Saya 36 Tahun, Kehilangan Masa Muda Karena Salah Pilih Presiden ‘Aktor’ 10 Tahun Yang Lalu. Teman-teman muda, jangan lagi!
Sekitar satu minggu lalu saya bersama dengan kumpulan mahasiswa dan mahasiswi dalam kegiatan mentoring yang diinisiasi sepupu saya, Nanda. Kebetulan Nanda kuliah di salah satu universitas swasta terkemuka di Jakarta. Kami berdikusi dua jam berbagi pengalaman kewirausahaan. Kebetulan saya bersama dua sahabat memilliki usaha konsultasi arsitektur, sipil dan design untuk perumahan dan perkantoran yang walaupun kecil tapi cukup bertumbuh dalam dua tahun terakhir. Selesai berdikusi kami asyik membahas politik selama tiga jam lebih karena kebetulan Indonesia sedang merayakan pesta demokrasi, Pemilihan Legislatif (PILEG) dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden (PILPRES). Kebetulan juga, Jokowi baru saja dideklarasikan sebagai calon presiden oleh PDI-P.
Diskusi politik lebih lama daripada sesi ‘mentoring’! Hal ini positif, artinya anak muda perduli demokrasi. Jeleknya, dan hal ini benar-benar harus diwaspadai, generasi muda mudah dikelabui oleh politisi dan media massa. Saya menyatakan hal ini dengan tegas karena saya merasakan dan menyesali sendiri pilihan yang salah 10 tahun yang lalu. Siapa yang tidak terbuai oleh kampanye SBY di tahun 2004? Semua sepakat mau punya Presiden yang gagah, bahasa Inggrisnya bagus, dan artikulasinya sangat baik. Ternyata, 2004 – 2009 lebih banyak karya dari Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden yang dirasakan masyarakat. Terbukti begitu SBY tidak lagi bersama Pak JK lima tahun terakhir, kita semua tidak sabar menunggu pemilu 2014 supaya kita segera punya Presiden baru.
Demikian juga di Pemilu tahun 2009 dimana sebenarnya masyarakat sudah mulai meragukan kepemimpinan SBY tanpa Jusuf Kalla (JK). Sayangnya dengan kampanye masif yang menampilkan tokoh-tokoh muda berseru lantang dalam iklan “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI”, masyarakat kembali memilih SBY karena tidak mau memilih yang kalah. Saat ini tiga dari lima orang tokoh muda yang menjadi bintang iklan tersebut sudah dipenjara karena korupsi. Walaupun saya tidak memilih SBY- Boediono di tahun 2009, tapi memang sebagai incumbent mesin kampanye SBY saat itu sulit sekali dikalahkan. Ibarat ilmu sinematografi, kampanye SBY di tahun 2009 ibarat film layar lebar yang layak dapat nominasi Piala Citra atau Oscar.
Demikian juga menurut saya hal yang sama terjadi lagi pada Jokowi. Hanya bedanya kalau SBY kualitasnya layar lebar, sedangkan Jokowi memilih gaya panggung tradisional. Tapi tetap saja dua-duanya adalah tokoh yang sedang acting seolah-olah menjadi pemimpin. Bukan sebaliknya yaitu pemimpin yang sedang beraksi nyata sehingga menjadi tokoh teladan masyarakat. Saya bersyukur tidak memilih Jokowi di tahun 2012 ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta karena menurut saya seseorang yang siap melanggar janji kepada pemilihnya, dalam hal ini pemilih Jokowi di Solo, pasti akan siap melanggar janji apapun tanpa pernah menyesal. Tapi kasihan teman-teman pemilih di Jakarta yang yakin sekali pada janji Jokowi bahwa dia akan fokus membenahi masalah Jakarta dan tidak akan mencalonkan diri sebagai capres walaupun diminta. Dan benar saja, ketika tanggal 15 Maret 2014 Jokowi mengumumkan diri sebagai Capres dari PDIP dengan menggadang-gadang surat perintah dari Ibu Megawati Soekarnoputri, dia sudah dua kali melanggar janji kepada konstituen. Dua kali suara pemilih yang ada lima tahun sekali itu dijadikan ‘bantu loncatan’ oleh Jokowi untuk mengejar kekuasaan yang lebih tinggi, di Solo dan kemudian di Jakarta. Padahal pekerjaannya di Jakarta baru saja dimulai. Dan hasilnya baru sebatas prestasi layar kaca dan kertas koran, belum terlihat hasil yang nyata. Bahkan jalan macet di Tanah Abang karena tertutup pedagang kaki lima sekarang sudah mulai kembali seperti sedia kala. Anehnya Ibu Megawati tidak mengeluarkan pernyataan apapun selain hanya memberikan surat tersebut kepada Jokowi. “Jangan-jangan Ibu Mega menandatangani surat itu di bawah tekanan, seperti Supersemar yang ditandatangan Presiden Soekarno dan diberikan kepada Jenderal Soeharto,” demikian kata salah satu mahasiswa dalam diskusi kami.
Lebih aneh lagi, media massa yang seharusnya sarat tokoh intelektual dan harusnya lebih dewasa menyikapi peristiwa-peristiwa penting demokrasi juga tidak belajar dari sejarah, khususnya dari euforia SBY dan dari 10 tahun pemerintahan SBY ini. Media massa justru turut serta menggelembungkan euforia tersebut sehingga menyesatkan masyarakat. Nantinya ketika bangsa sudah tersesat, media massa yang tidak mampu menjadi solusi kemudian dengan gampangnya mencarikan tokoh baru untuk di-euforiakan dan diadu dengan tokoh yang sedang pudar popularitasnya. Seperti SBY diadu dengan Ibu Megawati di tahun 2004, dan Jokowi diadu dengan Fauzi Bowo di tahun 2012, dan sekarang Jokowi dijadikan antitesis SBY selama satu tahun terakhir. Padahal keduanya sama saja hanya beda gaya.
Tren yang seperti ini membuat kita lelah membaca media massa karena isinya terus menerus negatif dan penuh konflik. Padahal ketika masa reformasi akan dimulai, media massa mendapatkan kepercayaan besar masyarakat karena berjanji akan menjadi pilar demokrasi dan menjadi logika demokrasi.
Saya mengingatkan teman-teman generasi muda khususnya pemilih pemula untuk tidak menyesali pilihan seperti saya dan teman-teman yang sekarang ini sudah mendekati usia 40 tahun. Padahal di tahun 2004 itu saya masih tergolong ‘muda’, baru 26 tahun, dan baru mulai membangun kehidupan sendiri dengan pilihan karier dan pasangan yang mantap untuk berkeluarga. Tidak disangkal bahwa 10 tahun terakhir Indonesia benar-benar mulai bangkit dan kesempatan begitu melimpah untuk generasi muda. Tapi rasanya itu semua karena keuletan dan kerja keras masyarakat sendiri, dibantu sektor swasta dan multinasional. Semuanya sekarang serba jauh lebih menyenangkan dan bersemangat. Tapi sedikit sekali peran pemerintah.
Kita semua memang mensyukuri hidup kita masing-masing saat ini. Tapi ada dua hal mendasar yang hilang: pertama adalah kebanggaan terhadap bangsa dan kedua adalah kecintaan terhadap pemimpin. Padahal bangsa yang maju adalah bangsa yang masyarakatnya perduli dan bangga pada bangsanya serta cinta pada pemimpinnya. Yang kita rasakan selama 10 tahun terakhir ini adalah sebaliknya. Di saat kita merasa ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara, pasti saat itu juga kita merasa kesal dengan Pemerintah khususnya Presiden SBY karena kita tidak merasa didukung. Bahkan sering kali kita merasa membantu bangsa dan negara kok malah dipersulit.
Contoh saja mau berwirausaha dan menciptakan lapangan kerja malah dipersulit dengan pungutan liar, proses yang lama, atau konflik-konflik sosial. Menabung bertahun-tahun untuk membeli mobil dan motor malah dibuat mubazir dengan kemacetan dan jalanan rusak. Mau mendukung tim olahraga nasional bertanding di saat kita menjadi tuan rumah SEA Games justru kita dibuat malu karena stadion belum siap, dan korupsi dimana-mana. Berita kemenangan atlit atau perusahaan nasional kita dalam 10 tahun terakhir ini kalah banyak dibandingkan berita korupsi, berita bangsa kita dilecehkan bangsa lain, atau berita SBY ngambeg dan diolok-olok rakyatnya sendiri.
Dua komponen penting yaitu bangga kepada bangsa dan cinta kepada pemimpin sangat penting untuk generasi muda mempunya jati diri yang kuat di era globalisasi sekarang ini. Jati diri ini penting untuk generasi muda merasa percaya diri dan terus maju karena yakin bangsa dan negaranya mendukung penuh di belakangnya. Sayangnya, dua komponen ini jelas-jelas tidak terasa pada generasi saya dan jelas-jelas juga masa tersebut tidak akan kembali lagi.
Selain itu, walaupun Jokowi masih muda, hal ini tidak serta merta menjadi alasan utama pemilih muda harus memilih Jokowi. Saya sarankan kepada teman-teman pemilih muda untuk lebih baik memilih pemimpin perduli dan punya track record membesarkan anak muda dibandingkan orang muda yang mengaku pantas menjadi pemimpin.
Saya jelas tidak akan memilih Jokowi karena tidak mau jadi keledai yang jatuh di lobang yang sama. Kalau tidak demikian, sudah hilang masa muda hilang pula masa dewasa. Jangan sampai hal ini terjadi kepada teman-teman pemilih muda. Jangan pilih Presiden Aktor. Pilihlah calon presiden yang sudah teruji dan terbukti prestasi dan kontribusinya. Kalau tidak sekarang kita memilih pemimpin dengan benar, lalu kapan lagi? Dan kalau bukan kita sebagai pemilih yang mengkoreksi kesalahan kita selama ini, lalu siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H