Bianca bertahan, badai bertiup, benang-benang takdir berpadu di Piazza Navona.
UDARA masih lembap selepas hujan menerpa Roma. Jalan-jalan berbatu di Piazza Navona berkilauan tertimpa cahaya lampu jalan, menciptakan pantulan emas di atas permukaan basah. Aroma hujan bercampur wangi kopi dan roti panggang samar-samar menguar dari kafe-kafe di sepanjang alun-alun.
Di antara pejalan kaki yang masih tersisa, terdapat sosok pria tinggi bermantel hitam berjalan cepat. Kerah mantelnya terangkat, melindungi leher dari angin malam. Angelo Ferranti, seorang pengacara kriminal, melangkah panjang dan mantap. Garis-garis tegas mengisi paras oval bukan hanya karena usia pria itu sudah memasuki awal empat puluhan, tetapi juga karena pengalaman hidup. Dengan itu, dia terbiasa menghadapi berbagai ekspresi manusia mulai dari kebohongan, kepanikan, hingga keputusasaan.
Angelo baru saja keluar dari Caffe Bernini, tempat favorit guna menghabiskan malam setelah seharian berkutat dengan berkas-berkas hukum di kantornya.
Namun, di malam itu justru terjadi sesuatu yang tidak biasa. Dari gang sempit di dekat gereja Sant'Agnese in Agone, seorang gadis muncul dengan napas memburu. Rambut panjang cokelat bergelombangnya kusut. Makhluk berpipi merah itu seperti sangat ketakutan. Ketika matanya menangkap Angelo, dia berhenti mendadak, seolah-olah menemukan satu-satunya pelampung di tengah badai.
"Aiutami ... tolong aku ...!" katanya dengan suara gemetar.
Belum sempat Angelo bertanya, suara teriakan keras menggema di udara.
"Fermatela! Pencuri! Dia merampok toko perhiasanku!"
Seorang pria tua memakai jas biru muda menunjuk gadis itu. Beberapa orang mengikuti di belakangnya. Ekspresi mereka penuh amarah. Terlihat sesuatu berkilauan menyita perhatian. Sebuah kalung emas dengan liontin zamrud dalam genggaman sang gadis. Orang-orang lantas mendekat, berkerumun.
"Ladro! Kau pikir bisa lari begitu saja?" bentak pria berbadan besar, maju dan meraih lengan gadis itu dengan kasar.