Mohon tunggu...
Ratika Jihan Khairunnisa
Ratika Jihan Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi statistika

Suka matematika, sains, sejarah, sastra, alam, memasak, dan berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gadis Bunglon

4 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 4 Januari 2025   10:58 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bilamana seorang gadis memanggil namamu
Beranikah kau tatap wajahnya saat itu?
Bukan karena serbuk bedak dengan semerbak harum yang menyita indramu
Lihatlah, gadis malang yang dulu digendong dengan ceceran darah ibunya
Dalam iringan tangis ayahnya
Mengecap, mengeja, mengucap sepatah kata, "Mama, Papa!"
Lalu berdiri, berjalan, berlari dengan kaki mungilnya
Dia tidak punya sayap, namun mimpinya mengangkasa
Dalam sayup matanya yang teduh, kau akan mendapati seribu luka diembannya
Ibunya telah berpulang, sebelum dia sempat menghafali wajah anggunnya
Setelah itu, darah dan nanah menyambah alamnya yang masih dini
Tegakah kau tersenyum padanya, lalu bertanya apa arti kehidupan?
Atau, kau hendak menambah derita dalam hidupnya biar ia tambah sengsara?
Cukup, dia sudah kebal dengan semua ilusi dalam kehidupan ini
Jika memang pahit dan luka adalah jalan hidupnya, maka tangis adalah penawarnya
Jika sesekali kau dapati ia tersenyum, jangan tertipu!
Dia sedang menentramkan gejolak luka yang sudah tidak terbendung lagi
Baginya, satu langkah yang ia tapakkan dalam bumi ini adalah pertanda
Bahwa ia hidup dalam sebuah arti, meski didapat dari ribuan cemeti
Dia berpijak pada peluh ayahnya yang selalu menetes dengan derasnya
Dalam terik matahari yang telah memanggang tubuh kurusnya
Jika bukan karena arti sebuah hidup yang dia pegang, lantas dengan cara apa dia bertahan?
Bohong bila dia berucap, "Aku baik-baik saja"
Coba kau tatap matanya dan peluk dirinya
Biar runtuh semua derita yang menjejal hidupnya
Jangan dengarkan sanggahannya, cepat kejar ia, rangkul ia, genggam tangannya
Sebab hangat cintamu akan mengalir dalam nadinya yang membeku
Sekali lagi, jangan percaya ucapan manisnya yang melenakan dirimu akan deritanya
Sebab dia adalah bunglon yang pandai mengubah warna
Tergantung bagaimana warna kehidupan yang sedang mengujinya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun