Kita sekarang tentu sangat akrab dengan kata "sesuatu" yang sering diucapkan Syahrini untuk merujuk pada hal yang mungkin sulit diungkapkan. Kemudian remaja sekarang sangat akrab dengan kata "bro" untuk merujuk pada teman atau saudara, "bro" merupakan hasil dari menyingkat kosakata bahasa Inggris "brother". Ada lagi kata yang diucapkan remaja dan begitu terkenalnya, yaitu "lebai" untuk merujuk pada sesuatu yang dilebih-lebihkan. Padahal kata "lebai" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 648) adalah pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun (kampung). Tentunya sangat menggelikan jika membandingkan kedua arti "lebai" tersebut.
Inti dari sebuah komunikasi adalah tersampaikannya pesan sehingga terkadang dalam berkomunikasi terlupa adanya kaidah-kaidah yang dianggap baik dan benar. Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa hal-hal yang baik dan benar dalam berbahasa hanya berlaku di ranah tertulis saja. Hal tersebut mengakibatkan sebuah ketidakkonsistenan tersendiri bagi orang asing yang ingin belajar bahasa kita, terutama bahasa Indonesia. Seperti yang diungkapkan Ida Puspita dalam artikelnya yang bertajuk "Bahasa Indonesiaku, Riwayatmu Kini" (Suara Merdeka, 28 Oktober 2011) disebutkan bahwa bahasa Indonesia formal yang dipelajari di sekolah-sekolah di luar negeri teryata jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.
Selama penulis menjadi guru, banyak hal-hal lucu yang kadang saya plesetkan bersama peserta didik. Misalkan ada seorang peserta didik yang ingin ke toilet, kata-kata yang sering mereka ucapkan adalah "Pak saya izin ke belakang" kemudian penulis menyuruh peserta didik tadi untuk ke belakang tempat duduk mereka bukan ke toilet. Tentu kelas heboh dengan gelak tawa karena "keluguan" penulis tersebut. Hal yang lebih parah lagi pernah ada peserta didik yang izin ke toilet dengan bahasa campuran antara Indonesia dan Jawa. "Pak saya mau ke mburi" tentu saja seisi kelas tertawa dengan kata-kata lugu tersebut.Terkadang penulis berpikir ternyata bahasa kita masih menganggap tabu untuk suatu hal misal WC tadi. Penulis juga terkadang berpikir apakah hal ini sangat dipengaruhi dengan sikap bangsa kita yang masih kurang blak-blakan dibandingkan bangsa Barat ataukah ini merupakan ciri khas adat timur yang penuh kesopanan?
Penulis mengamati bahwa penggunaan bahasa di masa sekarang cenderung masih setengah-setengah. Penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar masih sangat jauh dari harapan. Bahkan, remaja sekarang banyak sekali yang tidak mengetahui tingkatan dalam bahasa Jawa. Penguasaan bahasa Indonesia juga masih sangat minim, sebab dari hasil pengamatan penulis, ternyata penguasaan kosakata masih minim. Hal itu terbukti dalam pelajaran mengarang, peserta didik banyak mengalami kesulitan baik dari kosakata maupun tata bahasa. Dalam bahasa Inggris pun peserta didik juga masih canggung baik dalam penulisan atau pun pengucapan. Akan tetapi, inilah tantangan sebagai guru bahasa yang merupakan salah satu "penjaga gawang" dalam dunia kebahasaan di tingkat nasional maupun internasional.
Penulis juga mengamati nilai ujian nasional dari tahun ke tahun selama menjadi guru. Khusus untuk mata pelajaran bahasa Indonesia masih sangat jarang menemukan nilai UN bahasa Indonesia menembus nilai 100. Sewaktu penulis masih menjadi guru di SMK di Semarang yang notabene adalah salah satu sekolah RSBI, banyak murid yang mengatakan bahwa kesulitan mereka dalam mengerjakan soal UN adalah mengerjakan soal bahasa Indonesia. Saat itu nilai siswa yang mencapai nilai 100 untuk mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris sudah biasa ditemui di SMK tersebut. Ya mungkin saja soal UN bahasa Indonesia adalah soal yang penuh tafsir, berbeda dengan matematika yang cenderung pasti. Mungkin juga masih banyak yang menyepelekan soal UN bahasa Indonesia karena dianggap gampang.
Bahasa merupakan salah satu pemersatu bangsa dan juga menunjukkan identitas bangsa. Bahasa bukanlah sesuatu yang statis, melainkan memiliki dinamika tersendiri. Banyak bahasa di dunia ini mengalami kepunahan karena berbagai faktor, salah satunya karena ditinggalkan pemakainya. Semakin sedikit pengguna suatu bahasa tentu semakin dekat pula dengan namanya kepunahan.
Di Indonesia bahasa daerah jumlahnya ratusan dan semuanya itu memerlukan perhatian khusus agar bahasa yang ada tetap lestari. Adanya pengajaran bahasa daerah yang disesuaikan dengan daerah domisili merupakan salah satu angin segar. Namun, perlu ditanamkan pada peserta didik adanya kebanggaan berbahasa daerah dan nasional yang baik dan benar. Hal tersebut tersebut tentu untuk membentengi supaya bahasa daerah dan nasional tidak ditinggalkan pemakainya. Kita tidak perlu antipati dengan bahasa asing karena semakin banyak kita menguasai bahasa tentu menjadi nilai lebih tersendiri.
Ada benarnya nasihat orang tua zaman dahulu "Kalau belajar jangan setengah-setengah". Bila setengah-setengah tentu ilmu tidak akan mumpuni. Berbahasa kalau setengah-setengah pun akan membuat bingung penerimanya. Mulailah dari sekarang untuk berbahasa dengan baik dan benar dan jangan setengah-setengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H