Dear Kiev...
Mengenalmu adalah awal yang membahagiakan buatku, seperti awal kala lidahku pertama kali mengecap nikmatnya rasa madu.
Sosok aroganmu yang begitu khas pada mulanya sangat ku benci, namun entah mengapa kita berdua jatuh hati. Winter adalah musim penuh pesona buat kita berdua, ya... karena winter kau kenalkan aku apa itu arti cinta sesungguhnya.
Kiev, masih sering ku dengarkan winter sonata yang kerap kau mainkan untukku... dan kini akupun telah menguasainya, kerap ku dentingkan alunan winter sonata di atas tuts-tust piano tua mu itu... itu salah satu benda yang kau tinggalkan untukku, begitu melody yang terangkai menyiratkan kesedihan dan kebahagiaan... Kiev ku harap kau bisa mendengar setiap melodi yang ku mainkan.
Dear Kiev...
Pagi ini masih seperti biasa di ujung autumn aku berdiri dibibir danau tempat kita pertama kali berjumpa. Masih ingatkah Kiev, saat kau iseng melempar kerikil kecil hingga mengenai kepalaku... senyum jahilmu membuatku gondok kala itu... namun itulah kau Kiev tak pernah bisa aku membencimu.
Kau tawarkan persahabatan kepadaku, awalnya aku malas menerimamu namun gigihnya keinginanmu mampu meluluhkan semua kekerasan hatiku.
Kiev, angsa yang kerap berenang ditepian danau itu kini telah tiada... entahlah angsa itu telah mati termakan usia atau di bunuh pemburu...
Padahal tanpa angsa itu danau ini tak lagi terlihat ada kehidupannya... ya seperti diriku hampa tanpa jejak keberadaanmu...
Kiev, kemana lagi kucari udara untuk mengisi rongga-rongga hidupku... kau bagi either yang melingkupi seluruh kehidupanku... aku buta dan hilang tanpa sisa jejakmu...
Kiev, mengapa tidak kau sisakan jejak cinta untuk diriku biar aku dapat menemuimu... salahkah aku Kiev jika aku mengatakan kau kejam kepadaku??? kau pergi menghilang bagai asap putih tanpa sedikitpun aku mampu mengikutimu....