Mohon tunggu...
Ratna Dks
Ratna Dks Mohon Tunggu... -

happy mother, love reads, fans drakor and listen to the music

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Kenang di Jembatan Merah

4 Juni 2013   12:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:33 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya Aku kembali ke kota Bogor, setelah menyelesaikan kuliahku di Universitas Sumatera Utara. Salah satu universitas terbaik di Indonesia yang disarankan Bapak untuk dipilih ketika mengikuti ujian saringan masuk perguruan tinggi.

Di UI atau universitas negeri lainnya yang ada di Pulau Jawa, Bapak tak terlalu setuju. Ia punya pikiran kalau di Jawa peserta ujian saringan masuk pastilah lebih banyak. Dan Bapak khawatir Aku akan gagal diterima karena kalah bersaing.

Perkiraan Bapak ternyata tidak meleset, banyak temanku yang lebih berprestasi dariku semasa SMU nyatanya tak lulus ujian saringan masuk UI atau ITB. Sedang Aku yang prestasinya dibawah Mereka berhasil menembus USU.

Senang pastinya, tapi disatu sisi juga sedih. Bayangkan, waktu itu Aku yang masih belasan tahun harus tinggal jauh dari orang tuaku, menuntut ilmu sendirian dikota orang dan hanya mendapat jatah pulang ke Bogor saat hari raya. Diluar itu tak ada budget yang bisa dianggarkan karena tiket pesawat Medan Jakarta lumayan mahal untuk ukuran kantong orang tuaku yang sehari-hari bekerja sebagai petugas pemelihara Kebun Raya Bogor.

Akh, mengingat tempat yang satu itu Aku jadi teringat pada seribu satu kisah yang pernah Ku lewati disana. Lima tahun kuliah di kota orang dan hanya balik ketika hari raya membuatku tak pernah menyambanginya lagi.

Padahal masa kecilku dihabiskan disana, menunggu Bapak Ibu pulang kerja dan menghabiskan waktu hingga sore dengan berlari-larian sepuasnya. Kadang kalau sudah letih berlari Aku akan berjalan ke arah Istana, memandangi rusa-rusa yang berlarian di halaman Istana dan berharap salah satu dari mereka diberikan padaku untuk Kupelihara di rumah.

Menginjak bangku SMP Aku tak lagi ingin bermain, perhatianku beralih pada guide yang mengantar turis domestic atau asing berkeliling area kebun raya. Membuntuti Mereka dan merekam penjelasan Mereka tentang sejarah, mitos dan hal-hal yang berkaitan dengan Kebun Raya.

“Kebun Raya Bogor adalah Kebun Botani yang memiliki luas 87 hektare dan 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Dalam Prasasti Batutulis diterangkan Pada mulanya kebun ini merupakan bagian dari Samida yaitu hutan buatan yang telah ada pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda ,“

Dari bermodalkan pengetahuan tentang tempat kerja orang tuaku para guide memperoleh penghasilan, membuatku tertarik untuk mengikuti jejak Mereka. Dan niatan itu akhirnya Ku wujudkan pada saat Aku duduk dibangku SMU. Dimana teman-teman mulai sibuk pacaran dan mengejar eksistensi diri lewat penampilan. Aku ? karena dari keluarga biasa memilih hidup tak neko-neko dan terjun sebagai freelance guide untuk persiapan kalau nanti orang tua tak sanggup menguliahkanku.

Pengalaman pertama menjadi guide sungguh lucu, Aku yang tak punya kenalan agent travel berdiri di dekat loket Kebun Raya Bogor dan bertanya pada satu persatu pengunjung yang akan masuk apakah Mereka membutuhkan tour guide.

“Maaf Kami teh orang asli sini dan sudah sering kemari jadi sudah hapal tiap sudut Kebun Raya Bogor,” jawaban sebagian besar pengunjung yang umumnya bermukim di sekitaran bogor.

“ Bayar ya ?, nggak ah kalau bayar. Mending jalan sendiri saja,” karakteristik orang Indonesia yang hobby belanja dan pelit terhadap ilmu pengetahuan terbaca dari jawaban beberapa orang yang lain.

