Adzan maghrib berkumandang, pertanda pergantian hari.
Aku menyelesaikan mandiku dengan cepat.
Kutengok ke ruang depan, kakakku yang sedang sakit duduk termenung di kursi melihat ke arah luar.
Ya, aku Lilin, bungsu dari banyak bersaudara.
Orang tuaku punya banyak anak.
Rupanya tidak ada KB dalam rumus mereka.
Menurut ibu, banyak anak banyak rejeki, dan kami tidak pernah memprotesnya.
Tapi nyatanya kemiskinan membuat kami kurang gizi. Itu terjadi setelah ayahku pergi entah kemana.Â
Saudara-saudaraku kebanyakan meninggal waktu mereka masih kecil, namun ada juga kakaku  yang meninggal diusia remaja karena sakit.
Sekarang kami tinggal tiga bersaudara.
Bang Igor, Kak Uci dan aku.
Ibuku, Â wanita cantik sangat menyayangi anak-anaknya.
Ketika kami masih kecil, beliau selalu ada buat kami.
Naluri keibuan kuat sekali melekat pada dirinya, tidak seperti aku yang terkesan tomboi.Â
Tapi itu semua berubah sepeninggal ayah.
Ibu masih menyayangi kami, hanya saja dia jarang di rumah.
Kata orang-orang, ibuku suka keluyuran tak jelas.
Hanya di penghujung senja ibu selalu pulang membawakan makanan buat kami.
Setelah itu, ibu pergi ke luar rumah lagi.
Aku masih terlalu kecil untuk bisa memahami ini semua.
Senja ini aku dan Kak Uci menanti kedatangan ibu.
Kakakku suka sekali duduk di teras, menunggu kepulangan ibu, katanya.