[caption id="attachment_337212" align="aligncenter" width="600" caption="Yogyakarta saat hujan abu letusan Gunung Kelud (14 Februari 2014)"][/caption]
Pagi itu 27 Mei tahun 2006, suasana pagi yang masih tenang dan sebagian anak-anak sekolah bersiap berangkat ke sekolah. Tidak ada tanda-tanda kalau pagi itu akan terjadi gempa bumi. Gempa bumi berkekuatan 6.2 skala ritcher diperoleh data dari sumber Departemen Sosial menyebutkan bahwa korban jiwa mencapai 6.234 jiwa dan korban luka-luka 36.300 jiwa.
Saat itu tidak hanya Bantul yang mengalami kerusakan parah. Beberapa aset wisata kota Yogyakarta seperti bangunan keraton Yogyakarta dan di kabupaten Sleman dengan candi Prambanannya mengalami kerusakan akibat gempa bumi.
Salah satu kerabat yang bertugas di Yogyakarta saat itu akhirnya memutuskan hijrah dari kota Yogyakarta dan menetap di kab.Bantaeng. Anaknya yang masih kecil saat terjadi peristiwa gempa sering merasa ketakutan, sepertinya merasa trauma dengan gempa bumi tahun 2006 tersebut.
Dampak traumatik menyaksikan Kota Aceh ketika diguncang gempa bumi dan disusul dengan Tsunami tentu sangat membekas diingatan seluruh penduduk Indonesia yang menyaksikan tayangannya melalui Televisi. Saat itu di tempat tinggal saya di kabupaten Bantaeng merupakan daerah pesisir dan bentang alam pegunungan, faktanya sangat gampang terprovokasi isu-isu gelombang Tsunami.
“Lari,lari, air laut surut, mau ada tsunami”. Teriakan seseorang di malam hari sekitar pukul 21.00 malam membuat semua orang panik tidak terkecuali saya dan ibu ikut dibuat panik. Saya membangunkan Bapak yang sudah tidur pulas, wajahnya terlihat sangat kaget dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Ketika mengetahui bahwa akan ada tusnami, bapak saya hanya geleng-geleng kepala, dan memberi sedikit penjelasan soal tanda-tanda datangnya Tsunami. Kami hanya disuruh tidur lagi dan tidak panik dengan isu-isu seperti tsunami.
Ternyata keesokan harinya berita Tsunami membuat kota kecil tempat tinggal saya gempar dengan isu Tsunam. Ternyata teriakan Tsunami itu dilakukan oleh seorang pemabuk yang berada di pantai malam itu. Akibat dari berita palsu tersebut, tidak sedikit warga yang meniggalkan rumahnya berlari ke dataran tinggi. Malam itu benar-benar kacau, semua orang panik dan kebingungan.
Kejadian ini menjadi pelajaran bagi saya dan keluarga agar tidak mudah panik ketika terjadi bencana atau berita-berita bencana yang belum jelas sumbernya. Saya mencoba mengamati bahwa saat itu tragedi bencana alam Tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta menyebarkan dampak traumatik. Tidak hanya bagi penduduk Jawa saja bahkan penduduk di luar pulau Jawa ikut merasakan dahsyatnya bencana alam menghancurkan leburkan bumi dan manusia.
Sekarang saya sudah tinggal di Yogyakarta tepatnya di Kabupaten Sleman selama dua tahun lima bulan. Pengalaman untuk tinggal di daerah sejuta pesona budaya dan ancaman bencana sekaligus memberi banyak pelajaran bagi saya. Beberapa gempa kecil yang imbasnya terasa hingga ke Yogyakarta menjadi bagian dari pengalaman saya.
Kejadian yang masih teringat jelas yaitu ketika gempa terjadi, sudah agak tengah malam, saat itu saya sudah tidur. Guncangan gempa akhirnya membangunkan saya, dan saya melihat dinding kamar saya bergerak kanan-kiri, saat itu saya belum sadar kalau itu adalah gempa. Hingga akhirnya saya mendengar teman kos teriak menyuruh keluar dari kamar. Sejak saat itu saya coba tenangkan diri, walaupun kaki saya gemetar dan akhirnya keluar dari kamar.
Tidak hanya gempa bumi, dampak letusan Gunung Kelud yang mengirim abu vulkanik dan menutup wajah Yogyakarta kembali menguji ketangguhan warga Yogya menghadapi imbas bencana gunung meletus.