“ Cuma mau lihat Istana Bogor dari dalam jadi nggak perlu tour guide kan ?,” penolakan kesekian kalinya setelah hampir setengah harian berdiri menawarkan jasa.

Aku hampir patah semangat dan mengurungkan niat menjadi tour guide kalau saja tak ada sepasang turis asing yang menghampiriku.

Excusme, are you tour guide ?,”

“Yes,yes, yes,” Aku cepat-cepat mengangguk, sama sekali tak peduli dengan kemampuan bahasa Inggris-ku yang masih cetek. Bayangan tip yang akan Ku dapat terlanjur bermain dibenakku dan memupus kekhawatiranku bahwa turis asing tersebut akan menertawai conversationku yang buruk.

“ Please follow Me, I can tell You all about Kebun Raya Bogor,” kedua turis asing paruh baya tersebut tersenyum mendengar bahasa Inggrisku yang mungkin terdengar berantakan.

“ What’s Your name ?, ”

“ Oh sorry, I forget introducing My self. My name is Mala,” sambil berjalan menjejeri Mereka melintasi gerbang Aku memperkenalkan diri.

“ Mala, actually We are visiting Kebun Raya Bogor for purport dissection,” turis perempuan menjelaskan alasannya berkunjung. Tapi bodohnya, Aku tak mengerti dua kata terakhir yang Dia ucapkan.

Mrs, can You explain what is purport dissection ?. Sorry, My English language skill is limited,” sambil berjalan menyusuri jalan setapak yang dinaungi pohon-pohon besar nan rindang Aku bertanya.

Kedua turis tersebut saling pandang, kemudian melihat ke arahku dengan senyum simpul.

“ No problem Mala, We are understand. So, can You show Me where is Rafflesia Patma plantation. We come here just wana look Rafflesia Patma,” Mereka sepertinya memaklumi. Sehingga Mereka langsung mengatakan maksud dan tujuan kedatangannya, yang jika tidak salah Ku terjemahkan hanya ingin melihat bunga Rafflesia.

“ Oh, Ok. I can deliver you to look at Rafflesia Patma. Perchance you know Rafflesia Patma is curcos,” Aku langsung menyanggupi untuk mengantar Mereka ke tempat dimana bunga Rafflesia berada.

Kebetulan hari itu, hari kedua bunga Rafflesia mekar. Jadi turis asing yang Ku antar punya kesempatan untuk melihat peristiwa langka tersebut, disaat cuaca sedang lembab dan bunga bisa mekar sempurna lebih dari tiga hari.

Dari mengantar turis asing tersebut Aku mendapat seratus ribu rupiah, jumlah yang sangat besar bagiku waktu itu. Senangnya bukan kepalang, sampai-sampai Aku berniat tidak sekolah lagi karena ingin menekuni profesi tour guide dengan lebih serius. Tapi nasehat Bapak membuatku berpikir ulang sebelum memutuskan.

“ Sekarang Kamu merasa sudah cukup punya skill menghasilkan uang dan tak perlu lagi sekolah. Tapi kalau nanti Kamu bosan dengan pekerjaanmu, Kamu mau kerja apa lagi dengan pendidikan yang minim ?. Lebih baik fokus pada sekolah dan menjadikan profesi tour guide sebagai sambilan. Dengan begitu Kamu masih bisa berkembang dan menerbangkan mimpi lebih tinggi lagi,“ Bapak benar, seringnya mendapat tawaran menjadi tour guide membuatku berkenalan dengan berbagai ragam manusia dewasa yang kadang menyebalkan dan membersitkan keinginan untuk berhenti dari profesi ini.

Bayangkan, Aku pernah mengantar tiga orang Bapak-Bapak dengan perilaku sosial menyimpang. Dari logat Aku yakin mereka orang luar pulau jawa, penampilan yang rapi dengan cincin batu besar-besar yang tersemat dijarinya membuatku menyimpulkan Mereka mungkinmasuk golongan orang kaya baru yang tengah kerajinan memamerkan harta benda.

“ Ini Rumah Anggrek yang kata Bapak ingin Bapak lihat ,“ Aku mengantar ketiga bapak paruh baya tersebut ke area pertama di Kebun Raya yang ingin Mereka kunjungi.

“ Dek, sebenarnya Kami tidak ingin melihat anggrek. Kami hanya mencari tempat sepi untuk berbincang,”

“ Maksudnya ?,” Aku menatap bingung.

Ketiga pria paruh baya tersebut menyeringai lebar.

“ Katanya perempuan Bogor bisa dikencanin. Kira-kira berapa tarif yang Adik mau ?, sekalian tolong carikan dua lagi untuk teman Saya,“

Aku melongo kaget, sedetik kemudian mendelik marah.

“Astagfirullah Pak, eling-eling. Inget umur udah tua, udah mau masuk kubur. Kok bisa-bisanya mikir sebobrok itu ,“

“ Eh Dek, Kau ini lantang kali menggurui Kami. Kau mau Kami pukul,“

“ Coba aja kalau berani, akan Saya laporkan sama orang tua Saya. Asal tahu saja, Bapak Saya polisi yang tugas di depan. Ibu Saya Kepala di Kebun Raya ini, Bapak-bapak siap kalau Saya adukan ?. Dasargelo !,“ Aku sengaja berbohong untuk membuat Mereka tak berkutik.

Dan ternyata berhasil, Mereka hanya bisa mengeram marah ketika Ku caci maki dan Ku tinggalkan begitu saja.

Kapok ?, hampir saja. Kalau saja tak ada turis domestic lain yang menghiburku dikesempatan lain.

Ketika keesokan harinya Aku tengah berpikir untuk berganti profesi menjadi pedagang marmut atau talas dengan modal tip yang Ku kumpulkan, mendadak serombongan Ibu-Ibu arisan yang baru saja keluar dari Kebun Raya mendatangiku.

“Kamu Mala kan ? ,“ salah seorang Ibu muda tersebut menanyaiku.

“ Iya Saya Mala. Ada perlu apa ya Bu ?,” Aku yang sedari tadi berjongkok di depan pedagang marmot segera berdiri.

“ Kata petugas Kebun Raya kalau mau ke Tajur bisa minta anter Kamu. Bener nggak ?,” Ibu yang berambut panjang berujar.

“ Kami dari Makassar, baru pertama kali datang ke Bogor. Tadi naik taxi dari Bandara ke Kebun Raya di putar-putar sama supirnya, jadi kapok jalan sendiri. Kamu bisa pandu Kami ke sentra tas yang terkenal itu nggak ?,” Ibu lainnya yang tengah hamil menjelaskan.

“Ng…,” Aku masih bingung menjawab. Sebelumnya sudah Ku putuskan untuk berhenti jadi tour guide, tapi mendengar Ibu-Ibu muda tersebut ditipu supir taxi Aku jadi tak tega. Inginnya kembali menjalani profesi lama dan menunjukkan tempat belanja tas yang Mereka cari.

“ Bisa Bu,” akhirnya Ku putuskan setuju mengantar Mereka ke tempat wisata selanjutnya.

Pada mereka kutawarkan dua alternative kendaraan menuju kesana, mau yang hemat naik angkut 01 dari terminal Baranangsiang atau naik taxi yang lebih mahal tapi langsung sampai tujuan tanpa harus berhenti sebentar-sebentar menaikkan penumpang.

Ibu-ibu tersebut memilih moda kendaraan terakhir yang lebih praktis dan tak membuat mereka mati kegerahan. Maka tiga taxi yang lewat Ku berhentikan untuk mengantar rombongan Ibu-Ibu yang terdiri dari sepuluh orang.

“ Mala, tahu nggak toko yang lengkap koleksinya dan harganya sesuai ?,” saat dalam perjalanan salah seorang Ibu yang satu taxi denganku bertanya.

“ Kata orang-orang sih di Sumber Karya Indah yang di jalan Katulampa, tapi mending lihat-lihat dulu aja yang di Tajur Fashion, Stasiun Tas atau Terminal tas. Di tiga toko itu juga rame pembeli soalnya,” Aku membagi informasi yang pernah Ku dengar dari teman-teman sekolah pada Mereka.

