Kehadiran media sosial mendorong kreativitas dan menghadirkan profesi baru sebagai content creator. Hal tersebut juga mendorong banyaknya konten yang bermunculan di media sosial. Akan tetapi tidak semua konten yang tersaji pada media sosial bersifat positif salah satunya konten yang mengarah pada eksploitasi kemiskinan atau poverty porn.
Matt Collin (2009) mengungkapkan poverty porn merujuk pada segala jenis media, baik ditulis, difoto, atau difilmkan yang mengeksploitasi kondisi masyarakat miskin dengan tujuan membangkitkan simpati dan meningkatkan sumbangan atau dukungan untuk tujuan tertentu. Menurut Roenigk (2014), poverty porn dalam screen industry mengarah pada jenis media yang mengeksploitasi kemiskinan sebagai hiburan bagi penonton. Contoh dari konten semacam ini adalah konten berbagi uang yang banyak ditemukan di YouTube dan siaran langsung mandi lumpur dan guyur air yang sempat ramai di TikTok. Fokus konten-konten tersebut adalah menunjukkan kemiskinan dengan tujuan mengumpulkan simpati dan menaikkan rating.
Poverty porn memiliki semacam area abu-abu dalam pandangan masyarakat dimana ada pihak yang menganggap bahwa konten semacam ini diperlukan guna meningkatkan kesadaran tentang isu kemiskinan, namun sebagian yang lain berpendapat konten tersebut hanya sebagai bentuk eksploitasi terhadap orang tidak mampu. Hal tersebut mendorong empat mahasiswa IPB University, Eka Wulandari, Ratna Nurlita, Ressy Tri Wulandari, dan Ardina Rahmi Yanti didampingi oleh Ibu Hardiana Widyastuti, S.Hut., M.M melalui kegiatan Pekan Kreavitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) meneliti terkait Pengaruh Konten Eksploitasi Kemiskinan terhadap Penyelesaian Permasalahan Masyarakat Kurang Mampu di Indonesia.
Berdasarkan hasil survei tim terhadap 394 responden pengguna media sosial di Jabodetabek terdapat persepsi negatif masyarakat terhadap poverty porn. Konten ini dianggap tidak baik dan tidak bermanfaat. Hasil survei ketertarikan masyarakat terhadap konten berbau poverty porn juga rendah dengan anggapan konten tersebut tidak mengatasi permasalahan kemiskinan seseorang justru hanya memberikan keuntungan satu pihak bagi pembuat konten. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat persepsi dan ketertarikan masyarakat terhadap konten poverty porn maka semakin besar anggapan masyarakat untuk menghapuskan konten tersebut.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga telah menanggapi kemunculan konten yang mengarah pada poverty porn dengan menangguhkan 58 konten mandi lumpur dan guyur air pada media sosial. Penangguhan ini dilakukan guna mencegah adanya tindakan eksploitatif terhadap masyarakat dalam kelompok rentan. Di sisi lain, terkait konten berbagi uang bisa saja diteruskan dengan berbagai pertimbangan, di antaranya dengan tidak melanggar privasi mereka. Hal ini dikarenakan berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan “korban” konten video berbagi uang tidak ada izin dalam pengambilan gambar mereka.
Masifnya konten yang beredar di tengah masyarakat sebagai penonton harus dibarengi dengan pengendalian yang baik pula dari masyarakat. Guna mencegah munculnya konten poverty porn dan konten negatif lain, masyarakat selaku agen kontrol sosial berperan penting dalam mengendalikan konten di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H