Waktu berangkat ke tempatku kuliah, setelah diantar ayahku, aku melambai-lambaikan tangan dengan cantiknya sesaat kedatangan bus yang mulai akan menghampiriku agar berhenti tepat di depanku.
“Cianjur, Bandung... Ayo Neng.”
Setelah berhenti, sang kondektur menyambutku dengan manis, meraih tangan lembutku lalu mendorongku segera masuk ke dalam untuk kemudian duduk di kursi penumpang. Baru saja kuinjakkan kakiku selangkah, bus sudah jalan kembali. Maklum, kalau menunggu aku duduk (apa lagi kalau memilih kursi paling belakang) lalu kemudian jalan, mungkin akan makan waktu banyak dan kendaraan di belakangnya akan antre sampai berkilo-kilo meter jauhnya gara-gara aku.
“Haah...”
Aku menghempaskan badanku di kursi empuk-empuk keras itu di bus tersebut. Lumayan lah, masih untung bukan kursi kayu juga. Bisa-bisa, turun-turun aku cedera tulang.
Memang sudah jadi kebiasaan aku pergi ke kota sebrang dari Sukabumi menuju Cianjur dengan menaiki bus. Kali ini aku kebagian bus ekonomi. Kenapa gak naik bus AC aja? Karena takut kesorean, lagi pula kalo kemaleman sampai di sananya suka sudah sepi aja. Jadi agak seram, begitu. Takut jadi korban kejahatan dan sejenisnya. Tapi syukurlah, Tuhan selalu melindungi wanita baik ini.
“Boleh Ibu ikut duduk, Neng?”
“Oh, ya. Boleh, Bu.” Setelah sebelumnya aku melihat ia masuk bus dengan membawa bebawaan di genggaman tangannya yang sudah mulai mengeriput.
“Ibu teh tadi habis nganterin barang ke restoran itu tuh.” Sambil bibirnya monyong-monyong seraya menengok ke belakang, menunjuk tempat yang ia maksud, dengan logat Sunda-nya yang begitu kental terasa.
“Oh, begitu?” Tanggapku, sambil tak lupa dibarengi sesungging senyum dari bibir pink mungil ini.
Ya, kadang tak jarang ketika aku berada di tempat umum seperti ini, sering mendapati orang-orang yang tiba-tiba mengakrabiku, lalu berlanjut mengobrol ngalor-ngidul, terutama dengan sesama perempuan, macam ibu satu ini. Dari pertama kali duduk sampai mau turun, ia tak pernah dua detikpun berhenti bercuap-cuap sampai sesaat ia akan turun dari bis. Waktu yang ditempuh padahal terbilang cukup lama untuk dihabiskan mengobrol dengan orang asing sepertiku ini. Aku langsung membayangkan, bagimana bisa ibu ini begitu mudah mencair bersamaku, lalu mengalir hingga ke hilir. Kalo tidak ketuaan sudah aku rekomendasikan jadi penyiar radio, deh. Secara aku saja yang baru-hanya-ingin belum kesampaian juga. Mungkin besok lusa bisa ya...
Aku jadi ingat cerita kakakku dulu. Topiknya seputar mama yang baru pulang mengajar dan katanya bertemu ibu-ibu yang anaknya sekolah di situ. Mau ada perlu. Ia ceritanya baru pulang dari Arab Saudi, ia seorang TKW, tiba-tiba curhat begitu saja, katanya. Datang-datang langsung bilang “Nah, ari udah gitu teh...” (yang artinya: Nah, terus setelah itu tu...). Hahaha, belom apa-apa masak langsung bilang begitu? -_____-
Banyak pengalaman menyenangkan atau juga buruk sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat kosku, maupun dari tempat kos ke rumah. Entah itu aku yang mengalaminya sendiri, maupun orang lain yang merasa mendapat pengalaman buruk dan menyesal setelah duduk satu tempat duduk denganku (halah, memangnya aku ini apa?).
Tapi benar, lho. Waktu itu sepulang dari tempatku kuliah (ceritanya mudik seminggu sekali), tadinya sih aku duduk di belakang, setelah dirasa sebentar lagi mau sampai dan harus bergegas untuk siap-siap turun, akupun pindah duduk ke depan, tepat di sebelah seorang ibu yang begitu terlihat keibuan sekali (namanya juga ibu-ibu).
“Eh, Bu... Turun di mana?” Sapaku, basa-basi. Mencoba menghangatkan suasana. Padahal itu sedang berada di detik-detik diturunkannya tubuh sexy ini dari dalam bus. Entah kenapa, orang-orang yang hampir sampai di tujuan, sering kelihatan was-was. Mungkin takut terlewat karena bus sering melaju dengan cepat, juga karena takut ada barang yang tertinggal. Termasuk aku. Sepertinya aku tak kalah was-wasnya dengan para penumpang lain yang hendak turun.
“Ibu turun di terminal, Neng.” Jawabnya, sambil terus memeluki tasnya yang sedari tadi berada di pangkuannya itu. Aku tiba-tiba merasa telah membuatnya kedinginan, eh, ketakutan. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengakrabi orang yang sedang takut kecopetan (WHAT? Jadi maksudmu aku copet?). Padahal tadi niatnya mau menghangatkan suasana. Kalian baca kan, di paragraf sebelumnya? L
“Ya ampun, mungkin aku salah meluapkan ekspresi, sehingga yang muncul di wajah adalah aura-aura copet-yang-sedang-pura-pura-baik. Hiks...” Pikirku.
Aku berhenti bicara, lalu turun duluan dengan gontay menyeret-nyeret tubuh. Biar setelah ini, ibu-ibu itu akan merasa dirinya lebih aman. Ya, begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H