Teman-temanku itu memang kerap kali berbelanja tas fashion untuk ditenteng ke sekolah, tasnya kadang membuatku iri ingin membelinya. Tapi kalau mendengar harganya yang ratusan ribu rupiah membuatku berpikir ulang. Pantaskah uang yang Ku dapat susah payah dari bekerja paruh waktu Ku habiskan hanya untuk satu tas yang sebenarnya tak penting-penting amat bagiku.

“ Ini bagus tidak,” setibanya disana dan menjelajah di beberapa toko kemudian membeli beberapa pasang sepatu dan tas si Ibu yang tengah hamil dan Ku bantu membawakan belanjaannya tiba-tiba bertanya padaku.

“ Bagus Bu,” Aku menatap tas Burberry cokelat yang ditunjukkannya. Sederhana dengan motif potongan garis-garis coklat yang bisa dikenakan di acara apapun.

Tapi kalau ku Ingat Ibu itu sudah membeli tiga tas sebelumnya, rasanya aneh bagiku kenapa harus membeli lagi. Bukankah satu sudah cukup, dua lebih dari cukup, tiga wah benar-benar beruntung, empat ?.

“Ini buat Kamu,” setelah membayar tas Burberry-nya Ibu tersebut menyerahkan padaku. Aku yang sedari tadi melamun melongo kaget.

“Buat Mala Bu ?,” Aku masih tak percaya.

“ Iya, buat kenang-kenangan. Dipakai ya,” Ibu itu meraih tanganku dan meletakkan tas belanja di genggamanku.

Alhamdulillah rezeki tak kemana, tas ke empat ternyata di hadiahkan untukku. Dan bukan hanya tas yang Ku terima, Mereka mengajakku makan siang bersama di Foodcourt dan memberiku tip lumayan besar setelah selesai berbelanja. Membuatku mengurungkan niat untuk berhenti dari profesi tour guide hanya karena tiga lelaki tua bangka tak tahu diri yang sebelumnya memakai jasaku.

Hampir tiga tahun profesi tersebut Ku geluti, dengan lebih banyak suka yang menghampiri. Hingga menjelang lulus sekolah Aku melakukan kesalahan yang fatal dalam pekerjaanku.

Dua pria dan satu wanita tiba di loket pintu masuk Kebun Raya, kedua pria tampan dan wanitanya cantik. Dari penampilan ketiganya yang mengenakan baju casual dan tas ransel di punggung Ku perkirakan Mereka masih kuliah.

“Pak, jembatan merah kalau dari pintu masuk ke arah mana ya ?,” salah seorang pria yang berkulit putih bersih bertanya pada penjaga loket. Dari logatnya yang medok Ku tebak mereka berasal daridaerah Jawa Tengah atau Timur.

“ Itu minta anterin Mala aja, Dia tour guide disini,” penjaga loket yang teman kerja Bapak Ibukku selalu mereferensikan Aku untuk menjadi tour guide pengunjung yang membutuhkan jasa.

Si pemuda berkulit putih menoleh ke arah yang di tunjuk penjaga loket, Aku yang berdiri beberapa meter dibelakangnya mengangkat tangan kanan sebagai penanda kalau Aku tour guide yang dimaksud.

“ Makasih Pak,” Ia memberi isyarat pada dua rekannya untuk mengikuti.

“ Kamu yang namanya Mala ?,” si pemuda berkulit putih dan dua temannya telah berdiri di hadapanku.

“Iya Mas,” Aku mengangguk pelan.

“ Kalau mau minta antarkan ke jembatan merah berapa ongkos antarnya ?,”

“ Terserah sih, Saya nggak matokin Mas , “

Mereka bertiga manggut-manggut.

“ Kalau begitu tolong antar Kami ya ,”

Aku mengangguk setuju dan menyilakan Mereka untuk mengikuti. Melewati pintu gerbang dan menapaki jalan setapak Kebun Raya yang dinaungi rimbunan pohon tua besar-besar yang sangat rindang.

