Tak seorang anak pun di dunia ini yang minta dilahirkan. Dan tak seorang pun anak di dunia ini ingin dilahirkan tak sempurna. Tetapi manakala ketentuan-NYA sudah terjadi, apakah manusia pantas menyesali dan menyalahkan nasib ? Ketidaksempurnaan itu kulihat langsung di depan mataku saat aku menjadi juri dalam lomba sains, tepatnya pada Olimpiade Sains Nasional Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus SMA. Ini adalah kali pertama aku mendapat tugas sebagai juri untuk bidang karya ilmiah. Sejak awal persiapan, kami tim juri (3 orang) sepakat bersama panitia bahwa yang diharapkan menjadi peserta lomba karya ilmiah adalah siswa tuna daksa ringan, yang bisa saja berasal dari sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah regular (biasa) yang menerima ABK (anak berkebutuhan khusus) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. Menurut salah satu bacaan yang kukutip, ada 20 kriteria anak yang tergolong berkebutuhan khusus (ABK) di antaranya yaitu tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tuna daksa, tuna laras (anak dengan gangguan emosi, sosial dan perilaku), tuna ganda, lamban belajar, autis, dan termasuk pula anak dengan potensi kecerdasan luar biasa (genius). Dalam penjurian, selain menilai tulisan, kami juga menilai presentasi, dan menerapkan kriteria seperti kemampuan menyampaikan ide, penggunaan bahasa, dan kemampuan menjawab pertanyaan. Sepintas terlihat simple bagi orang biasa. Tapi bagi siswa ABK, semua itu adalah PERJUANGAN. Betapa tidak ? Bahkan untuk sekadar memencet keyboard “ENTER” di laptop untuk mengganti slide saat presentasi, mereka berjuang…apalagi untuk berbicara. Dari 23 peserta yang berasal dari 23 propinsi yang mengirim wakilnya, ada empat siswa yang termasuk ke dalam penyandang tuna daksa berat. Setelah browsing beberapa bacaan, baru kutahu mereka mengalami kelainan pada sistem cerebral (Cerebral System Disorder) yang dikenal dengan Cerebral Palsy (CP). Penggolongan cerebral palsy menurut derajat kecacatan meliputi golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri. Golongan sedang ialah mereka yang membutuhkan treatment atau latihan untuk bicara, berjalan dan mengurus dirinya sendiri. Golongan berat, selalu membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara dan menolong diri sendiri. [caption id="attachment_282667" align="aligncenter" width="480" caption="Saat penjurian"][/caption] Hanya rasa senang, puas dan kagum yang muncul pada diri kami saat menyimak presentasi peserta nomor urut 1 hingga 4 yang tampil di hadapan kami. Malah ada seorang peserta dari daerah Jawa Tengah yang sangat pintar berbicara sempat membuat kami tertawa geli melihat keluguan dan aksen medoknya menjelaskan inovasinya membuat teh dari daun kenikir. Meski harus beraktivitas di atas kursi roda, siswa ini tetap ceria dan berapi-api saat presentasi. Sampai akhirnya masuk ke ruang penjurian seorang siswa tuna daksa berat yang didampingi seorang guru pendamping, berbeda dengan peserta tuna daksa ringan yang tak dapat berjalan tetapi fungsi bicara dan motorik halusnya tidak bermasalah, saat penjurian tidak boleh didampingi. Sebelum mulai, baik kami maupun panitia sudah menawarkan kepada guru pendamping untuk bantuan “asrot” (istilah mahasiswaku untuk asisten sorot...yang membantu mengganti tampilan slide power point). Ternyata siswa tersebut memilih mengoperasikannya sendiri…tentunya dengan susah payah memposisikan telunjuk pada tombol karena gangguan motorik halus yang disandangnya. Dua menit pertama sejak dipersilakan mulai, ruangan hening…pandangan kami semua tertuju padanya…lalu berganti ke arah layar, membaca slide…karena apa yang diucapkan sang siswa dengan susah payah sangat sulit kami pahami. Aku pribadi akhirnya lebih sering memandang ke layar karena tak sanggup melihatnya. Pak Djun di sebelahku hanya menunduk. Kutahu dia menangis, pasti sama tidak tahannya dengan aku. Subhaanallah….hari itu aku seakan “dijewer”….mengingat betapa seringnya aku mengeluh untuk sebuah pekerjaan atau suatu kondisi yang sesungguhnya masih dapat kuhadapi. Teringat pula kedua anakku, yang juga mudah sekali mengeluh atau kurang mandiri dalam kegiatan sehari-hari. Teringat juga dengan mahasiswaku yang sering mengeluh dengan banyaknya tugas. Semua tugas, pekerjaan dan kondisi itu tak ada apa-apanya dibanding dengan perjuangan …sebut saja Iqbal saat harus berbicara,menggerakkan mulut, tangan dan mengendalikan tremornya. Aku kagum sekaligus trenyuh melihat tekad dan perjuangannya. Selain Iqbal masih ada tiga anak lagi dengan kondisi CP berat. Kekaguman lainnya adalah pada guru pendamping mereka. Konsepnya: satu siswa- satu guru. Selama tiga hari berbaur dengan mereka, kumelihat para guru itu dengan penuh kasih sayang dan kesabaran luar biasa melayani siswanya makan, melakukan terapi dengan menggerak-gerakkan tangan, membantu berdiri. Aku merinding….Ya Allah para guru itu pasti punya kesabaran sebesar gunung dan hati seluas lapangan bola….karena tak kulihat wajah yang kesal…hanya senyum, gembira dan sedikit lelah… Melihat itu semua…pantaskah aku mengeluh ? Rasanya malu pada anak-anak itu…malu pada kolegaku itu…sesama guru….dan terutama…malu kepada Allah…. Astaghfirullah…ampuni hambaMU ini yang terlalu banyak mengeluh….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H