Pagi itu bertepatan dengan hari kasih sayang 14 Februari 2014, saya kaget saat keluar dari kamar dan melihat lantai teras sudah dipenuhi abu. Saya perhatikan sedikit demi sedikit abu berjatuhan dan oh saya baru sadar, inilah yang dimaksud hujan abu.
Selama seminggu semua warga turun ke jalan, naik ke atap rumah membersihkan sisa-sisa abu. Warga di pedukuhan saya pun tidak henti-hentinya melakukan kerja bakti membersihkan jalan kampung dari abu.
Kejadian menarik waktu itu adalah daya tarik tugu Jogja dan kawasan Malioboro tidak menghentikan wisatawan untuk memanfaatkan momen hujan abu sebagai ajang foto-foto.
Saya melihat masih banyak wisatawan yang berkumpul di dekat tugu sambil merekam gambar kota Yogya yang ditutupi abu. Bahkan ada yang menutup kamera SLR nya dengan selotip kuning agar melindungi lensa kamera dari abu tapi tetap masih bisa merekam gambar.
Untuk kampus UGM sendiri hanya meliburkan mahasiswa selama tiga hari. walaupun masih banyak abu yang tersisa tapi kampus ini tetap buka dan melayani kebutuhan mahasiswa khususnya di gedung-gedung vital seperti perpustakaan pusat UGM.
Pengalaman warga Yogyakarta menghadapi bencana maupun imbas bencana merupakan sebuah pelajaran hidup yang berangkat dari hal paling buruk. Tapi bencana di Yogyakarta tidak lantas membuat warganya berbondong-bondong ingin meninggalkan Yogya. Pesona budaya dan kesederhanaan masyarakatnya tetap menjadi magnet tersendiri yang tidak ditemukan di tempat lain.
Setidaknya itu yang saya saksikan disini, bagaimana gempa bumi dan letusan gunung Merapi, semakin mematangkan sikap warga Yogya menghadapi bencana. Dan yang paling penting adalah setelah bencana terjadi. Tidak perlu menghitung seberapa lama warga dan pemerintah menata kembali reruntuhan bangunan publik agar berfungsi seperti sedia kala.
Pembangunan kota Yogyakarta pasca gempa tidak sesederhana seperti apa yang nampak pada pembangunan fisiknya. Ada masalah yang lebih kompleks seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik, kekuatan ekonomi, struktur sosial, kekuatan budaya dan pelestarian kawasan heritage.
Resilient city, adalah sebuah kolaborasi kerjasama pemerintah, masyarakat dan para ahli dari berbagai bidang dan organisasi lain yang berkecimpung pada bidang lingkungan yang bertujuan untuk "memfasilitasi kota" dan membangun kota lebih fleksibel dengan sistem yang dinamis agar mampu mengidentifikasi dan merespon perubahan iklim dan lingkungan dalam area perkotaan.
Resilient City dalam konteks Yogyakarta adalah, bagaimana kota modern seperti Yogyakarta dapat membangun kembali fisik kotanya dan infrastruktur pasca bencana alam. Tidak hanya pembangunan fisik tapi memulihkan traumatik masyarakat juga turut menjadi bagian dari Resilient City. Membangun kota tangguh pasca bencana dimulai dari kebijakan pemerintah menata kembali kawasan publik yang menjadi sentra perekonomian warga kota.
Membuka kembali kawasan Malioboro dan merekonstruksi bangunan vital yang menjadi tulang punggung perekonomian seperti Pasar Beringharjo misalnya. Di tempat lain, seperti di Kabupaten Bantul, yaitu dengan memaksimalkan kembali kawasan wisata Gerabah melalui pameran yang digelar beberapa bulan sekali. Kawasan yang menjadi sentra perekonomian menjadi bagian penting dalam mengukur kebangkitan sebuah kota pasca bencana.
Adapun bentuk-bentuk kekuatan lokal, seperti survive atau bertahan yang terbangun kemudian terbentuk dan tumbuh terus dalam kehidupan warga Yogya. Bahwa ketika budaya masyarakat untuk survive, gotong royong sudah “mati” atau rapuh maka tidak ada lagi yang tersisa dari ingatan orang-orang di masa depan selain ingatan-ingatan bencana yang mematikan.
Kedepannya Resilient city tidak lagi dipandang dalam konteks membangun kota pasca bencana yang menghancurkan kota dalam sehari, ada wacana yang lebih luas saat ini. Kepadatan kota menimbulkan resiko yang lebih besar bagi daya tampung lingkungan. Isu-isu lingkungan seperti pemanasan global, transportasi dan persampahan adalah bencana yang paling nyata dan memberi dampak merusak secara terus-menerus bagi kota dan warganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H