Teoretikus pendidikan dari Amerika, David Kolb (lahir 1939), mengemukakan teorinya terkait experiential learning yang terinspirasi dari beberapa ahli pendidikan sebelumnya seperti John Dewey, Jean Piaget dan Kurt Lewin. Teori yang dikembangkan oleh Kolb dinamakan "Experiential Learning Theory (ELT)" yang menekankan pada sebuah model belajar secara utuh atau holistik dalam proses belajar. Kutipan dari Kolb terkait ELT yaitu "Experiential learning theory defines learning as the process whereby knowledge is created through the transformation of experience. Knowledge results from the combination of grasping and transforming experience".  ELT ini memiliki siklus yang terdiri dari empat elemen yaitu (1) concrete experience, (2) reflective observation, (3) abstract conceptualization dan (4) active experimentation.
Dalam tahap (1) concrete experience, siswa belajar melalui perasaan dengan menekankan segi pengalaman konkrit, dan mementingkan relasi dengan sesama serta kepekaan terhadap orang lain. Di tahap (2) reflective observation, siswa belajar melalui pengamatan, menyimak suatu perkara, dan menyimak makna dari yang diamati. Pada tahap (3) abstract conceptualization, siswa belajar melalui proses berpikir dan fokus kepada analisa logis dari pemahaman dan situasi yang dihadapi. Terakhir, di tahap (4) active experimentation, siswa belajar melalui tindakan dari tugas yang dilaksanakan.
Selain itu, juga ada empat gaya belajar yang ditulis oleh Kolb yaitu (1) diverger: kombinasi dari perasaan dan pengamatan, (2) assimilator: kombinasi dari berpikir dan mengamati, (3) converger: kombinasi dari berpikir dan berbuat, dan (4) accommodator: kombinasi dari perasaan dan tindakan. Keempat gaya belajar ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Beberapa kelebihan dari teori belajar ELT ini yaitu mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa, meningkatkan kemampuan berkomunikasi, problem solving dan dalam mengambil keputusan, meningkatkan tanggung jawab dan memberikan kemampuan kepada siswa untuk menghadapi situasi yang buruk. Namun terdapat juga kekurangan teori ELT ini, di antaranya yaitu siswa yang belajar tidak semua memiliki percaya diri yang cukup untuk mencoba pengalaman yang disuguhkan oleh guru. Selain itu, juga membutuhkan banyak persiapan dan peralatan, dan membutuhkan waktu dan lebih panjang.
Dalam memahami teori ini, saya berpendapat bahwa dengan berbagai gaya belajar seperti di atas, artinya tugas kita sebagai guru pertama-tama adalah mengenali cara belajar siswa yang kita ampu. Dengan memahami gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, akan lebih mudah bagi kita untuk mengarahkan mereka. Dan tentunya gaya belajar masing-masing siswa berbeda dan tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti satu gaya belajar tertentu.
Dari keempat siklus yang ditulis oleh Kolb, saya berkesimpulan bahwa ternyata memang siswa akan belajar secara efektif apabila setidaknya pernah melihat contoh, dan kemudian berusaha meniru apa yang terjadi yang dilihat pada saat tahap satu (concrete experience). Jika siswa belum mengalami secara langsung apa yang diajarkan oleh guru, maka akan sulit untuk siswa maju ke tahap 2, 3 dan 4 dimana siswa harus melakukannya sendiri. Contoh yang paling dekat dengan konteks kelas saya, yaitu dalam mempelajari suatu bahan musik yang baru, tahap paling awal adalah siswa diperdengarkan contoh musiknya, baik secara langsung oleh guru maupun melalui media video. Setelah mengetahui contoh yang akan dimainkan, barulah siswa berpindah ke tahap selanjutnya yaitu berlatih dengan memahami apa tuntutan yang diminta dalam musik tersebut. Setelah memahami dan merefleksikannya, kemudian siswa baru akan bisa mempraktekkan atau menampilkan sendiri apa yang telah dipelajarinya. Dalam kelas musik, active experimentation bisa berupa konser, rekaman, maupun mengikuti kompetisi musik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H