, bersikap ketika musibah datang? Rasulullah mengajarkan kita untuk menghadapi cobaan dengan ucapan, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un---"Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali." Kalimat ini adalah perisai pertama dari keputusasaan, pengakuan bahwa dunia hanyalah titipan sementara, dan setiap kehilangan adalah bagian dari takdir yang harus diterima.

Sabar adalah kekuatan terbesar yang bisa dimiliki manusia saat dihadapkan pada musibah. Bukan sabar yang sekadar menahan diri dari keluh kesah, tetapi sabar yang membawa jiwa menuju pemahaman lebih dalam bahwa setiap peristiwa memiliki maksud ilahi. Api yang melahap rumah-rumah di Bronx dan Jakarta adalah pengingat bahwa harta benda hanyalah titipan yang bisa lenyap seketika. Sebagaimana Allah memberi, Dia pula yang berhak mengambilnya kapan saja, sesuai kehendak-Nya.

Namun, sikap yang benar tidak berakhir dengan sabar. Musibah adalah panggilan untuk bertindak. Setelah api padam dan asap reda, tanggung jawab kita adalah membangun kembali dengan lebih baik. Di New York, tragedi kebakaran mengingatkan pentingnya perawatan fasilitas umum dan regulasi keselamatan yang lebih ketat. Di Jakarta, kebutuhan akan perumahan yang lebih layak dan penegakan aturan pencegahan kebakaran adalah hal yang tak bisa ditunda lagi. Jangan biarkan musibah berlalu tanpa meninggalkan perubahan yang berarti.

Selain pelajaran fisik dan sosial, musibah mengandung hikmah spiritual yang lebih dalam. Kebakaran adalah simbol kehancuran yang tak terduga---seperti lidah api yang membakar, ia memurnikan, membakar ego, dan menghidupkan kesadaran. Dalam Al-Qur'an, Allah sering menggunakan api sebagai perumpamaan untuk ujian dan penyucian jiwa. Ini adalah saat untuk bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita hidup dengan penuh kesadaran? Sudahkah kita siap menghadapi akhirat, di mana setiap amal akan dipertanggungjawabkan?

Kebakaran di Jakarta dan New York mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas. Ketika tetangga kehilangan rumah, saat keluarga terpisah karena tragedi, apa yang dapat kita lakukan untuk meringankan beban mereka? Rasulullah pernah bersabda, "Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal kasih sayang dan cinta adalah seperti satu tubuh; jika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh merasakan sakitnya." Inilah saat untuk membuktikan bahwa kita peduli. Bantuan material memang penting, tetapi kehadiran, doa, dan dukungan emosional juga memiliki kekuatan yang besar.

Musibah juga merupakan ujian untuk seluruh komunitas, bahkan bangsa. Akankah kita membiarkan tragedi seperti ini terus berulang? Atau, bisakah kita belajar dan mencegah lebih banyak nyawa melayang di masa depan? Di balik setiap tragedi, ada ruang untuk perubahan. Pemerintah, pemimpin masyarakat, hingga setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki sistem yang rusak dan membangun masa depan yang lebih aman.

Pada akhirnya, setiap musibah menyimpan rahasia hikmah bagi mereka yang mau merenungkannya. Kebakaran mungkin menghancurkan rumah, tetapi ia dapat menyalakan kembali api semangat untuk hidup lebih bijaksana. Mari kita petik pelajaran dari setiap musibah, bersabar, bersyukur, dan terus berbuat baik. Sebab, ujian adalah jalan menuju kedewasaan jiwa, dan setiap api yang membakar membawa cahaya bagi hati yang mau memetik hikmahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun