Mohon tunggu...
Ratna Juwita
Ratna Juwita Mohon Tunggu... -

mencoba dan terus mencoba

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Memaksakan Untuk Sama

10 Desember 2013   07:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:07 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enak banget jadi laki-laki, pulang kerja bisa langsung tidur. Kita yang perempuan ini, kapan waktu istirahatnya? Pagi sampai malam, pekerjaan enggak ada habisnya…” Kalimat ini sering terdengar keluar dari lisan ibu, manakala ibu begitu sibuk dan lelah dengan berbagai pekerjaan rumah dan berharap sang suami membantunya kala pulang kerja. Eh… ternyata jauh panggang dari api, bukannya membantu, suami malah langsung masuk kamar dan… tidur.

Dalam lingkup kehidupan yang lebih luas, masalah peran laki-laki dan wanita kerap jadi bahan diskusi yang panas. Bahkan muncul gerakan-gerakan tersendiri untuk memperjuangkan peran dan hak-hak wanita. Anggapan bahwa terdapat ketidakadilan antara laki-laki dan wanita adalah pemicu munculnya polemik ini. Ini bukan hal yang baru, meski begitu masih banyak kaum muslimah yang bingung dengan peran yang semestinya disandangnya.

Jangan Iri

Setiap manusia telah diberi bagian dan kelebihan masing-masing. Semuanya sesuai dengan keadaan yang bersangkutan. Demikian pula dengan beban hukum yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu manusia tidak boleh saling iri dan dengki terhadap kelebihan dan beban hukum yang diberikan kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain, (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa’: 32).

Al Razi memaparkan, jika seseorang melihat kelebihan orang lain, sementara ia tidak memilikinya atau memiliki namun lebih sedikit, hatinya menjadi sakit dan gelisah. Keadaan ini melahirkan rasa iri dan dengki. Rasa ini terkadang sampai memunculkan sikap yang menginginkan hilangnya kebahagiaan tersebut pada orang lain. Sikap ini sungguh tercela, sebab yang menjadi sasaran adalah pengaturan Dzat Yang Maha Tahu dan Maha Pencipta. Orang yang menginginkan hilangnya kebahagiaan pada orang lain, seoalah-olah dia protes pada Allah, mengapa yang diberi kelebihan orang lain, mengapa bukan dirinya. Sikap demikian akan menghilangkan cahaya iman dari dadanya dan menjadi sebab terjadinya kerusakan agama dan dunia, seperti hilangnya rasa kasih sayang, cinta kasih dan persahabatan. Naudzubillahi min dzalika.

Allah SWT Maha Adil, Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Islam adalah Dien yang memberikan solusi persoalan manusia secara umum dengan hukum yang sama berlaku untuk laki-laki dan wanita. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, menuntut ilmu, ber-amar ma’ruf nahi mungkar dan sebagainya. Dan ada juga solusi hukum yang sifatnya khusus, baik wanita atau laki-laki.

Dalam hal ini Islam membawa hukum yang berbeda sesuai dengan tabiat fitrah wanita dan laki-laki, dan sesuai peran, fungsi dan status masyarakat. Seperti kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki, mengatur urusan rumah tangga dan menjadi ibu adalah kewajiban bagi wanita, hukum waris, dan sebagainya. Perbedaan itu dimunculkan bukan untuk mendiskriminasikan wanita, tetapi demi harmonisasi peran masing-masing.

Semua aturan yang diberikan Allah SWT adalah solusi kehidupan sekaligus menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Maka Allah melarang iri atas perbedaan itu. Seorang muslim selayaknya tidak boleh tergiur dengan propaganda untuk menuntut kesamaan laki-laki dan wanita dalam seluruh hak dan kewajibannya.

Wujudkan Persahabatan

Sangat dimaklumi, kesibukan para ibu sebenarnya melebihi kesibukan orang laki-laki walaupun tanggung jawab laki-laki lebih besar. Bayangkan seorang ibu, bangun awal pagi menyediakan sarapan dan bekal untuk putra-putrinya, ditambah tugas memikirkan menu makan tengah hari, petang dan malam. Dilanjutkan dengan tugas harian, mengurus dan mengasuh anak, bersih-bersih rumah, tugas-tugas sosial (sebagai anggota masyarakat), menjadi tukang kebun dan beribu tugas-tugas lain. Begitu hebat kesibukannya, sehingga bila anak haus, harus ibu sendiri yang menyediakan.

Makin bertambahlah kesibukannya bila ibu juga bekerja di luar rumah. Apalagi dia merupakan single parent. Penat. Letih. Keadaan yang bila tidak diperhatikan, akan menyebabkan hadirnya tekanan perasaan. Tidak heran bila banyak ibu-ibu yang tertekan dan bila sudah demikian, kontrol diripun berkurang.

Rasa lelah bukan satu kondisi yang tercela, sebaliknya dalam hal-hal tertentu, ia merupakan hal yang terpuji. Ustadz M. Arifin Ilham dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa diantara jenis penat yang mengandung berkat diantaranya, mencari rezeki yang halal, mengandung, melahirkan, dan mengurus anak-anak serta keluarga dan juga sabar dalam menghadapi sakit, cacat, kemiskinan serta musibah.

Mustahil untuk meniadakan rasa penat. Namun sayang bila kita menghadapinya dengan keluhan dan kemarahan. Bukan pahala yang diperoleh, melainkan makin nambah dosa. Karena itu pahami peran kita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga adalah amanah dari Allah, sekaligus merupakan kehormatan bagi kita sebagai penentu kualitas generasi masa depan.

Meski pekerjaan rumah tangga bukan menjadi tanggung jawab laki-laki, namun tiada salahnya seorang suami membantu meringankan tugas istrinya. Bukankah suami dan istri adalah sahabat yang terbaik. Hubungan mereka bukanlah hubungan antara majikan dan pekerja. Terlebih ada dorongan ruhiyah yang luar biasa dari Rasulullah SAW, “Sebaik-baik kalian, adalah yang terbaik sikapnya terhadap istrinya.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam keluarga muslim, nuansa yang terwujud adalah berlomba-lomba dalam ketaatan. Suami berusaha sebaik mungkin melakukan tugasnya mencari nafkah, membimbing keluarga dan bersikap sebaik mungkin pada istri dan anak-anaknya. Demikina pula sang istri, berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan terbaik bagi keluarganya. Tiada rasa iri. Yang ada rasa saling sayang dan cinta.

Wallahu a’lam bish-showab

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun