Sejarah adalah pengulangan yang tak pernah berhenti. Kembalinya Ujian Nasional adalah cerminan sistem yang memilih angka di atas manusia.
Pendidikan di negeri ini adalah kisah panjang tentang ketimpangan. Dari zaman kolonial, ketika hanya anak bangsawan yang berhak bersekolah, hingga era modern yang menjanjikan pendidikan untuk semua. Namun, janji itu sering terasa kosong, terutama bagi mereka yang tinggal di pelosok.
Kembalinya Ujian Nasional membawa memori masa lalu, ketika anak-anak harus berjuang keras demi angka-angka di atas kertas. Di kota besar, sekolah-sekolah menawarkan bimbingan belajar tambahan. Sementara di desa, seorang guru harus menangani tiga kelas sekaligus, dengan fasilitas yang serba terbatas.
Apakah Ujian Nasional benar-benar menggambarkan kemampuan anak-anak ini? Atau justru memperlebar jurang ketidakadilan? Anak-anak di pelosok, yang berjalan berjam-jam untuk sampai ke sekolah, tidak punya waktu untuk mempelajari semua materi. Bagi mereka, ujian bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal bertahan hidup.
Kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh sistem ini? Pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan, bukan penghalang yang hanya bisa dilewati oleh mereka yang punya privilese.
Kembalinya UN adalah kesempatan untuk refleksi. Jika pendidikan hanya soal angka, kita kehilangan esensi sebenarnya: membangun manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H