Potret Kecil Sukses Buya Syafii Maarif
”Ya. Aku Ahmad Syafii Maarif si anak kampoeng, berasal dari Desa Calau, 2 kilometer dari Nagari Sumpur Kudus, Bukit barisan, 150 km dari Kota Padang”. Sekilas perkenalan diucapkan Pi’i, panggilan akrab Syafii, yang merantau ke tanah Jawa untuk menimbah ilmu.
Menjadi anak kampung bukan hal yang memalukan, justru sebaliknya, Pi’ibangga ketika teman-teman barunya dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogykarta, menyapanya.
Ini adalah buku seri pertama dari trilogi petualangan anak kampung dalam menggapai mimpi, kisah inspiratif yang diambil dari masa kecil seorang tokoh Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.
Perjalanan ke tanah Jawa untuk meneruskan ilmu bersekolah di sekolah yang diinginkan Pi’i yang beranjak dewasa menuntut ilmu, melanjutkan sekolah, mendalami ajaran agama Islam, bukannya tanpa hambatan. Panjang cerita anak kampung yang berhasil mencetak sejarah menjadi seorang pemikir besar Indonesia saat ini, penuh dengan liku dan tantangan. Ibarat pepatah, ”Banyak jalan menuju Roma, selalu ada jalan dimana kalau kita punya kemauan”.
24 Mei 1935, Seorang bayi laki-laki telah lahir di kampung Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Adalah Ma’rifah Rauf, sang ayah yang juga seorang Datuk Rajo Malayu, kepala Nagari Sumpur Kudus yang gagah nan bijaksana dihormati warga. Fathiyah, sang bundo yang berwatakan tegas dan berkarakter kuat, dua tahun setelah melahirkan putra ke empatnya, Syafii, yang kerap akrab dipangil Pi’i meninggal dunia. Ma’rifah pun bagai kehilangan separuh kebahagiaan hidupnya, delapan belas tahun sudah kebersaman itu pun harus terpisah oleh takdirIllahi. Ma’rifah pun mengikhlasakan kepergian istri tercinta dan mengambil keputusan untuk menitipkan asuhan Pi’i yang masih bayi oleh Bainah, adik Ma’rifah.
Dalam asuhan Etek (bibi) Bainah, Pi’i pun tumbuh dengan cukup kasih sayang dalam kesederhanaan hidup. Rumah panggung yang dibangun sendiri, dari kayu dan seng sebagai atapnya, belum ada listrik masuk desa kala itu, lampu minyak adalah penerangan satu-satunya dikala malam tiba. Kegiatan warga keseharian adalah bertani, menyabung ayam, berkumpul bersama keluarga atau bermain dengan tetangga.
Etek Bainah, telah berumah tangga dan sempat kehilangan bayi kecilnya saat Pi’i dalam asuhannya. Namun tak lama kemudian mereka mendapatkan anugrah dari Tuhan, Saiful anak Etek bainah pun sudah seperti adik bagi Pi’i. Mereka bermain bersama, dikala Etek Baina sibuk di dapur.
Pi’i kecil pun menikmati keceriaan anak kampung Desa Calau, bersama teman-teman nya, Julai, Makdiah, Hasan, dan Zainal. Mereka pun sangat akrab berteman, bersahabat, dan bersaudara. Sekolah Rakjat Sumpur Kudus, menjadi saksi berbagai cerita kebersaam Pi’i dan teman-temannya, sekaligus saksi kepintaran Pi’i yang sudah mulai terlihat berbeda dari teman-teman sebayanya.
Pak Rahman, sang guru sekolah Rakjat itu mengendus hastrat kuat Syafii untuk menyerap ilmu pengetahuan.Disaat hari pertama sekolah pun, hanya Pi’i lah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit Rahman. Hobi membaca setiap malam itulah yang membuat Pi’i banyak tahu segala hal. Akhirnya Rahman dan Kepala Sekolah Rakjat sepakat untuk mengijinkan Pi’i lompat kelas dengan mempertimbangakan nilai-nilai Syafii Maarif yang bagus. Ma’rifah turut berbangga melihat anaknya Pi’i tumbuh berkembang dengan cepat dan kepintarannya lompat kelas, memberikan arti sendiri bagi dirinya yang sangat mencintai Pi’i.
Adalah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, tempat pembelajaran Syafii berikutnya. Tempat dimana Buya Syafii kecil belajar banyak berbagai hal tentang pendalaman agama Islam, dasar-dasar ilmu kehidupan yang berorientasi pada satu pegangan hidup yaitu kitab suci Al-Qur’an.