Senyap selama perjalanan, ketiga pengunjung yang Ku antar seperti tak sabar untuk sampai di jembatan merah. Tebakanku mereka bertiga sudah memiliki pacar dan bosan dengan pasangan masing-masing, mungkin karena tidak tahu cara mengakhiri hubungan Mereka datang jauh-jauh ke Kebun Raya untuk membuktikan mitos yang dipercaya banyak orang.

Lima belas menit perjalanan tibalah kami di tempat yang dituju, ujung Jembatan Merah. Kami berempat kemudian menghentikan langkah.

“ Ini jembatan merahnya,” Aku memberitahu.

“ Ngga, tolong fotoin kita pas di jembatan ya ?,” si pemuda berkulit putih menyodorkan kamera digital pada temannya.

“ Suruh Dia saja, Aku tunggu di bangku taman bawah pohon beringin dan miranti itu,” si pemuda berkulit hitam menolak. Ia berlalu ke bangku taman di bawah pohon jodoh.

Aku merasa heran dengan sikap temannya, tapi tak sempat memikirkan dan buru-buru meraih kamera digital yang disodorkan pemuda berkulit putih.

Pemuda berkulit putih dan gadis cantik temannya berjalan ke tengan titian jembatan, kemudian mengambil pose yang pas untuk mereka berdua. Si pemuda berdiri di belakang si gadis dan merangkul lehernya. Tampak begitu mesra seperti sepasang kekasih yang hendak melakukan sesi foto pre wedding, itu artinya tebakanku salah besar.

“ Bagaimana hasilnya ?,” selesai pemotretan Ku hampiri mereka untuk menunjukkan hasilnya, sementara si gadis cantik berlalu pergi menyusul temannya duduk dibangku pohon jodoh.

“Bagus. Ini untuk uji coba foto pre wedding ya ?,” Aku mengembalikan kameranya agar pemuda itu bisa melihat hasilnya.

Pemuda itu menggeleng dan tersenyum simpul.

“ Bukan, hanya untuk mengabadikan saja kalau Kami pernah melintasi jembatan merah ini dan berdoa supaya hubungan Kami langgeng,”

Mendengar ujaran pemuda itu Aku terkejut.

“ Siapa yang bilang melintasi jembatan merah hubungan pacaran akan langgeng ?,”

“ Angga sahabat Kami itu,” pemuda berkulit putih itu menunjuk temannya yang tengah duduk dengan gadis yang ternyata pacarnya.

“ Mas lugu sekali, seharusnya tanya dulu sebelum melintas. Mitos yang dipercaya disini jika sepasang kekasih berjalan melintasi jembatan itu maka hubungan cintanya akan berakhir. Dan sebaliknya jika seorang pemuda dan pemudi duduk di bangku yang ada diantara pohon beringin dan meranti itu Mereka bisa berjodoh,”

Pemuda itu melihat ke arahku kaget, kemudian menoleh pada teman dan pacarnya yang tengah tertawa bersama. Ia kemudian berjalan cepat menghampiri mereka berdua, Aku menyusul dibelakangnya.

“ Kau merencanakan ini semua, Kau ingin merebut dia dariku.” Pemuda itu marah besar.

“ Hey ada apa denganmu ?,”

Mendengar pertanyaan temannya pemuda itu semakin terlihat gusar, Ia melayangkan tinju ke arah pemuda bernama Angga tersebut. Aku yang tak mengira pemuda itu akan melakukan penganiayaan pada temannya hanya bisa mengutuki diri kenapa menceritakan mitos sesungguhnya.

“ Bayu, Kau kenapa ?,” pacarnya berdiri dan menahan tangannya untuk tak melayangkan tinju lagi.

“ Sudah jangan banyak tanya, Kita pulang sekarang,” pemuda yang bernama Bayu menyeret pacarnya pergi.

Angga melihat ke arahku, sepertinya tahu siapa yang menyulut kemarahan temannya.

“ Kau ini tour guide bodoh, tolol, dungu. Seharusnya Kau hanya tunjukkan jalan, tak perlu menjelaskan apapun. Sekarang jangan berharap Kau terima bayaran,” setelah mengeluarkan sumpah serapahnya pemuda itu pergi.

