Kota Xiamen, terletak di sebelah tenggara negeri Cina yang luas dan merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di Laut Cina Selatan. Kota yang merupakan kota terbesar dan juga ibukota propinsi Fujian ini dulunya terkenal dengan nama kota Amoy.
Menurut cerita, Nama “Amoy” merupakan versi salah kaprah bangsa barat yang ketika bertanya pada orang lokal nama kota ini dijawab dengan bahasa lokal yaitu “Ah Men”, namun karena susah diganti dengan “Amoy” saja. Namun siapa sangkah kota ini merupakan salah satu kota yang paling ramah untuk pejalan kaki di negri Cina.
Sepanjang tepi pantai kota Xia Men yang berhadapan langsung dengan Gulangyu atau Pulau Gulang, merupakan tempat berjalan kaki yang sangat nyaman. Walaupun matahari bersinar terik di pertengahan bulan Oktober, namun pohon-pohon yang rindang membuat tempat duduk dari batu ramai oleh penduduk lokal dan turis domestik yang bersantai.
Dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi cakrawala kota Xiamen, disertai dengan hembusan angin laut yang semilir, dan juga beberapa kapal Ferry yang berlayar hilir mudik dari dan ke Pulang Gulang, suasana di tempat ini memang sangat menarik.
Banyak orang duduk-duduk di tepi pantai, dan tentu saja tidak ketinggalan pedagang keliling yang menjajakan bebuahan lokal yang ranum dan besar-besar ukurannya.Uniknya lagi, selain lelaki, banyak juga penjual buah wanita yang dengan perkasa mengangkat pikulan yang berisi rambutan, jambu, srikaya dan juga jeruk yang ranum.
Selain itu, tempat ini juga dihiasi dengan patung patung tembaga yang ikut menambah maraknya suasana.Sambil bersantai dan mengambil beberapa foto, tiba-tiba saja saya melihat seorang wanita berusia tigapuluhtahunan yangpenampilannya sederhana, khas petani Cina , namunmemakai jin berwarna biru, kaos merah, serta sandal jepit berwarna biru.
Rambutnya lurus dengan penampilan seadanya memang sedikit unik dibandingkan dengan penampilan remaja Cina yang modis. Di pundaknya , wanita ini membawa pikulan berisi keranjang denganbuah jeruk berwarna kuning yang menggoda.
Di sudut lain, seorang wanita bercaping juga sibuk melayani pembeli. Wanita ini memakai celana panjang warna abu-abu kehitaman dan kaos putih lengan panjang. Di satu keranjangnya, terlihat jambu merah ranum dengan ukuran yang besar menggoda, sementara di keranjang lainnya juga terlihat rambutan yang juga merah dan telihat enak dimakan.
Saya terus berjalan menuju ke dermaga Ferry yang akan membawa saya ke Pulau Gulang. Barisan pohon beringin tua dan besar mengawal perjalanan saya dan akhirnya saya tiba di dekat tempat penjual tiket. Di kejauhan, tampak kerumunan orang yang antri menuju Ferry dan juga antrian yang cukup ramai untuk membeli tiket seharga 8 Yuan untuk pulang pergi ke Gulangyu.
Saya tertarik dengan seorang lelaki penjual makananyang tampak sedikit berbeda penampilannya dari kebanyakan pria Cina, Pria ini memakai kopiah haji berwarna putih. Rupanya pria ini memang muslim Cina dari suku Hui yang menjual kueh yang khas.” Wu Kuai. Wu Kuai,” (Lima Yuan) teriaknya sambil duduk di atas sadel sepeda.
Setelah selesai membeli tiket, calon penumpang bergegas antri menjuju kapal ferry, dan saya pun ikut terbawa arus lautan manusia yang memang selalu ramai di kota-kota di negri berpenduduk paling banyak di dunia ini.
Di tengah kerumunan penumpang ferry itu, fikiran saya tetap melayang ke wanita-wanita perkasa yang membawa keranjang buah dan menjajakan nya di tengah perubahan besar yang melanda negri ini menjadi kekuatan ekonomi yang besar dan dashyat di dunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H