Sempat jeda berhenti sekolah selama tiga tahun, tak membuat Syafii patah arang untuk belajar dan sekolah lagi. Setelah perang revolusi (1947-1950) Syafii kembali melanjutkan sekolahnya. Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, terletak di Balai Tengah, Lintau, tempat yang disebut kota itu menjadi pilihan Syafii.
Si anak kampoeng yang hanya berbekal nilai rapor bagus semasa di Madrasah Ibtidaiyah itu sedih dan tidak menyangka saat dinyatakan tidak lulus atau harapan Pi’i untuk bisa melanjutkan belajar di tingkat selanjutnya itu pupus. Namun kesempatan kedua itu muncul,takdir bagus berpihak pada Pi’i, berkat rekomendasi dari guru Madrasah Ibtidaiyah , pihak sekolah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah sepakat menerimanya.
Kehidupan pembelajaran baru pun dimulai dari tempat itu, Pi’i tinggal di pondokan dan belajar lebih serius dan semakin bersungguh-sungguh. Dia hanya ingin membuat Ma’rifah, ayahnyabangga. Setiap hari, hidupnya padat dengan rutinitas ketat, Salat Subuh, megulang pelajaran,sarapan pagi, belajar di kelas sampai siang, istirahat,mengaji,belajar sore sampai malam,diselingi salat Magrib dan makan malam, berkumpul bersama sejenak, kemudian tidur pukul sembilan malam. Alhasil Pi’i pun menunjukkan prestasi yang membanggakan, ranking satu berhasil diraihnya hingga tahun di Madrasah Mu’allimin itu usai.
Hingga saat penting itu tiba, Syafii harus menentukan kemana ia melangkahkan kaki selanjutnya, menereruskan apa yang sudah menjadi tekadnya. Pi’i pun tak berharap banyak seusai lulus dari Mu’allimin. Dan Tuhan pun mendengarkan doa tulus hambanya. Siang itu, Onga (paman) Sanusi datang dari perantauan mengajak Syafii untuk belajar mendalami agama Islam melalui Muhammadiyah di tanah Jawa, Yogyakarta.
Ma’rifah tampak ragu namun tak bisa membendung hastrat anaknya yang ingin belajar, dan keikhlasan nya merestui Pi’i.
Petualangan baru belajar di tanah rantau Jawa, tak semulus dugaan Syafii yang sudah beranjak remaja, 18 tahun. Tak nyana akan mendapat penolakan di Madrasah Mu’allimin Jogya. Pi’i pun sempat berbelok jauh dari apa yang ditujunya. Tak berlangsung lama, Ia pun kembali berfokus belajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta, walau harus mengulang kembali ke kelas tiga. Ya. Perjuangan itu tidaklah sia-sia, setiap hari memeras otak, belajar dan berjuang untuk bertahan hidup jauh dari Ma’rifah dan sodara.
Hingga, tahun 1955, Syafii mendapat kabar yang mengguncang dan meremukkan hatinya. Ma’rifah, ayahnya, meninggal dunia. Tak banyak yang bisa dilakukan, tak ada uang untuk pulang kampung, satu-satunya adalah menerima semua itu dengan ikhlas dan kembali fokus berusaha untuk melanjutkan yang sudah dipilihnya, dan Syafii berada di pilihan yang tepat.
Titik perjalanan Ahmad Syafii Maarif dewasa dimulai, peluang masa depan Syafii terbuka, Mu’allimin Muhammadiyah menunjuknya menjadi guru di Lombok Timur, karena prestasinya. Dan sebuah tantangan baru pun bersambung.
Novel inspiratif Si Anak Kampoeng yang ditulis oleh Damien Dematra, ini sangat menarik, bahasa yang disajikan cukup ringan dan alur cerita bergejolak membuat penasaran para pembaca. Buku ini cocok dibaca oleh semua lapisan umur, terutama anak kecil. Sebuah kupasan cerita sederhana perjalanan hidup seorang pemikir yang mempersembahkan hidupnya untuk menjadi milik bangsa Indonesia dan kemanusiaan melampaui batasan kelompok dan agama, Buya Syarif Maarif. Pesan moral dan motivasi pun tersampaikan dengan jelas akan pentingnya aspek pendidikan yang bisa mengubah nasib buruk siapa pun menjadi nasib baik. Sayangnya, cerita dalam novel yang akan difilm kan ini hanya masih menceritakan masa kecil dan separuh perjalanan Buya dalam menggapai mimpi. Pembaca masih harus bersabar untuk kisah selanjutnya.
-------------------------------------------------------------------- : ) ------------------------------------------------------------------
Judul:Si Anak Kampoeng/Kategori : Non Fiksi/Penulis: Damien Dematra/Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama/Tebal:248 halaman/Cetakan:Februari 2010/Harga : Rp 45.000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H