Aku terdiam mematung, mataku basah tak sanggup membendung air mata. Seumur hidup belum pernah Aku merasa sesakit ini. Seseorang mencaciku dengan sebutan bodoh, tolol dan dungu. Aku benci diperlakukan seperti ini, Aku tak mau lagi jadi tour guide.

Trauma dihina sedemikian rupa dan ujian nasional yang sudah di depan mata membuatku benar-benar bulat memutuskan berhenti menjadi tour guide. Aku fokuskan diri belajar dan tak pernah lagi menyambangi tempat kerja Ibuku. Hingga kemudian Aku lulus SMU dan meneruskan kuliah, tak sekalipun Aku menginjakkan kaki ke sana lagi.

“ Mala,” sebuah teguran membuyarkan lamunanku.

Menyusuri tiap sudut kebun raya dengan kilas balik ke masa lalu membuatku tak sadar telah berada dekat dengan jembatan merah.

Aku menoleh pada asal suara, seorang pria berkulit putih bersih dengan baju kantoran yang dikenakannya duduk melipat kaki di bawah pohon jodoh.

“ Mas,” Aku terkejut dibuatnya. Tak mengira setelah beberapa tahun bisa bertemu pria itu lagi dan Ia masih mengingatku.

“Kemarilah,” Ia menyuruhku menempati bangku kosong disebelahnya. Aku menurut dan berjalan menghampirinya.

“ Apa kabar ?,” setelah duduk Aku menyapanya.

“ Baik. “

“ Pacarmu dulu mana ?,” Aku iseng bertanya.

“ Ia sudah menikah dengan Angga yang dulu juga pernah bertemu denganmu,” Ia menjawab dengan tenang. Tak ada kemarahan atau kekesalan saat menceritakannya.

“Maaf,” Aku jadi tertunduk merasa bersalah.

“ Dua tahun ini Aku memindahkan kantorku ke Bogor, tapi tak pernah bertemu denganmu. Kemana saja selama ini ?,” Ia ganti bertanya.

“ Aku kuliah di Medan. Tahun ini baru lulus, makanya baru punya waktu kemari lagi,” Aku menjelaskan.

“ Pantas tak pernah melihatmu lagi,” Ia menggumam.

“Kau pasti rajin kemari,” Aku menyimpulkan.

“ Benar, sengaja mencarimu. Aku berhutang tip atas jasamu, Aku juga berhutang terima kasih atas penjelasanmu tempo hari. Aku berpikir tentangmu,”

Aku tertegun mendengar kalimatnya yang terakhir, apa maksudnya ?.

“ Pengkhianatan itu bukan sekali, tiga kali berpacaran tiga kali diselingkuhi. Alasan Mereka klise, Aku terlalu sibuk kuliah dan merintis usaha adveritising sehingga membuat Mereka berpaling pada yang lain. Saat pengkhianatan ketiga kemarin, Aku mulai berpikir jernih dalam mencari pasangan. Tak lagi berdasarkan komposisi rasa, fisik atauemosi sesaat,”

“Lalu…,” Aku belum bisa menangkap maksud kata-katanya.

“Yang terpikir hanya Kau, seorang gadis manis yang santai menjalani hidupnya. Ketika gadis remaja seusianya sibuk mencari pasangan Kau malah menikmati pekerjaanmu. Kau, seseorang yang mirip dengan diriku. Ku rasa akan menyenangkan jika bisa mengenalmu lebih dekat, akan ada banyak hal baru yang bisa Kita perbincangkan bersama,” Ia menatapku lekat-lekat.

“ Jadi untuk itu Kau datang kemari dan memindahkan kantormu ?,” Aku tertegun tak percaya. Tapi anggukannya yang tegas mengingatkanku pada mitos jembatan merah yang pernah Ku tahu ; bahwa jika seseorang berjalan di atas jembatan merah bersama orang yang bukan pasangannya, Ia bisa saja berjodoh dengan orang tersebut. Entah benar atau tidaknya mitos tersebut, saat ini Aku hanya ingin menikmati kebersamaan dengannya di bawah pohon jodoh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun