Pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan, bukan ajang pembuktian materi atau gengsi keluarga. Namun, kenyataannya ada banyak cerita memilukan di balik terlalu tingginya mahar yang diminta. Seorang pemuda dengan penghasilan terbatas merasa putus asa karena tidak mampu memenuhi tuntutan mahar yang terlalu tinggi baginya, hingga memilih jalan tragis dengan mengakhiri hidup. Belum lagi kisah seorang pemudi yang ditinggalkan calon suami karena keluarganya meminta mahar bernilai miliaran, sementara si pemuda tidak sanggup menunaikannya. Ironis, bukan?
Sebagai umat Islam, mari kita kembali merenungi esensi mahar sesungguhnya. Mahar, atau shadaq, adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai tanda cinta, tanggung jawab, dan penghormatan. Akan tetapi, Islam juga menegaskan bahwa mahar haruslah ringan, tidak memberatkan. Rasulullah saw. bersabda:
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan)." (HR. Abu Dawud)
Mengapa Mahar yang Sederhana Lebih Utama?
1. Menghidupkan Sunah
Rasulullah saw. memberikan teladan dengan menikahkan putri beliau, Fatimah az-Zahra, dengan Ali bin Abi Thalib r.a. hanya dengan mahar berupa baju besi. Sebuah mahar sederhana yang tidak mengurangi keutamaan pernikahan mereka.
2. Mengurangi Beban Calon Suami
Terlalu tingginya mahar sering menjadi beban berat, terutama bagi mereka yang bekerja keras dengan penghasilan terbatas. Tidak sedikit yang akhirnya menyerah pada tekanan, merasa diri tidak cukup layak, bahkan kehilangan harapan. Padahal, pernikahan seharusnya menjadi jalan menuju ketenangan jiwa, bukan sumber tekanan yang menyesakkan dada.
3. Menyederhanakan Pernikahan
Dengan mahar sederhana, calon pengantin bisa lebih fokus pada membangun rumah tangga, bukan terjebak dalam utang atau konflik keluarga.